(UINSGD.AC.ID) — Hasrat untuk menyatu dengan Allah (unity of god), melalui sejumlah tangga ritualitas ibadah haji dan umrah. Telah memantik lahirnya hasrat jamaah untuk menyatu dengan keluarga (unity of family), menyatu dengan masyarakat (unity of people), menyatu dengan kemanusiaan (unity of mankind), menyatu dengan lingkungan (unity of ecosystem), bahkan menyatu dengan alam (unity of cosmos). Inilah nilai adiluhung yang diwariskan ibadah haji dan umrah.
Secara theologis dan sosiologis, ada beberapa hal yang melatar belakangi jemaah untuk membangun kebersamaan itu. Sebagai manusia, jamaah menyadari bahwa dirinya adalah; mahluk yang lemah (Qs. An-Nisa : 4 dan Qs. Ar-Rum: 54), mahluk yang memiliki keterbatasan (Qs. Ali Imran: 26), mahluk yang memiliki kemampuan yang berbeda (Qs Az-Zukhruf: 32), mahluk yang memiliki dorongan untuk saling membutuhkan dan berinteraksi (Qs. An-Nisa: 4), mahluk yang memiliki kebutuhan untuk menghadapi hambatan, dan mahluk yang memiliki kesadaran interkoneksitas (Qs. Al-Hujurat : 10).
Karena fakta itulah, sedari awal keberangkatan ibadah haji dan umrah, saat pelaksanaan, apalagi ketika kembali ke tanah air. Hasrat untuk selalu bersama-sama, menyatu dan bersatu dalam tuju, menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Karena itu, dalam kearifan orang Afrika dikenal filsafat “Obonato”. Bila ditafsirkan, Obonato adalah; “I exist because we exist”; Aku ada karena Kita ada, adaku karena adanya kita. Masing-masing ada karena adanya yang lain.
Merawat kebersamaan, yang dikonstruk dari prosesi ibadah haji dan umrah, bisa dimulai dengan memperkokoh ta’aruf yang sudah dibangun selama ibadah itu dilaksanakan. Saling mengenal identitas dan berbagai latar belakang adalah hal yang niscaya dilakukan.
Rute berikutnya adalah tafahum, yakni kesediaan untuk saling memahami. Ada pelajaran berharga dari Qs Al-Anbiya: 79. Bahwa ketika Nabi Sulaiman As dan Nabi Daud As, dengan hikmah yang Allah anugerahkan kepada kedunya. Kemudian bersedia tafahum, memahami gunung dan burung-burung. Maka kedua mahluk itu, bersedia diajak Sulaiman dan Daud untuk bertasbih kepada Allah.
Jangankan manusia, binatang buas sekalipun, bila kita bersedia untuk memahaminya, ia akan mudah dikendalikan. Dalam hal tafahum, hal yang harus dihilangkan adalah egosentris. Rasulullah Saw bersabda, “Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri dan tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain, dan agar tidak seorang pun berlaku zalim pada yang lain.” (HR Muslim).
Karena lahir dari latar belakang yang berbeda. Berikutnya, rawatlah kebersamaan itu dengan saling toleran terhadap ragam perbedaan itu. Dalam terminologi akhlak, para ulama menyebutnya dengan tasamuh. Hal ini, sangat mungkin diwujudkan bila masing-masing jamaah menghilangkan sikap merasa paling hebat dengan gemar menonjolkan keakuan diri.
Berikutnya, rawatlah kebersamaam dengan ta’awun, yakni sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Dalam Qs.Al-Maidah:2, “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Menyertai hal itu, rawatlah kebersamaan degan mewaspadai ragam toxic, racun yang bisa merusaknya. Diantaranya ; a lack of support, kebersamaan tapi tidak saling mendukung. Blaming; kebersamaan tapi saling merendahkan dan mencela. Dishonesty; kebersamaan tapi nihil kejujur. Gaslighting; kebersamaan tapi manipulatif. Dan Hostility; kebersamaan tapi penuh kebencian.
Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 7 November 2023.