(UINSGD.AC.ID)-Lebaran, insya Allah segera tiba. Hari Raya Idul Fitri yang dinanti akhirnya akan segera datang dan terlewati. Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan titik kontinum kerinduan dari perjuangan sepanjang sebulan menjalankan ibadah puasa dengan harapan sampai pada puncak kemenangan dengan fitrah dari dosa.
Idul Fitri pun puncak kesedihan karena ditinggal bulan yang penuh makna: Ramadan bulan penuh rahmat, berlimpah magfiroh, dan ladang beramal dengan berlipat ganda pahala. Oleh karena itu, do’a yang acapkali disungkemkan umat Islam menjelang kepergian Ramadan, “… Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai yang terakhir dalam hidupku…” Ada keengganan untuk berpisah dengan bulan Ramadan serta harapan, keinginan, dan do’a agar dapat bertemu kembali dengan Ramadan tahun depan.
Silaturahmi
Bagi umat Islam, Lebaran adalah hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh; insya Allah taubat diterima dan pahala berlimpah. Untuk mencapai kemenangan yang sempurna; suci bersih dari berbagai dosa, umat Islam pun harus menjalin silaturahmi. Islam mengajarkan, terdapat dua dimensi dosa manusia: dosa yang langsung kepada Allah yang harus ditebus dengan memohon ampunan-Nya dan dosa kepada sesama manusia yang dapat terhapuskan melalui silaturahmi.
Silaturahmi merupakan keyakinan dan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam karena tidak hanya Sabda Rasulullah, sejumlah ayat dalam al-Quran pun dengan tegas menyuratkan pentingnya memupuk tali silaturahmi. Allah Swt. sangat tidak menyukai umat manusia yang bercerai berai dan memerintahkan untuk tetap menjalin kesatuan yang harmonis melalui silaturahmi (QS: 3: 101).
Apalagi dalam al-Hadits ditemukan perintah untuk berusaha dihalalkan dosa-dosa kepada sesama manusia melalui meminta maaf. Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa pernah melakukan kedzaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan kepadanya.” (HR Al-Bukhari).
Meminta maaf bukan hal mudah, padahal dikategorikan sebagai perilaku positif dan bentuk kerendahan hati (tawadlu). Namun, memaafkan jauh lebih sulit karena harus menghapus sakit hati dan dendam akibat pernah disakiti atau didzolimi. Oleh karena itu, Allah Swt. dalam beberapa surat pada al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk memaafkan. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu….” (QS, 3:159).
Memaafkan tampaknya lebih bernilai karena memerlukan pengorbanan untuk iklas atas kedzoliman orang lain, tetapi setimpal dari efek positif terhadap diri pemberi maaf. Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford California, Frederic Luskin (Martin, 2003), pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang. Hasil penelitian Luskin menunjukkan, memaafkan akan menjadikan seseorang jauh lebih tenang dalam kehidupan, tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama, dan semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.
Moderasi
Terminologi moderasi bersilaturahmi dengan saling memaafkan pada moment Lebaran cukup signifikan untuk tumbuhnya keiklasan sejati di anta pemohon dan pemberi maaf. Dalam pandangan Psikolog Fuad Nashori (2019), salah satu karakteristik yang tumbuh pada seseorang yang berpuasa, semangat untuk memperoleh pahala dan menguras dosa, sehingga memiliki kesediaan yang tinggi untuk saling memaafkan; Lebaran saatnya obral pemaafan.
Hasil penelitian yang dilakukan Sofyan Trenggana (UII, 2008) menunjukkan, terdapat korelasi antara intensitas puasa (Senin-Kamis) dengan kesabaran. Puasa melatih seseorang untuk merelevankan setiap perilakunya dengan Allah. Puasa dapat mengubah diri seseorang untuk menjadi lebih sabar. Lebih-lebih kalau puasa terus-menerus seperti pada bulan Ramadan.
Dalam moderasi silaturahmi, semua umat Islam harus menjadi kutub kebaikan untuk saling mendekat. Pemohon tawadlu untuk meminta maaf dengan iklas melepaskan baju kegengsian karena piranti duniawi: pangkat, jabatan, harta, dan usia. Pemberi maaf pun iklas menghentikan benci, dendam, dan sakit hatil. Jadilah Ummatan Washathan yang unggul dalam keserasian dan keselarasan berlomba berbuat kebajikan.
Salah satu target ke-“mabrur”-an Puasa adalah terhapusnya berbagai dosa dan tidak berbuat dosa pada sebelas bulan berikutnya. Hasil akhir Puasa sejatinya menuntun pada wisuda dengan gelar mutaqin (QS. 2:183). Orang bertaqwa memiliki ahlak mulia; tidak melakukan perbuatan tercela: memfitnah, mengguncing, berbohong, sombong, takabur, serta ucap, sikap, dan perilaku lainnya yang acapkali menyakiti dan mendzolimi orang lain serta menjadi sumber kekacauan dan bencana di muka bumi ini. ***
Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab & Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Dewan Pakar ICMI Jawa Barat
Sumber, Pikiran Rakyat 10 Mei 2021