Mesjid Sang Cipta Rasa

UINSGD.AC.ID (Humas) — Alhamdulillâh dapat kembali menelusuri salah satu tinggalan sejarah Syeikh Syarif Hidayatullah (1448-1568), yakni Mesjid Sang Cipta Rasa. Mesjid yang berada di kompleks Karaton Kasepuhan ini dibangun tahun 1498 M pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullâh dan disebut-sebut sebagai salah satu mesjid tertua di wilayah Cirebon. Mesjid yang berada di bagian barat dari alun-alun Kota Cirebon ini pernah disebut juga dengan nama “Mesjid Pakungwati”, karena menjadi bagian dari kompleks Keraton Pakungwati.

Pembangunan mesjid ini mengadopsi mesjid Demak dan mengadopsi keragaman etnik dan budaya. Selain itu, pembangunannya melibatkan banyak pihak dari Cirebon, Demak, dan Majapahit, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Raden Sepat (arsitek dari Demak), dan beberapa ahli yang dikirim dari Kesultanan Demak. Keterlibatan para wali yang tergabung dalam “Walisongo”, kemudian diabadikan dalam jumlah pintu masuk, yakni sembilan buah.

Sunan Kalijaga dipercaya sebagai “Pimpinan Proyek” pembangunan mesjid ini. Salah satu karya yang menjadi ciri dari keterlibatan Sunan Kalijaga adalah keberadaan 12 saka guru (tiang utama) yang disusun dari tatal, yakni pecahan-pecahan kayu berukuran kecil yang disatukan. Tentunya, penyatuan tatal-tatal ini menjadi saka guru menggunakan teknik dan teknologi tertentu. Modelnya hampir sama dengan saka guru yang digunakan Sunan Kalijaga kala membangun Mesjid Demak. Karena termakan usia, kini kesemua saka guru (tiang utama) telah ditambah penopang dari besi dan ditambah 18 penyangga besi lainnya saat pemugaran tahun 1977.

Selain saka guru yang terbuat dari tatal, mesjid inipun memiliki arsitektural yang unik dan bermakna yang “dalam” khas perpaduan gaya Jawi (Nusantara) dan Hindu-Majapahit. Dari atapnya, mesjid ini memiliki atap limas bersusun tiga dengan ukuran yang semakin ke atas semakin kecil. Pemaknaannya mengacu pada tritangtu atau trilogi ajaran Islam, yakni Tauhid, Syari’at, dan Akhlak.

Mesjid ini memiliki dua bagian, yakni ruang uatama dan serambi. Ruang utama berukuran 17,8 x 13,3 meter terdiri dari enam ruangan yang dikelilingi tembok 3 meter. Di ruang utama, terdapat 30 tiang berbentuk bulat dengan diameter 40 cm yang berdiri di atas umpak-umpak. Di dalam ruang utama ini terdapat mihrab (tempat imam), mimbar, dan maksurah. Beberapa di antaranya masih asli berasal dari masa Syeikh Syarif Hidayatullah.

Atap mihrab berbentuk lengkungan berhias motif bunga matahari dengan lidah api dan sulur-sulur yang disangga menggunakan tiang-tiang. Terdapat unsur Majapahit di mihrab ini dan memiliki kuncup teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Terdapat 3 ubin di lantai mihrab, yang disebut-sebut dipasang oleh Sunan Gunung Djati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.

Sementara, mimbarnya yang diberinama “Sang Renggakosa” letaknya di sisi utara mihrab. Bentuknya menyerupai kursi dengan tiga anak tangganya. Terukir motif yang membentuk bunga dan rantai pada setiap sisinya. Mihrab ini tidak menempel ke diding, mungkin supaya tidak mengalami pelembaban.

Sedangkan, maksurah (pagar pembatas) berbentuk palang kayu untuk tempat shalat. Maksurah-nya terdapat dua, yakni untuk Sultan Kasepuhan (kiri mimbar dengan pintu masuk dari barat) dan untuk sultan Kanoman (sebelah selatan dan pintu masuk dari timur).

Dinding mesjid ini berbahan bata merah yang berwarna dominan merah. Semntara untuk akses masuk, terdapat 9 pintu yang melambangkan sembilan anggota Walisanga. Pintu utamanya berukuran 240 Cm, sementara 8 buah lainnya berukuran 160 cm. Pintu utama dibuka pada saat moment Idul Fitri, Idul Adha, dan Mulid Nabi. Sedangkan, pintu kecil dibuka saat shalat Jum’at dan hari-hari biasa. Ketika mau masuk mesjid melalui pintu kecil, maka setiap orang harus merunduk terlebih dahulu. Hal ini menyimbolkan kerendahan, ketawadhuan, dan penghormatan ketika memasuki mesjid.

Di atas pintu masuk terdapat beberapa lubang angin yang berbentuk belah ketupat bergigi serta pilaster berhias motif teratai dan sulur-sulur pada bagian atas dan bawahnya.

Serambi Mesjid ini terbagi dua, yakni serambi dalam dan serambi luar. Serambi dalam terdiri dari serambi yang mengelilingi sisi selaran, timur, utara, dan barat. Serambi sisi selatan ruang utama diberinama Prabayaksa, sedangkan serambu timur dinamakan Pemandangan. Serambi selatan digunakan sebagai tempat sholat perempuan (pawastren).

Pada sisi utara terdapat bedug sang Guru Mangir (arau Kyai Buyut Tesbur Putih) yang panjangnya sekitar satu meter dan berdiameter 80 cm. Selain itu, terdapat pula sebuah rotan yang disebut-sebut sebagai peninggalan Sunan Kalijaga yang digunakan untuk menjemur pakaian Sunan Kalijaga.

Sebagai bagian yang terpisahkan, tempat bersuci pun ada di mesjid ini. Bahkan, terdapat sumur yang sudah tua yang dinamai “Bayu Cis”. Informasinya, keberadaan sumur ini ada bersamaan dengan keberadaan mesjid ini. Selain digunakan untuk bersuci, air ini digunakan juga sebagai air minum, bahkan sering juga digunakan sebagai “air” untuk pengobatan.

Pada bagian lain, dijumpai arsitektur bercorak China berbentuk piring warna merah atau dihiasi berbagai porselen buatan China yang berasal dari Dinasti Ming. Hal ini menunjukkan adanya upaya akulturasi budaya melalui affirmasi keragaman etnis dan budaya, temasuk China, dalam pembangunan mesjid ini. Terlebih, salah satu istri Syeikh Syarif Hidayatullah beretnis China, yakni Putri Ong Tin.

Mesjid ini diberi nama dengan “Sang Cipta Rasa”, karena dimaksudkan sebagai perwujudan dari rasa dan keimanan terhadap Sang Maha Pencipta. Selain itu, Mesjid ini disebut juga “Mesjid Pakungwati”, karena berada di komplek keraton Pakungwati Kasepuhan Cirebon.

Salah satu ciri khas dari mesjid ini adalah Adzan Pitu atau adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang secara bersamaan ketika menjelang pelaksanaan sholat Jum’at. Para muadzdinnya berpakaian serba putih. Keberadaan adzan pitu ini memiliki kisahnya sendiri, yaknibterkait dengan cerita “momolo” (kemuncak atap) dan cerita tolak bala dari “aji menjangan”. Selain itu, mungkin saja adzan pitu dimaksudkan agar suara adzan menjelang sholat Jum’at dapat terdengar ke tempat yang lebih jauh, terlebih karena mesjid ini berdekatan dengan pasar dan alun-alun keraton.

Pada saatnya, mesjid ini difungsikan sebagai tempat ibadah dari mulai sholat fardhu hingga shalat Id. Selain itu, mesjid ini pun digunakan sebagai tempat “open house” bagi para Sultan untuk bertemu dan menyapa masyarakat. Ketika ada yang perlu dimusyawarahkan, mesjid ini digunakan sebagai tempat musyawarah para petinggi kesultanan, pengurus mesjid, atau pihak-pihak terkait.

Dr Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *