Metodologi Moderasi Beragama:

Studi Iman dan Nilai untuk Institusi Pendidikan Tinggi Agama

Moderasi beragama menjadi seruan global di abad 21. Moderasi beragama adalah aktivitas manusia beragama yang memerankan tindakan kedamaian dalam persentuhannya dengan yang lain. Disadari pengaruh agama makin menunjukan efeknya dalam segala aktivitas hidup meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Karena itu, manusia beragama terpanggil untuk menjalankan praktik keteladanan bagi kebaikan dunia yang didasarkan agama.

Manusia beragama tidak dapat mengedepankan klaim kebenaran karena ekspresi tersebut dipastikan berbenturan dengan pandangan manusia beragama yang lain. Apabila terjadi benturan antar-keyakinan manusia beragama, maka tercipta kehancuran yang parah. Karena pengaruh agama sedemikian kuat dalam segala aspek hidup ini, maka khalayak global sangat menaruh harapan atas ekspresi keberagamaan yang memerankan tindakan kedamaian ketika berinteraksi dengan yang lain. Itu sebabnya, mengapa moderasi beragama menjadi seruan global di abad 21 ini.

Pertanyaannya, bagaimana memerankan tindakan kedamaian yang dilandaskan agama? Bagi sebagian paham bisa jadi abad 21 merupakan momentum untuk memenangkan peran agama di berbagai sektor mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Namun, apa yang berlangsung boleh jadi hanya berupa perebutan atas nama pandangan agama.

Akibatnya, konflik menjadi tak terelakan dalam bentuk tindakan-tindakan ekspresif yang ditandai dengan unsur-unsur dan identitas agama. Kenyataan ini, manusia beragama mendapat tantangan untuk melakukan penggalian agama yang mampu memberikan jalan bagi tersedianya peran-peran tindakan kedamaian bersamaan dengan keniscayaan kuatnya pengaruh agama.

Sebenarnya, agama telah pernah dianggap sebagai candu. Terdapat banyak individu dan komunitas kemudian meninggalkan agama sebagai dampak dari anggapan itu. Pada abad modern dijumpai fenomena di mana manusia beralih memuja sains dan teknologi yang dipahami mempunyai kebenaran ilmiah berdasarkan penelusuran secara objektif. Pada era tersebut agama diramalkan akan menemukan kematian.

Sebaliknya, justru agama menguat pengaruhnya dalam arti ramalan tersebut tidak terbukti dan realitanya agama menjadi subjek yang paling menentukan di dalam banyak hal. Diakui kebenaran-kebenaran sains bersifat perdiktif, asumtif, dan tentu saja relatif. Terdapat banyak bukti bahwa asumsi kebenaran-kebenaran sains ternyata memiliki kesalahan-kesalahan atau menyisakan berbagai kegagalan eksperimental.

Pengalaman ini menyadarkan saintis kembali menaruh minat terhadap agama dan agama diakui sebagai sistem yang tak terbantahkan. Agama ternyata tidak pernah hilang di dunia ini. Selebihnya, realita kehidupan di abad ini menunjukan pula fenomena migrasi kalangan atheis atau manusia tidak beragama kembali memutuskan untuk mengambil sistem kepercayaan dari agama.

Sebagai agama, Islam bukan saja ajaran tetapi dia merupakan sistem nilai. Ajaran Islam menekankan iman sebagai dasar utama. Islam mengajarkan iman sebagai subjek yang tidak boleh tercerabut. Ketaatan seorang muslim terhadap perintah Tuhan akan bergantung pondasi imannya. Setiap muslim dituntut memiliki akar iman yang kuat.

Atas dasar iman, umat Islam menempatkan kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber kandungan perintah Allah Swt. Teks suci Al-Qur’an dipahami mengandung prinsip-prinsip petunjuk kehidupan. Prinsip-prinsip Ilahi ketika hendak diejawantahkan ke dalam praksis aktivitas kehidupan dia berwujud nilai. Al-Qur’an diakui mempunyai seperangkat nilai yang dihasilkan melalui penggalian dengan menggunakan penalaran yang sistematis.

Nilai atau ideal moral dapat ditemukan di dalam aktivitas kehidupan muslim dalam persentuhannya dengan praktik-praktik kebiasaan lokal. Pertemuan ideal moral dengan kearifan lokal telah membentuk tradisi-tradisi setempat yang terpelihara. Aktualisasi Islam sebagai sistem nilai akan menemukan pertaliannya dengan tradisi setempat.

Iman seorang muslim akan mengejawantah dalam wujud nilai yang menerima bemtuknya dalam budaya tradisi zamannya. Apabila digali aspek terdalam dari aktivitas kehidupan muslim, maka akan ditemukan nilai yang hidup dalam bentuk tindakan-tindakan yang sebenarnya terpaut erat dengan iman.

Nilai berfungsi sebagai jaminan aktivitas muslim yang memerankan tindakan-tindakan kedamaian. Tidak diragukan, nilai adalah esensi kehidupan akan kedamaian. Nilai dipahami sebagai sistematika iman. Hanya saja dalam persentuhannya dengan entitas budaya untuk membentuk tradisi, nilai yang dipahami mempunyai tingkatan ideal moral perlu menemukan ekspresinya dalam wujud yang terbaik yang lazim pula disebut sebagai nilai tinggi atau nilai luhur.

Bagaimana nilai luhur terekspresikan dalam tindakan-tindakan budaya maka dibutuhkan perbaikan-perbaikan sistematika atau dapat disebut pula perbaikan metodologi. Dengan demikian, nilai yang menjadi jaminan aktivitas kedamaian diperlukan perbaikan terus-menerus dalam aspek sistematika atau metodologi.

Dengan perkataan lain, metodologi efektif sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan iman ke dalam wujud nilai luhur bagi terbentuknya tindakan-tindakan yang mengekspresikan kedamaian. Manusia beragama dihadpkan pada tantangan mempunyai metodologi efektif dalam mewujudkan nilai luhur yang dipastikan akan menjamin kedamaian dalam aktivitas-aktivitas kehidupan. Nilai sistematis sejatinya menjadi subjek penggalian pendidikan agama.

Seruan khalayak global akan moderasi beragama terutama dialamatkan untuk institusi agama semisal pendidikan tinggi agama. Institusi ini bertugas mengembangkan metodologi efektif dalam menjelaskan iman secara sistematis dalam wujud nilai yang dapat diaktualisasikan.

Pengembangan metodologi efektif tersebut dibutuhkan bagi terjaminnya nilai luhur terwujud. Aktivitas manusia beragama dalam tindakan berbagai aktivitas semisal ekonomi, politik, sosial, dan budaya sangat dibutuhkan ekspresi peran-peran nilai luhur. Apabila entitas tersebut yang berlangsung di lapangan praksis, maka tidak akan ditemukan perbenturan dan selanjutnya kehancuran. Sebaliknya, nilai-nilai luhur itu mencipta kedamaian dan seterusnya terwujud peradaban ideal.[]

Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *