Meredupnya Cahaya Qur’an

Menjelang bedug ditabuh, anak-anak itu mulai berangsur menuju masjid, mushala, atau sekedar langgar biasa. Laki ataupun perempuan. Mereka telah mengenakan kain sarung dan membawa al-Qur’an.

Anak-anak yang sudah mulai memasuki usia remaja, selain al-Qur’an, mereka juga membawa kitab yang lain, sepertiSafÄ«natunnaja dan Jurumiyah. Kedua-duanya merupakan referensi dasar yang dikaji para santri pada tingkat yang paling awal. Kitab yang pertama merupakan referensi fiqih, sehingga anak-anak mulai diperkenalkan dengan hukum-hukum dasar dalam berislam. Sementara yang kedua adalah kitab gramatika Bahasa Arab yang dikaji agar kelak anak-anak mulai terbiasa membaca kitab-kitab kuning dengan tulisan arab gundul.

Begitu bedug berbunyi, adzan maghrib pun berkumandang. Semua anak sudah berwudlu dan mulai memenuhi masjid-masjid kecil di sekitar rumah tempat tinggal mereka. Anak-anak pun mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah, khususnya maghrib dan isya. Dan, di antara waktu maghrib dan isya itulah mereka mengaji.

Sambil menunggu waktu Isya, mereka dibimbing oleh seorang ustadz yang biasanya sekaligus menjadi imam masjid. Materi pengajian sangat bervariasi. Tapi umumnya masih di seputar bacaan al-Qur’an, mulai dari kelompok pemula dengan materi pengenalan huruf hijaiyah hingga penyempurnaan bacaan. Sebagian lainnya mulai mengaji kitab kuning khususnya kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh ibadah.

Meski tidak datang dan mengaji di pesantren, anak-anak dapat memperoleh pelajaran agama seperti layaknya para santri. Mereka cukup belajar di masjid atau langgar di sekitar rumahnya dengan guru ngaji seorang ustadz atau ajengan kecil.

Begitu mulai dewasa, mereka sudah terbiasa menjalankan kewajiban rukun Islam, seperti shalat dan puasa. Bahkan mereka siap menjadi imam shalat di masjid, jika sewaktu-waktu diperlukan. Bacaan al-Qur’annya fasih meski tidak sebagus para qari yang secara khusus mempelajari qiraat. Mereka juga menguasai syarat-rukun dankaifiyat (tata cara) beribadah lengkap dengan bacaan do’a-do’anya

Mungkin, bagi sebagian orang di beberapa daerah, pemandangan di atas sudah sulit ditemukan saat ini. Kini ceritanya sudah berbalik. Bukan meninggalkan permainan dan mengalir menuju masjid, tapi malah menjauh dari masjid dan terkonsentrasi di depan televisi. Ustadz dan guru ngaji semakin kehilangan anak-anak mengaji. Wajar jika jumlah buta huruf al-Qur’an semakin membengkak dari tahun ke tahun.

Inilah di antara kenyataan yang sering menggelisahkan kita saat ini. Gairah anak-anak mengaji semakin turun derastis. Akibatnya, kemampuan membaca al-Qur’an dan kebiasaan beribadah pun semakin menurun. Yang lebih memprihatinkan lagi karena kenyataan itu berkaitan dengan sikap orangtua mereka.

Tidak sedikit orang tua yang mulai kurang atau bahkan tidak lagi peduli dengan kemampuan mengaji dan disiplin beribadah anak-anaknya. Fenomena ini bukan saja terjadi di lingkungan masyarakat urban, tapi juga mulai mewarnai masyarakat rural.

Secara kuantitatif memang terlihat nyata. Di Kota Bandung, misalnya, dengan menggunakan data sebaran anak di lembaga-lembaga pendidikan formal, terindikasi hanya sekitar 10% anak saat ini mengikuti kegiatan mengaji, belajar membaca al-Qur’an dan praktik-praktik ibadah seperti bersuci, shalat, puasa, dan do’a-do’a harian.

Pada umumnya mereka mengikuti kegiatan pengajian di lembaga-lembaga pendidikan al-Qur’an seperti Taman Pendidiikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) yang mulai tumbuh di masyarakat sejak sekitar sepuluh tahun terakhir, terutama sejak mulai ditemukan dan disebarkannya cara cepat belajar membaca al-Qur’an, metode Iqra.

Dari jumlah anak usia antara 6-12 tahun yang tengah menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar di Kota Bandung tahun 2009 sebanyak 229.871 orang, hanya 23.858 orang yang saat ini tercatat sedang belajar mengaji khususnya belajar membaca al-Qur’an. Mereka tersebar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 9.909 orang, di lembaga pendidikan al-Qur’an TPA/TPQ sebanyak 5.795 orang, dan di Madrasah Diniyah (MD) baik tingkat awaliyah (dasar) maupun wustha (menengah) sebanyak 8.154 orang.

Tentu ada anak yang dimungkinkan mengikuti kegiatan belajar al-Qur’an di luar lembaga tersebut, seperti di rumah dengan memanggil ustadz sendiri, namun jumlahnya diduga kuat tidak signifikan.

Memang ada kenyataan di masyarakat bahwa anak baru belajar al-Qur’an ketika berada di bangku sekolah lanjutan atas atau bahkan ketika telah duduk di bangku kuliah. Akan tetapi itu pun hanya bersifat kasuistik.

Fakta itu tidak bisa dijadikan ukuran yang tingkat keajegannya sulit dipercaya khususnya dalam menghitung jumlah masyarakat yang tengah belajar al-Qur’an. Bahkan, dari banyak pengalaman, semakin anak memasuki usia remaja, terlebih ketika mulai menginjak dewasa, anak cenderung semakin sulit untuk belajar al-Qur’an. Artinya, harapan yang paling besar untuk belajar al-Qur’an adalah ketika anak masih berada pada usia sekolah dasar, atau antara 5-12 tahun, atau bahkan sebelum itu, ketika mereka mulai mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.

Kenyataan lain mengindikasikan masih banyaknya orang dewasa dan bahkan orang tua yang masih belum mampu membaca huruf al-Qur’an. Ketika dilaksanakan latihan manasik haji bagi calon jamaah haji, misalnya, masih banyak di antaranya yang membaca do’a-do’a ibadah haji dengan menggunakan huruf latin.

Kondisi ini diperkirakan masih belum akan berubah pada sekitar 30-40 tahun yang akan datang. Sebab, jika sekitar 90% anak-anak usia SD saat ini tidak mengikuti pendidikan al-Qur’an, maka, dengan asumsi usia mereka saat ini rata-rata 10 tahun, pada 30-40 tahun yang akan datang mereka berusia 40-50 tahun dan masih belum mampu membaca huruf al-Qur’an. Menurut catatan salah satu biro perjalanan haji dan umrah, pada usia tersebut umumnya masyarakat kita menjalankan ibadah haji ataupun umrah.

Ini baru soal membaca huruf Arab, khususnya huruf al-Qur’an. Belum lagi menyangkut pemahaman dan penghayatan muatan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Lebih dari itu, seperti diisyaratkan al-Qur’an (2: 4), kita masih dihadapkan pada problem pengimanan atas kitab suci yang menjadi mu’jizat terbesar Nabi Muhammad ini.

Karena itu, lembaga-lembaga pendidikan al-Qur’an, selain mengajarkan membaca al-Qur’an, sejatinya juga menekankan perhatiannya pada pendidikan mengimani pesan ajarannya. Untuk tujuan ini, perlu dipikirkan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan perkembangan para peserta didik di semua jenjang pendidikan.

Itulah di antara pekerjaan besar kita hari ini dan ke depan. Jika kenyataan di atas terus dibiarkan, sangat mungkin spirit al-Qur’an akan semakin hilang dari kehidupan masyarakat muslim. Tesis yang pernah mengemuka awal 1980-an, bahwa ”orang Barat maju karena meninggalkan kitab sucinya, dan orang Islam mundur karena meninggalkan kitab sucinya”, akan menjadi kenyataan.

Kehadiran al-Qur’an di tengah umat kini terasa semakin menghilang karena kemampuan membacanya yang semakin menurun. Maka, tanpa disadari, pelan-pelan cahaya al-Qur’an pun semakin meredup di tengah kegelapan umat.*

Prof. Dr. Asep S. Muhtadi, MA, Guru Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN SGD BAndung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter