(UINSGD.AC.ID) — Nasionalisme tumbuh karena adanya sesuatu yang membuat kita merasa “terikat”. Kuatnya ikatan itulah yang memantik kesadaran untuk mencintai bahkan jika diminta, ada kesediaan dan kerelaan untuk memberikan sesuatu yang paling berharga sekalipun.
Nasionalisme adalah kecintaan terhadap ibu pertiwi sebagai tanah air. Tempat dimana beta lahir, tumbuh dan berkembang. Nasionalisme dengan itu adalah sikap, gelora, janji bahkan sumpah bahwa setiap kita akan berdiri melayani, menghidupi bahkan siap mengorbankan diri mempertahankan teritori ibu pertiwi sebagai muasal otentik kehidupan.
Belajar dari sejarah, nasionalisme yang kita punya bukan nasionalisme sempit, sejenis “chauvinisme”. Sebuah istilah yang bermula dari seorang Perancis, prajurit Grand Armee Napoleon yang bernama Chauvin yang mengidolakan dan berlebihan dalam menunjukkan rasa cinta dan kesetiaannya terhadap pemimpinnya bahkan terhadap ras dan bangsanya sendiri.
Chauvinisme adalah gelora yang menuntut kesetiaan dan hanya mencintai kelompoknya saja disertai kebencian dan sikap memusuhi terhadap “liyan” (the others): mereka “yang-berbeda” dan “tak-sama”. Chauvinisme adalah keyakinan yang “cukup diri” mungkin juga egologi yang menilai kelompoknya sebagai paling unggul yang melampaui kelompok, bangsa, ras, suku lainnya.
Nasionalisme kita tumbuh karena kebhinekaan. Nasionalisme kita tegak menjulang karena penerimaan dan pengakuan tentang adanya “liyan”. Sungguh, Indonesia sebagai entitas bangsa hadir karena disokong oleh majemuknya keyakinan, ideologi, bahasa dan suku. Sekalipun diktum Sumpah Pemuda menegaskan adanya satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, tak berarti ia “memberangus” keberbedaan dan menihilkan keragaman.
Jawa tidak boleh merasa unggul dari Sunda. Bugis tak berhak mengaku lebih istimewa dari Batak. Betawi terlarang mengaku lebih baik dari Baduy. Aceh tak diperkenankan mendaku lebih terhormat ketimbang Dayak, dan begitu seterusnya.
Ya. Penciri nasionalisme kita adalah kebhinekaan. Aliran sungai komunalisme (kekeluargaan, marga, kesukuan, kelompok, ras bahkan agama) yang hidup dan menyebar di bumi pertiwi bergerak melebar dan melebur di lautan solidaritas kebangsaan. Inilah gerak otentik humanisasi yang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa. Inilah jalan kemanusiaan yang benar-benar adil dan beradab.
Kebhinekaan sebagai dasar nasiolisme kita adalah apa yang tertuang dalam kata-kata hikmah Faus Pranciscus, bahwa menurutnya, “sungai tak minum air sendiri, pohon tak makan buahnya sendiri, kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya, mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.” Selamat hari Sumpah Pemuda. Allahu a’lam[]
Dr. Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung