Merawat Harapan

Tahun kamari (kemarin), tahun kiwari (sekarang), tahun supagi (yang akan datang). Manusia ti­dak akan bisa lepas dari tiga dimensi waktu ini. Merenungkan tahun baru secara on­tologis adalah merenungkan tentang tiga hakikat waktu itu. Dan bukankah ma­sa depan peradaban sepenuhnya dirumus­kan dari kecermatan manusia dalam membangun waktu dengan penuh makna.

Tahun kamarin adalah sejarah masa si­lam sebagai pandu utama agar kita baik secara personal ataupun sosial kebangsa­an tidak melakukan pengulangan kesalah­an serupa. Bukankah tidak ada sebuah kedunguan fatal melebihi keledai ketika kaki terjerumus dalam lubang yang sama. Betapa penting dimensi kamarin sehingga hampir semua kitab suci yang diturunkan Tuhan didominasi narasi cerita silam. Di ujung narasi-Nya dibubuhkan ungkapan, “Dan renungkanlah secara seksama bagai­mana akhir hikayat umat terdahulu?”

Pantas seandainya Bung Karno menye­rukan “jas merah”. Jangan sekali-kali me­lupakan lempengan sejarah. Nyaris sudah menjadi hukum alam, hampir semua bang­sa mengalami keterpurukan di ujung ordenya tidak lain lantaran absennya ke­adaran terhadap masa silam. “Kutukan sosial” itu datang, bukan tersebab hal ba­ru, tapi karena tersekap hal lama yang tidak bisa petik pelajaran darinya.

Bagaimanapun juga sejarah itu berulang, repetitif. Yang membedakan satu de­ngan lainnya hanya luarannya, semantara substansinya tidaklah jauh berbeda. Ha­nya bahasanya yang berlainan, semantara mataholang-nya serupa. Kata seorang filsuf, di kolong langit sejatinya tidak ada yang baru.

Kegaduhan Politik

Dalam konteks politik, kegaduhan partai itu sejak lama sudah berlangsung. Bisa jadi periode 1945-1955 lebih keras lagi. Gedung konstituante jadi medan para politisi untuk mengadu nalar menawarkan ideologi yang diyakininya mam­pu mempercepat bangsa menuju cita-cita yang diidamkannya. PNI, PKI, dan Masyumi saling berebut keku­a­saan. Kabinet dan Perdana Menteri jatuh bangun bahkan ada yang seumur jagung.

Hari ini kegaduhan yang sama terulang. Politik kembali menjadi panglima. Partai politik menjamur dan tahun 2014 akan mendapatkan panggungnya karena pemi­lu dan pemilihan presiden akan berlangsung. Hanya yang membedakannya ge­dung rakyat saat ini tidak lagi menjadi are­­na perdebatan dengan logika luhur tapi lebih kepada memperebutkan rente. Ham­­pir semua partai memiliki irisan ideologi yang sama: pragmatisme. Sementa­ra islam, demokrasi, nasionalisme hanya sebagai “jubah”. Seandainya “jubah” itu dibuka tubuh partai itu tidak bisa dibeda­kan satu dengan lainnya. Buktinya politisi yang rajin korupsi menerpa semua partai.

Dahulu kabinet bisa silih berganti. Hari ini kabinet “aman” bahkan partai koalisi yang bersikap laksana opsisi pun perwa­kil­annya di pemerintahan bisa tenang ka­rena sang nakhoda tampaknya lebih mementingkan “stabilitas politik”. Sayang stabilitas politik tidak sebanding lurus dengan kemakmuran ekonomi. Takdirnya wujuduhu ka adamihi, ada pemerintah seolah tidak ada.

Revolusi Harapan

2014 adalah tahun kiwari. Pergantian tahun akan segara datang menghampiri. Tentu saja kedatangan 2014 diiringi senarai harapan. Harapan tentang sebuah kabaikan, tentang bangsa yang terbebas dari korupsi, dari kekerasan baik fisik ataupun simbolik, dari watak intoleran, dari sikap jumawa, dari kerumunan politisi tengik, dari tontonan “aurat” yang bikin miris. Harapan untuk mendekatkan apa yang seharusnya dengan senyatanya.

Bagaimanapun juga, seperti ditulis Fromm dalam “Revolusi Harapan”, h­a­rap­anlah yang membuat kita “ada” dan bangsa dapat merawat cita-cita yang telah ditulis para pendirinya. Harapan sebagai “unsur instrinsik struktur kehidupan, sebuah dinamika dalam spirit manusia.” Harapan itu sahih manakalah diturunkan dalam “strategi kebudayaan” yang jelas.

Sebaliknya. Jika tidak seperti itu, bu­kanlah harapan, tapi lamunan. Diri dan bangsa yang dijangkarkan di atas hamparan lamunan tidak akan ada yang dapat dicapai kecuali keputusasaan dan selebihnya rendah diri. Bangsa yang penuh lamunan biasanya bukan mengisi mangsa kiwari dengan sesuatu yang positif apalagi merumuskan visi mangsa supagi tapi ha­nya bisa mendewakan kehebatan leluhur­nya, sejarah kemudian diidealisasi, tanpa tahu bagaimana api sejarah menjadi cahaya yang menerangi langkah-langkah ke depan.

Bangsa yang hanya menjadi “mesin” dari gelagak industri global, tuna kepribadian, kehilangan otensitas pengalamanya sebagai manusia, “Manusia dalam proses sosial semacam ini menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup tetapi pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Perasaan-perasaan dalam hubungannya dengan orang lain diatur oleh alat-alat yang mengkondisikan psikologis, pembiusan yang dianggap memberi bentuk pengalaman instropektif baru” (Fromm: 2004).

Supagi

Rumusan waktu falsafah Sunda supagi ini mengandung muatan arti luhur. Supagi interaksi simboliknya dengan tahun (dan waktu) yang akan datang. Nu bakal kasorang yang kelak akan menjadi riwayat (lalakon) kita.

Dalam makna religius supagi itu tidak saja berkaitan dengan gerak, ruang dan waktu profan (dunia) tapi juga ditancapkan di atas landasan yang jauh menembus hijab kegaiban. Kaum agamawan menyebutnya akhir (hari akhirat). Menjadi sa­ngat dipahami kalau Tuhan berseru tentang keniscayaan mempersiapkan bekal untuk kehidupan masa depan.

Bangsa yang besar tidak hanya berbi­ca­ra tentang tahun silam, sekarang tapi juga mempersiapkan “bekal” untuk generasi yang akan datang sebagai pewa­ris sah bangsa ini dengan visi yang terarah. Inilah hakikat arti supagi. Akhirnya selamat Tahun Baru 2014. Semoga keberkahan senantiasa menyertai kita. []

Asep Salahudin, esais dan pengamat sosial/dosen di UIN dan IAILM

Sumber, Galamedia 30 Desember 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter