Kita menyebutnya “munaqosyah”. Di Perguruan Tinggi lain mungkin istilahnya adalah “Ujian Sidang Skripsi”. Apapun namanya istilah itu merujuk pada pengertian yang sama, yaitu pendadaran hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa yang dipresentasikan di fase terakhir perkuliahan mereka. Yes!!!
Bagi kita yang pernah menjadi mahasiswa, kita bisa mengenang situasinya. Kita bisa membayangkan saat-saat “genting” ketika moment itu berlangsung. Dada yang tiba-tiba sesak atau berdebar, lidah berasa pahit karena minus air liur atau gejala ingin beser yang tiba-tiba menginterupsi konsentrasi ingatan tentang materi yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan dewan penguji.
Di depan penguji, ingatan tentang materi yang kita “kumpulkan” semalaman bisa tiba-tiba hilang ambyar begitu saja. Menguap entah kemana. Lutut yang bergetar atau bibir yang seumpama terkunci tidak bisa menjawab padahal kita sebelumnya hafal alur dan materi dari skripsi yang kita buat itu. Tak jadi soal, apakah ia bikinin sendiri ataupun hasil “kerja” orang lain, situasi yang dihadapi bisa sama.
Persis, saya punya ingatan serupa tentang munaqosyah. Situasi yang menggetarkan pada tiap monentnya. Atau, ada proses panjang yang harus saya lewati sebelum sampai di momen munaqosyah itu. Bolak-balik datang menemui pembimbing. Lalu coretan dan koreksi yang tidak bisa dilakukan secara efisien seperti sekarang. Jaman saya adalah jaman mesin tik merek Brother merajalela. Kesalahan satu hurup saja bisa mengganti satu halaman. Bayangkan, satu rim kertas bisa tak cukup hingga sampai pada peristiwa munaqosyah.
Munaqosyah adalah forum tertinggi dari perjalanan panjang akademik mahasiswa. Ia menjadi semacam pintu terakhir yang memutus status dan sebutan mahasiswa untuk menjadi masyarakat “biasa lagi” dan beralih rupa dengan embel-embel gelar yang akan disematkan di depan atau di belakang namanya.
Satu detik saja ia beres menunaikan prosesi munaqosyah, secara defacto ia sudah bermetamorfosa menjadi “manusia baru” yang memiliki “missio canonica” (hak resmi) untuk menyertakan gelar keilmaun sesuai dengan bidang studi yang ditekuninya. Seumpama di kepalanya ada mahkota baru, yang dengannya status kemanusiaannya bergerak naik pada level “terhormat” sebagai sarjana. Sebagai masyarakat “khawasnya” al-Ghazali.
Situasi “angkernya” munaqosyah mungkin mengalami pergeseran. Hari ini ketika saya menjadi pengajar (alhamdulillah), saya tidak bisa ikut merasakan debar dari peristiwa yang maha penting itu. Saya kesulitan untuk berempati ikut merasakan situasi batin tentang kalutnya pikiran ketika mahasiswa bermuka-muka dengan dewan penguji.
Tengoklah. Mahasiswa hari ini merasa tidak perlu membawa tas yang penuh berisi buku referens. Mereka cukup membawa skripsi, bahkan ada yang tidak membawa sama sekali. Hanya catatan “sacewir” sebagai contekan atau mungkin abstraks dari penelitian yang sudah mereka tunaikan.
Kesimpulan saya bisa subjektif. Tapi munaqosyah hari seperti mengalami degradasi. Mengalami penurunan derajat yang hanya dilihat sebagai proses akademik biasa. Serasa tak ada “sakralitas” di dalamnya. Nihil dari ketegangan bahkan adu argumentasi antara mahasiswa yang diuji dengan dewan dosen yang menguji.Allahu a’lam[]
Bandung, 29 Oktober 2019.
Dr. Radea Yuli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.