MENYOAL MORALITAS PEMIMPIN: Refleksi Derama Dua Episode

“Kepemimpinan” merupakan istilah yang berkelindan dengan term “politik”, bahkan antara kepemimpinan dan politik ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Politik, pada hakekatnya menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan itu sendiri. Ketika kepemimpinan dikaitkan dengan politik, maka sering orang beranggapan bahwa politik adalah kekuasaan yang cenderung kejam, radikal dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.

Barangkali, anggapan seperti itu ada benarnya juga ketika politik atau kekuasaan tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral pada pribadi seorang pemimpin. Untuk itulah tulisan ini akan mengetengahkan moralitas pemimpin, yang  direfleksikan dalam dua episode.

Episode Pertama: Refleksi Manusia Cinta Dunia 

Pemimpin pada dasarnya harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam rangka mensejahterakan suatu masyarakat atau anggota yang dipimpinnya. Pemimpin adalah leader dalam menciptakan  suatu organisasi yang kondusif, aman, dan tertatur. Kondisi seperti ini akan tercipta ketika seorang pemimpin dibingkai dalam moralitas yang terpuji. Salah satu moralitas yang penting adalah sikap menghindari nafsu serakah duniawi yang cenderung ingin memperkaya diri.   

Berkaitan dengan hal di atas, dalam kitab Nasihatul Muluk, al-Ghazali menceritakan bahwa pada zaman Nabi Isa AS ada tiga orang pejalan kaki yang sedang menuju suatu tempat. Di tengah perjalanan, mereka menemukan timbunan harta karun. Saat menemukan tumpukan harta tersebut, ketiganya sama-sama merasakan lapar. Kemudian mereka berunding menentukan salah seorang untuk membeli makanan, sementara yang dua orang harus menjaga harta karun. Dari perundingan itu sepakatlah salah seorang di antara mereka ditunjuk untuk membeli makanan.

Orang yang ditunjuk membeli makanan itu, tiba-tiba di tengah perjalanan timbul niat jahat dalam hatinya, untuk membubuhi makanan yang akan dibelinya dengan racun  agar teman berdua yang tengah menunggu harta karun tadi mati ketika memakan makanan itu. Dengan begitu, ia lebih leluasa dan dapat mengambil seluruh timbunan kekayaan  itu hanya untuk dirinya sendiri. Ia sungguh-sungguh melakukan niat jahatnya itu, dengan meracuni makanan yang baru dibelinya.

Sementara itu, dua rekannya yang tengah menunggu harta karun pun telah sepakat untuk membunuh seorang temannya begitu kembali dari membeli makanan, dengan harapan timbunan kekayaan itu hanya dibagi dua. Setelah pembeli makanan sampai ke tempat semula, kedua rekannya langsung membunuhnya secara sadis. Setelah temannya tidak bernyawa lagi, keduanya pun langsung menyantap makanan beracun yang dibawa oleh rekannya yang sudah mati lebih dahulu. Apa hendak dikata, ternyata kedua rekan yang terakhir ini pun mati menemui ajal dengan cara yang mengenaskan.

Konon Nabi Isa  sempat mengunjungi tempat kejadian itu, dan kepada pendukungnya yang setia (al-Hawariyyun), ia berkata, “Lihat, inilah dunia. Bagaimana ia telah membunuh tiga orang itu secara bersamaan. Setelah mereka, tentu akan banyak lagi korban-korban berguguran dari para pemburu dan pencinta dunia.”

Episode di atas, menggambarkan betapa berbahayanya sikap cinta dunia, sehinga ketika sikap ini bersemayam dalam hati pemimpin, maka tidak heran kalau di suatu organisasi atau negara yang dipimpinnya hanya akan memunculkan manusia-manusia yang rakus dunia, serakah, tidak bersahabat, dan memandang orang lain sebagai rival yang harus dilenyapkan, demi untuk mengejar kenikmatan duniawi.

Episode Kedua: Refleksi Moralitas Bersahaja

Untuk “episode kedua”, dikutif dari kisah khalifah Umar yang dimuat oleh Syeikh Ahmad Muhammad ‘Assaf dalam kitab  Qabasat min Hayati al-Rasul (Berkas-Berkas Cahaya Kenabian). Kisah yang dimaksud sebagai berikut: Suatu hari, ketika pasukan Muslimin telah berhasil mengepung kota Baitul Maqdis, Beatrice Sofernius (Gubernur Baitul Maqdis) tiba-tiba naik ke atas dinding pembatas kota dan berkata kepada pasukan kaum muslimin, “Kami mengaku kalah, tetapi kami akan menyerahkan kota  ini kepada pemimpin kalian secara langsung.”

Mendengar seruan itu, maka tampillah panglima perang dari pasukan kaum muslimin. Namun Gubernur Baitul Maqdis itu dengan tegas menolak, seraya mengatakan, “Tidak, kami menginginkan pemimpin besar kalian. Kami ingin penyerahkan kota ini langsung kepada  Amirul Mukminin.”Ketika itulah panglima perang menulis surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Isi surat itu meminta Umar bin Khathab segera datang ke Baitul Maqdis, karena warga setempat hanya mau menyerahkan Baitul Maqdis langsung kepada Umar. Setelah membaca surat itu, Umar bin Khattab bergegas menyiapkan keberangkatannya dengan seorang pembantu dan seekor kuda tunggangan. Ketika sudah di perbatasan kota Madinah, Umar berkata, “Wahai Ghulam (panggilan santun untuk pembantunya), kita berdua hanya memiliki satu kuda tunggangan. Jika aku naik sementara engkau jalan kaki, berarti aku berlaku zalim kepadamu; namun jika engkau naik sementara aku jalan kaki, berarti engkau menzalimiku; dan jika kita berdua naik bersama-sama maka berarti kita menzalimi kuda ini. Karena itu kita bagi tiga saja perjalanan ini.”

Dengan adil kemudian Umar membagi sepertiga perjalanan adalah hak kuda (melenggang tanpa beban), sepertiga lagi untuk Umar, dan sepertiga terakhir untuk pembantunya. Setelah hak kuda (sepertiga) selesai, kemudian Umar menaiki kendaraan sepertiga kedua, setelah itu gantian pembantunya yang mengendarai pada sepertiga terakhir. Begitulah, perjalanan berlangsung dengan pembagian hak antara Khalifah, pembantunya, dan kudanya.

Ketika perjalanan telah sampai di bukit yang menghadap langsung dengan kota Baitul Maqdis, bersamaan pula dengan habisnya waktu Umar menaiki kuda, dan ia pun membaca takbir. Setelah itu, Umar berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!” Sang pembantu kemudian menolak, seraya mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik, karena kita hampir sampai di kota tujuan. Sedangkan di kota ini peradabannya sudah maju, berbagai kendaraan mewah, kuda-kuda yang gagah dan indah, serta berbagai pemandangan modern lengkap di kota ini. Jika kita datang dengan penampilan seperti ini, yakni saya naik kendaraan sementara Amirul Mukminin menuntun kuda yang saya tunggangi, tentu mereka akan merendahkan dan menertawakan kita. Dan itu tentu berpengaruh kepada kemenangan kita.”

Mendengar alasan pembantunya itu,  spontanitas Khalifah Umar berkata, “Ini giliranmu, hakmu. Kalau saja ini pas giliranku tentu aku tidak turun dan engkau tidak naik. Karena sekarang ini adalah hakmu, maka –demi Allah– aku harus turun dan engkau harus naik.”

Kemudian turunlah Khalifah dan naiklah pembantunya. Umar pun mulai menuntun kuda. Ketika sampai di pagar kota, masyarakat kota menjemputnya di pintu yang bernama “Bab Damaskus” dengan pimpinan Beatrice Sofernius. Begitu rombongan Umar datang, penduduk Baitul Maqdis langsung menyambut orang yang berada di atas kendaraan dengan mengelu-elukan dan bahkan memberi hormat sujud kepadanya. Melihat tingkah mereka itu, si pembantu memukul-mukul mereka dengan tongkatnya dari atas kuda, sembari berkata menghardik, “Celaka kalian. Angkatlah muka kalian. Sungguh, tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah semata!” Pembantu itu pun seraya menghardik bahwa yang dielu-elukan hanyalah seorang budak, sedangkan Amirul Mukminin adalah yang sedang menuntun kuda ini.

Mendengar hardikan dan penjelasan pembantu itu, maka Beatrice Sofernius menatap dan menangis. Umar terharu melihat ini, lalu ia mendekati Beatrice Sofernius untuk menghiburnya. Berkatalah Sofernius, “Aku menangis karena aku merasa yakin bahwa negerimu akan tegak abadi selamanya, tidak akan runtuh.” Sofernius nampak begitu kagum terhadap pemandangan yang baru saja ia temukan, yakni  seorang pemimpin  besar ummat Islam tetapi sangat bersahaja dan berlaku adil kendatipun terhadap pembantu dan hewan tunggangannya. Demikian kisah episode kedua.

Secara sepintas, dua episode di atas sangat kontras dan sulit dicari titik temu antara keduanya. Tetapi, kalau kita analisa lebih lanjut ternyata kedua episode tersebut sangat relevan jika dikaji dalam atmosfer kepemimpinan bangsa kita sekarang ini.

Pada episode pertama menggambarkan manusia-manusia yang sangat haus dengan kemewahan dan kenikmatan dunia. Demi untuk memperoleh setumpuk harta kekayaan, mereka menjadi gelap mata, dan niat jahat pun menjadi begitu akrab bersemayam dalam dirinya. Apapun akan mereka lakukan, kendatipun harus dengan saling membunuh. Di sini sudah tidak ada lagi moralitas, karena nafsu dan cinta dunialah yang  telah menenggelamkan hatinya. Sifat kebinatangan dan perilaku setan yang tidak pernah puas, serakah, dan haus kenikmatan duniawi, telah berurat-berakar dalam diri para pencinta dunia. Pantas saja kalau Rasulullah pernah mensinyalir, “Hubbu dunia ra’su kulli khathi’atin” (Cinta dunia adalah sumber segala kejahatan).       

Sedangkan episode kedua menggambarkan bagaimana seorang Umar “Amirul Mukminin”, telah menampilkan keteladanan luar biasa. Ia berlaku adil dan bijak bukan saja terhadap dirinya, tetapi juga terhadap rakyat, pembantu, bahkan terhadap seekor kudanya sekalipun.  Seorang Umar adalah pemimpin besar yang secara formal semestinya tinggal di istana mewah, tetapi realitasnya ternyata seorang hamba Allah yang sangat bersahaja. Perhatiannya terhadap rakyat sangat besar, sehingga ia dikenal sangat egaliter dan merakyat. Ia tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya dan miskin, serta penguasa dan rakyat jelata. Semua diperlakukan sama, yang salah dihukum, dan yang benar dibela. Terkait hal ini, Rasulullah pernah bersabda (yang artinya): “Seandainya Fatimah mencuri, maka tetap akan Aku potong tangannya”.

Perilaku adil seorang pemimpin (baca: Umar) memang sangat popular dan diakui oleh umat Islam. Bahkan, setiap malam Umar pergi berkeliling mengamati keadaan rakyat, karena khawatir ada di antara mereka yang mengalami kesulitan, sakit atau kelaparan. Umar tidak segan-segan memberikan bantuan langsung dengan mengangkat sendiri makanan untuk orang-orang yang memerlukan. Dalam berpakaian pun sangat sederhana, bahkan tidak pantas dipakai oleh seorang pembesar seperti dia. Kesederhanaannya bisa dilihat ketika suatu hari ia pernah berpidato di hadapan rakyatnya dengan memakai kain yang terdapat dua belas tambalan, baju empat tambalan dan tidak memiliki kain lagi.

Dalam catatan al-Hujwiri, bahwa ‘Umar memakai muraqqa’at (jubah tambalan) sebanyak tiga puluh tambalan. Prinsip kesederhanaan  juga diterapkan di lingkungan keluarganya. Istri dan anak-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pembesar maupun dari rakyat.Moralitas Umar adalah moralitas ideal seorang pemimpin. Ia memandang jabatan kepala negara adalah amanah, dan bukan jabatan untuk mengeruk kekayaan.

Sebaliknya, jika seseorang merebut posisi kepala negara dengan maksud untuk menumpuk kekayaan dan kenikmatan duniawi, maka perilaku-perilaku amoral pasti akan muncul. Pemimpin seperti ini bisa berbuat seperti tiga orang yang dikisahkan pada episode pertama di atas, yakni dengan menghalalkan segala cara, bahkan membunuh rival-rival politiknya pun dianggap sebagai hal yang wajar.

Bagaimanapun moralitas harus menjadi basis utama pada diri pemimpin daripada embel-embel kepribadian lainnya. Untuk itu, dalam kondisi bangsa yang belum lepas dari kubangan krisis multi-dimensi, nampaknya sinyalemen-sinyalemen yang mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang “kuat”, adalah tidak tepat. Yang lebih tepat, bahwa kita membutuhkan pemimpin  yang bermoral dan memiliki keteladanan. Prototype Umar bin Khathab, dengan moralitasnya yang bersahaja, adil, bijaksana, tanggung-jawab, dan rela berkorban, adalah nilai-nilai keteladanan yang sangat dibutuhkan dalam konteks pemimpin di Indonesia sekarang ini.

Persoalanya sekarang, lain Umar, lain pula pemimpin-pemimpin bangsa kita saat ini. Umar bergaransi moral, sedangkan pemimpin bangsa kita kini bergaransi “perubahan”. Masihkan kita berharap, pimpinan kita memiliki spirit sebagai “Umar”-nya Indonesia? Dengan begitu, dalam memaknai jargon “perubahan” bermula dari perbaikan moral, baik moral penguasa maupun rakyat.

Soal perubahan dari kekacaun kepada kedamaian atau kemiskinan kepada kesejahteraan, sesungguhnya hanyalah perubahan materil saja, dan perubahan seperti ini baru datang kemudian setelah moralitas ditegakkan. Perubahan yang signifikan harus nampak pada diri pemimpin, dari godaan haus kekayaan dan kekuasaan berganti menjadi moralitas bersahaja dan peduli rakyat. Rakyat membutuhkan pemimpin bermoral, bijak, dan adil –seperti tergambar dalam episode kedua– dan bukan pemimpin yang tidak bermoral dan rakus kekayaan–seperti tergambar dalam episode pertama[]

Penulis adalah Guru Besar dan Pembantu Rektor II UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter