(UINSGD.AC.ID) — Mentari belum juga menunjukkan sinarnya. Kabut malam belum juga menarik kegelapannya. Namun, Nabi mulia harus segera bergerak keluar dari Mekah menuju Madinah untuk berhijrah.
Bukan karena tidak mencintai Mekah, tetapi karena tindakan orang-orang kafir Quraish yang sudah sangat melewati batas. Atas titah Sang Mahakuasa, beliau akhirnya harus berpisah dengan tanah air yang sangat dicintainya.
Pada malam hijrahnya, di pinggiran Mekah, Nabi yang mulia berdiri mengucapkan selamat tinggal pada tanah dan rumahnya, mengingat kenangan indah dan kecintaannya kepada tanah airnya.
Kalimat suci terucap dari mulut beliau yang mulia, “Demi Allah, aku tahu bahwa kamu (Mekah) adalah yang terbaik, bumi yang paling dicintai Allah. Jika pendudukmu tidak mengusirku darimu, aku tidak akan pergi.”
Riwayat lain menyebutkan, “Betapa bagusnya tanah yang kamu miliki! Dan betapa kamu sangat mencintaiku! Jika orang-orang itu tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain.” (Riwayat Al-Tirmidzi).
Kecintaan terhadap tanah air Mekah dirasakan pula oleh para sahabat Nabi. Begitu berat mereka berpisah dengan Mekah, hingga Nabi mengambil langkah untuk membujuknya dengan menyebut kelebihan-kelebihan Madinah.
Beliau bersabda, “Sungguh kepadaku telah ditampakkan negeri tempat hijrah kalian dan aku melihat negeri yang subur ditumbuhi dengan pepohonan kurma di antara dua bukit yang kokoh.” (Riwayat al-Bukhari).
Nabi tahu betapa para sahabatnya sangat mencintai tanah air mereka (Mekah) sehingga sering memohon kepada Allah agar memberikan kecintaan terhadap Madinah yang melebihi kecintaan mereka pada Mekah.
Salah satu doanya, “Ya Allah, berikanlah kecintaan kepada Madinah seperti kami mencintai Mekah, atau bahkan lebih.” (Riwayat Al-Bukhari)
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alih wa shahbih ajma’in.
Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung