Mi`raj & Metafora Sosial

UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Ada pemaknaan lain yang dapat kita kemukakan dari peristiwa Isra-Mi`raj Nabi Muhammad. Di balik deskripsi materialistik kisah perjalanan Nabi ke langit terdapat pesan-pesan metaforik yang menarik untuk dilihat. Sejauh ini tokoh-tokoh sufi seperti Ibnu Arabi telah banyak menulis tentang hal ini, sebagaimana dapat dilihat pada kitabnya, al-Isra ila al-Maqam al-Asra. Ia menjelaskan perjalanan Isra-Mi`raj mengisyaratkan perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Tujuh langit yang didaki Nabi merupakan isyarat pendakian-pendakian spiritual yang harus dilalui seorang hamba. Isra adalah perjalanan spiritual horizontal dalam format ibadah sosial, sedangkan mi`raj adalah perjalanan spiritual vertikal dalam format ibadah ritual. Sejatinya, setiap manusia mengalami perjalanan spiritual ini. Itu sebabnya dalam sebuah hadits dikatakan bahwa shalat adalah mi`rajnya orang yang beriman.

Beberapa peristiwa yang disaksikan Nabi selama dalam perjalanan sebagian besar berisi kritik sosial. Nadzir Azhamah menginformasikan kepada kita beberapa peristiwa itu dalam kitabnya al-Mi`raj wa ar-Ramzi ash-Shufy. Sekelompok orang yang mukanya hitam lebam karena bisa ular yang melilitnya merupakan metafora kelompok sosial kaya yang tidak peduli terhadap orang-orang-orang miskin; Sekelompok orang dengan posisi muka menghadap ke belakang dengan siksaan strika di punggungnya merupakan metafora orang yang menganggap orang lain kecil dan hina; Sekelompok manusia yang mempunyai bibir seperti unta, lalu disuapkan bara ke dalam mulutnya merupakan metafora orang yang memakan harta anak yatim dengan jalan salah.

Sekelompok orang di dasar neraka yang merintih kesakitan karena api masuk ke dalam dubur dan keluar dari mulutnya merupakan metafora orang yang suka menebar fitnah; Sekelompok orang yang digantung rambutnya sementara mulutnya disiram dengan air timah merupakan metafora orang yang suka mengadu domba dan gibah; Sekelompok orang di tengah kesakitan dengan siksaan terkonsentrasi di perut merupakan metafora orang yang suka memakan harta haram; Sekelompok orang meminum nanah dan air timah sehingga badannya hancur merupakan metafora pemakan riba; Sekelompok orang yang terus menambah beban yang tidak kuat diangkatnya merupakan metafora orang yang terus menambah amanat yang tidak bisa diembannya; Sekelompok orang yang lebih memilih daging busuk daripada daging segar merupakan metafora pelaku zina.

Di balik pendiskripsian sederhana mengenai peristiwa-peristiwa di atas menyimpan kritik terhadap penyimpangan sosial yang dapat mengancam simpul-simpul tatanan masyarakat dan cita-cita sosial Islam. Sebagaimana dilihat, kritik sosial yang disampaikan pada peristiwa mi`raj adalah penyimpangan sosial yang dihadapi setiap bangsa di setiap masa, termasuk di Indonesia.

Cita-Cita Sosial Islam
Bila diperhatikan secara seksama, perjalanan Isra’-Mi`Raj Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu ke Sidratul Muntaha sesungguhnya mengisyaratkan pesan sosial. Bisa saja Nabi langsung pergi ke Sidratul Muntaha tanpa harus pergi ke Masjidil Aqsa terlebih dahulu. Pesannya adalah mewujudkan cita-cita sosial Islam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan spiritual seorang muslim menuju Allah. Itu sebabnya, dalam banyak riwayat ditemukan kritik Nabi pada orang yang lebih memprioritaskan ibadah ritual daripada ibadah sosial. Kesalehan seseorang terletak pada wilayah sosial dan ritualnya. Seandainya seorang egois, Nabi mungkin lebih memilih tetap “bersama” Allah di Sidratul Muntaha. Bukankah “kebersamaan” dengan-Nya merupakan tujuan segalanya? Namun, beliau turun lagi ke bumi, karena ada pekerjaan besar yang harus diselesaikannya, yaitu meletakkan dan mewujudkan tonggak cita-cita sosial Islam bagi—khususnya—masyarakat Arab.

Catatan metaforik sebagaimana dijelaskan di atas—sekali lagi—merupakan gambaran cita-cita tersebut. Islam adalah agama yang ditegakkan di atas keadilan, prinsip saling mengakui eksistensi orang lain (ta`aruf), dan persatuan. Inilah yang menjadi mainstream masyarakat Islam. Kesejahteraan tidak boleh hanya dinikmati kelompok kaya. Itu sebabnya, Islam mewajibkan zakat dan mencela orang yang enggan melaksanakannya, atau kelompok yang mengakumulasi kesejahteraan untuk kepentingan sendiri atau kelompok tertentu. Itu sebabnya pula, Islam melarang tindakan yang mengancam terurainya simpul persatuan seperti fitnah, adu domba, dan pencemaran nama baik.

Mi`raj pada dasarnya adalah upaya transformasi sosial yang berporos pada nilai-nilai ilahi. “Pertemuan” dengan Tuhan yang dialami Nabi dalam mi`raj berarti mempertemukan problem sosial-kemanusiaan dengan solusi transendental. Pertemuan itu menghasilkan tranformasi sosial melalui bentuk—meminjam istilah Kuntowijoyo—humanisasi/emansipasi (ta`muruna bil-ma`ruf), liberasi (tanhauna `anil-munkar), dan transendensi (tu’minuna billah), yang diderivasikan dari Q.S. Ali Imran [3]:110. Kaira umatin (masyarakat terbaik) adalah ujung cita-cita sosial Islam.

Ketiga bentuk  ini secara artikulatif pula disimbolkan dalam bentuk ritual shalat, ritual yang secara spesifik diamanatkan melalui peristiwa mi`raj. Persoalannya, masih ada penyempitan makna shalat sebatas ritual semata, tanpa melihat pesan-pesan sosialnya. Padahal, hampir semua ritual dalam Islam memiliki implikasi sosial. Dengan ungkapan lain, setiap ritual harus berimplikasi pada gerakan-gerakan sosial. Kesalehan seseorang terletak pula pada kesalehan sosialnya. Shalat, umpamanya, secara tegas dinyatakan dalam Alquran (al-`Ankabut [29]:45) memiliki implikasi pada gerakan liberasi, gerakan membebaskan diri atau orang lain dari penyimpangan-penyimpangan sosial (fahsya’ dan munkar).

Menarik untuk direnungkan pula, dari sekian ritual yang dititahkan oleh Allah, hanya shalatlah yang proses pentitahannya dilakukan dengan memanggil langsung Nabi ke “langit”. Tentu ada alasan-alasan tertentu. Titah itu turun setelah Nabi menyaksikan peristiwa-peristiwa—sebagaimana disebut di atas—yang secara metaforik dapat dimaknai penyimpangan sosial. Seakan itu menunjukkan bahwa shalat adalah solusi menyelesaikan penyimpangan tersebut.

Bila kita amati secara seksama, gerakan-gerakan shalat adalah pesan cita-cita sosial itu sendiri. Takbir yang mengawali shalat mensiratkan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan. Karena hanya Allah yang Mahabesar, maka tidak boleh ada tindakan merasa lebih besar atau lebih hebat dari orang lain, tidak boleh ada tindakan menelantarkan orang-orang miskin. Selanjutnya, salam yang mengakhiri shalat mensiratkan pesan damai (salam). Seorang muslim bertugas menebarkan perdamaian, rasa tentram, dan keamanan bagi lingkungannya. Itu sebabnya, ucapan salam yang menghiasi pertemuan dua orang muslim harus dimaknai pesan perdamaian ini, bukan hanya sekedar retorika.

Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana shalat bisa menjadi instrumen utama transformasi menuju cita-cita sosial Islam? Di sinilah peran ilmuwan merumuskan teori-teori tengah (midle theory) untuk menerjemahkan pernyataan al-Qur’an tentang tujuan shalat sebagai teori utama (grand theori) dalam bentuk terapan-terapan. Pelajaran lain yang dapat diambil dari pemaparan metaforik di atas adalah penegakan disiplin dengan memberikan sangsi yang tegas kepada para pelaku penyimpangan sosial. Dalam narasi mi`raj, setiap pelakunya diberi hukuman-hukuman tertentu. Sangsi dan hukuman yang dirumuskan tentu disesuaikan dengan jenis pelanggaran dan wadah negara itu sendiri. Yang terpenting adalah efek jera dari hukuman itu sendiri. []

Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber Pikiran Rakyat, 25 Mei 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter