Menyoal Hubungan Ilmu & Agama

Semenjak bermetamorfosa dari IAIN, UIN Sunan Gunung Djati Bandung seolah menjadi lanskap yang besar. Di dalamnya tidak hanya fakultas-fakultas agama yang dibiarkan hidup tetapi juga menyediakan lahan untuk tumbuhnya fakultas-fakultas umum yang kerap dianggap “sekuler”. Metamorfosa ini seakan mengindikasikan suatu babak baru tentang niat menyulam mendudukan dua perspektif yang berbeda –ilmu agama dan ilmu umum—dalam satu singgasana akademik secara harmonis.

Penulis menduga, dirubahnya IAIN menjadi UIN disertai dibukanya fakultas –fakultas umum, merupakan panggilan sekaligus kesadaran sejarah. Sebagai kesadaran sejarah, dibukanya fakultas umum tidak sekedar upaya mengharmoniskan ilmu agama dan umum untuk duduk dalam singgasana keilmuan yang harmonis tetapi disadari bahwa keajegan dan kekayaan sebuah ilmu selalu merupakan hasil pertemuan, racikan dan “interkoneksi-integrasi” –dalam istilah Amin Abdullah– antar berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Disadari, disiplin keilmuan yang ada, baik itu ilmu agama, ilmu sosial, humaniora, maupun ilmu pengetahuan (science) tidak akan mampu bertahan dan kokoh sendirian tanpa bantuan dari disiplin ilmu lain. 

Membuka diri

Mental self sufficiency (cukup-diri) dan merasa mampu menyelesaikan persoalan secara sendirian tidak hanya sejenis kesombongan tetapi juga indikasi adanya cara pandang myopic (sempit) dalam melihat realitas hidup bermasyarakat dan beragama. Padahal tantangan keilmuan yang dihadapi semakin hari bukannya semakin sederhana tetapi semakin rumit, serumit kehidupan itu sendiri. Akibat dari cara pandang yang myopic sebuah ilmu bisa kehilangan perpektif karena tidak mampu melihat, memahami dan menangkap realitas secara bulat-utuh.

Kesediaan membuka diri disertai kemauan untuk memperkaya wawasan dengan perspektif ilmu yang berbeda dengan sendirinya menuntun pada kesanggupan dan kesungguhan untuk membuka tabir-tabir antar disiplin keilmuan dan memberikan ruang komunikasi lebih mendalam dengan dilandasi kesadaran rendah hati, rasa ingin tahu dan tanggungjawab atas kemanusiaan dan pengembangan bangunan-bangunan disiplin keilmuan.

Setelah 9 tahun berubah menjadi UIN adakah indikasi bahwa UIN Sunan Gunung Djati berupaya secara sungguh-sungguh mewujudkan dirinya menjadi lembaga pendidikan tinggi yang mendudukan ilmu agama dan ilmu umum secara harmonis atau menganyam pola hubungan antara keduanya secara interkoneksi-integrasi?

Di awal kemunculannya menjadi UIN, terdapat adagium akademis yang cukup menghipnotis dan mentereng, yaitu “Wahyu Memandu Ilmu”, yang akhir-akhir ini suaranya semakin terdengar sayup-sayup dan nyaris tak bergema. Dalam adagium itu terkandung sebuah sangkaan bahwa wahyu adalah medan kesadaran, pusat dan sumber pemaknaan, sedangkan ilmu adalah the others yang harus disadarkan, letaknya di pinggir dan sekawanan chaos yang harus tertibkan.

Dalam adagium itu terkandung juga sebuah dugaan bahwa agama (wahyu) dan ilmu seolah berasal dari sumber yang berbeda dan karena itu hirarkhis (ordo esendi). Agama dari Tuhan letaknya di atas dan ilmu berasal dari manusia letaknya di bawah. Derajatnya pasti berbeda. Keyakinan penulis, pemisahan antara keduanya secara doktriner tidaklah dikenal sama sekali. Agama (wahyu) dan ilmu berasal dari satu Sumber yang sama. Dua-duanya memiliki tugas yang sama “mulianya”, yaitu merumuskan nilai dan kebenaran. Kalaupun ada perbedaan, letaknya ada pada metode dan sudut pandang yang digunakan. 

Beda perspektif

Jika agama (wahyu) dan ilmu sama-sama memiliki tugas menjelaskan  dunia dan kehidupan, bagaimanakah mendudukan keduanya secara seimbang dengan tidak menganggap bahwa yang satu harus lebih superior ketimbang yang lainnya?

Dalam tugasnya menjelaskan dunia dan kehidupan, agama dan ilmu memiliki perspektif yang berbeda. Perspektif ilmu melihat alam sebagai dunia objektif atau fakta-fakta yang tunduk pada hukum-hukum kausal dan mekanistis. Di dalam ilmu (sains) makna bersangkutan dengan kebenaran faktual tentang proses-proses dalam dunia objektif itu. Sedangkan perspektif agama melihat alam dalam kaitannya dengan kenyataan transendental dan penghayatan eksistensial manusia. 

Gelombang tsunami yang pernah melumat Aceh misalnya, dari sudut ilmu dapat dicarikan pemecahannya berdasarkan telaah dan dikalkulasi geologis. Namun, berdasarkan telaah religius, peristiwa tsunami dapat ditilik secara eksistensial dan transendental sebagai perjumpaan dengan hal-hal yang supra-rasional. Fokus telaah ilmiah adalah manipulabilitas dunia objektif, sedangkan telaah religius berfokus pada interseksi eksistensial antara dunia objektif, subjektif, dan intersubjektif sebagai suatu pergumulan dengan realitas-realitas akhir. 

Jika posisi ini diterima, tidak perlu ada pemisahan antara keduanya ataupun mengistimewakan yang satu atas yang lainnya. Distingsi tentang keduanya seperti yang dijelaskan di atas hendak memperlihatkan bahwa ilmu tidak mempersoalkan kebenaran eksistensial dan transendental, seperti juga agama (wahyu) tidak berpretensi untuk menjadi ilmu yang memberi penjelasan tentang kebenaran faktual. 

Pada peringatan Dies Natalis yang 46 (jika menghitungnya dari usia IAIN) ini, UIN menyandang tugas yang maha berat. Tugas itu bukan sekedar ambisi dan niat menampilkan dirinya menjadi World Class University  yang sering hanya berupa auman semata. Disamping menjadi lembaga yang memfokuskan dirinya pada syiar dan keagungan Islam yang toleran dan inklusif tetapi juga mengemban kewajiban melahirkan gagasan dan corak keilmuan yang bermanfaat untuk masyarakat dan kehidupan. Dan jika berhasil diwujudkan, sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas. Wallahu a’lam bi-Shawab. []

 

Radea Juli A. Hambali, Pengajar Filsafat pada Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 8 April 2014

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter