Kemerdekaan hakiki diraih dengan iman yang sempurna. Seorang mukmin yang taat sejatinya merupakan pribadi merdeka. Tuhan-tuhan kecil tak berdaya karena imannya paripurna.
Harta, takhta, dan nafsu dunia lain yang menjadikannya berpaling dari Tuhan tak lagi mampu mendominasi dirinya. Taat menjalankan tugas di muka bumi sebagai khalifah dan hamba. Tak ada takut, galau, dan duka karena sadar sepenuh hati bahwa segalanya telah ditentukan Sang Perencana.
Hatinya diisi dengan zikir, lisannya terpelihara dengan kalimah bermakna yang penuh nasihat dan membahagiakan sesama. Tangannya ringan membantu, menjadikan tetangga dan lingkungannya merasa nyaman dan aman bersamanya. Syariat Islam ditunaikannya dengan riang gembira. Keluarga dan lingkungannya merasakan kemanfaatan hidupnya.
Begitulah manusia merdeka yang hidupnya didedikasikan untuk menjalankan perintah Allah SWT yang diimaninya. Sepenuhnya sadar bahwa hal tersebut merupakan amal yang paling utama.
Diriwayatkan dari Abu Dzaar RA, aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, perbuatan apa saja yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.”
Lalu, aku bertanya lagi, “Memerdekakan budak apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Ialah budak yang paling baik dan paling berharga bagi pemiliknya.”
Aku menanyakan lagi, “Bagaimana kalau tak bisa berbuat demikian?”
Beliau menjawab, “Kamu membantu orang yang tak mempunyai pekerjaan.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah bagaimana kalau aku tidak bisa sama sekali?”
Beliau menjawab, ”Janganlah kamu berbuat jelek kepada orang lain, itulah sedekah darimu atas dirimu sendiri.” (HR Muslim).
Iman dalam praktiknya sebagai satu kesatuan. Tak hanya berdimensi vertikal kepada Allah semata, tapi kepada sesama dan lingkungan. Memerdekakan budak adalah bentuk dimensi sosial iman yang utama.
Pun demikian dengan memberikan pekerjaan, bukankah itu memberdayakan ekonomi saudara kita. Bahkan, jika tak ada kesanggupan sama sekali, menahan diri untuk tak berbuat buruk, merupakan kebaikan yang menjadi refleksi atas iman yang ada dalam dirinya.
Jadikanlah iman sebagai lentera dalam gelapnya lorong kehidupan. Dengan iman pula, manusia merdeka tak dijajah oleh silaunya dunia. Sebagaimana diperingatkan Allah SWT dalam surah Luqman ayat 33, “…Maka janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan pula penipu (setan) memperdayakan engkau dalam menaati Allah.”
Imam Hasan Basri mengingatkan, “Jauhilah dunia yang menyibukkan karena dunia itu banyak menyesatkan. Tidaklah seseorang membuka pintu kesibukan kecuali pintu tersebut membukakan sepuluh pintu lain untuknya. Hentikanlah nafsu ini karena ia bersifat rakus, durhakalah terhadapnya karena jika engkau menaatinya, nafsu akan membelokanmu kepada tujuan yang paling buruk. Asahlah ia dengan zikir, karena ia mudah punah. Jangan pernah ridha kepadanya.”
Kepada kita semua yang ingin menjadi pribadi merdeka, jadikan iman sebagai pilar utama. Mari jadikan hidup sepenuhnya bermanfaat, menebarkan keselamatan, taat menjalankan perintah agama, dan tak sedetik pun membiarkan jiwa lalai untuk berzikir kepada-Nya.
Lalu, rasakan dan nikmati hidup bahagia di dunia dan akhirat yang abadi selamanya. Wallaahu a’lam.
Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Hikmah Republika 18 Agustus 2020