Sesungguhnya Allah menggunakan takaran atau ukuran yang pas dalam menentukan segala sesuatu (Qs. Al-Qomar:49). Karena itu apapaun yang ditentukan atau di takdirkan Allah atas hambanya, pasti yang terbaik. Namun karena diikat emosi dan ragam keterbatasan, baik dalam pengalaman, pengetahuan dan ilmu, irama takdir Allah sebagai sesuatu yang terbaik dan terindah, kerap kali dirasakan menyesakan dada.
Sangat manusiawi, ketika semua kesulitan telah dilalui, semua rintangan telah dihadapi dan segala persiapan telah dijalani, demi merasakan indahnya ziarah ke makam Rasulullah dan khusu’nya ibadah di depan ka’bah serta harunya berkumpul di padang arafah, demi kesempurnaan status keberimaan dan keberisalaman di hadapan Allah Sang pemilik Baitullah, tiba-tiba harus ditangguhkan. Kesedihan, kepedihan, kekesalan bercampur menjadi satu. Harapan menjadi tamu Allah seakan pupus dan hati cedera begitu serius.
Pada pojok ruang batin yang demikian, Allah menegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 216, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dalam spsirit ayat ini, Allah sesungguhnya telah mengatur recana terindah dan teristimewa untuk perjalanan ibadah haji kita.
Yang terpenting dilakukan oleh semua calon tamun Allah yang ditangguhkan keberangkatannya, karena kepungan pandemi covid 19 ini adalah merawat harapan. Harapan untuk bisa bertamu dan bertemu dengan Allah jangan sampai putus apalagi pupus. Allah mengingatkan dalam Al-Qu’an surat Yusuf : 87, “jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir”.
Pertama rawatlah harapan itu dengan totalitas kesabaran. dalam pikiran bening para pejalan kaki dibukit kearifan, harapan itu ibarat menapakan kaki di belantara hutan. Di sana tak pernah ada jalan. Tapi jika banyak orang yang sabar untuk menapakinya, jalan itu akan terbentang. Dalam narasi ini, kesabaran ibarat pupuk yang bisa meyuburkan harapan. Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 200 menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah waspada dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu menjadi manusia beruntung.
Kedua, rawatlah harapan dengan berbaik sangka kepada Allah. “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berbaik sangka, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Jika berprasangka buruk, maka ia mendapatkan keburukan.” (HR. Ahmad). Dalam spirit hadits Qudsi ini, manakala prasangka untuk bisa menikmati indahnya ibadah di tanah suci, indahnya bertamu ke makam nabi, dan indahnya berkumpul dengan hamba yang soleh dalam prosesi ritual haji, dirawat dengan baik. Maka Allah akan menghantarkan kita pada prasangka itu.
Ketiga, rawatlah harapan dengan amal sholeh. Dalam simpulan para ulama, diantara amal sholeh itu adalah memanfaatkan masa tunggu satu tahun ini untuk memperkaya diri dengan ilmu. Mengkaji lebih dalam fiqih haji dan umrah, ahlak betamu ke rumah Allah, dan mematangkan seluruh rangkaian manasik. Selain itu, mulai praktikan identitas haji mabrur dalam kehidupan sehari-hari, seperti: menjadi penebar kedamaian, penyantun pakir miskin, penggiat sholat malam, dan penyambung silaturahim. Dengan amal sholeh itu, dalam simpulan para ulama kita telah mabrur sebelum berhaji atau menjadi haji sebelum berhaji.
Berikutnya rawatlah harapan dengan doa. Para ulama ahli ushulud du’a menyebut doa adalah penjaga dari setiap harapan. Do’a adalah bentuk komunikasi transendental, curah ruhani atau dialog imajiner antara kita dengan Allah. Dalam keberlangsungan doa ada koneksitas tinggi dengan yang ilahi. Pada kutub ini, setiap harapan akan berbuah kenyataan. Semoga.
Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 23 Juni 2020