Pandemi Covid-19 kejam: merenggut ratusan ribu jiwa, merumahsakitkan jutaan warga, dan memporak-porandakan tatanan kehidupan manusia. Namun sunatullah, di antara musibah pasti ada hikmah. Para ulama, orang bijak, dan kalangan cerdik pandai sudah banyak mengungkap hikmah besar di balik pandemi covid-19; mulai hikmah aqidah, filosofis, hingga hikmah pragmatis, sehingga tidak sedikit pandemi covid-19 pun selain mematikan aktivitas, juga menghidupkan kreativitas.
Efek Manfaat
National Geographic Indonesia (2020) melaporkan, kebijakan mengurangi risiko penularan covid-19 yang memaksa warga tinggal di rumah, menghindari kerumunan, sekolah dan tempat hiburan ditutup, perusahaan menerapkan #BekerjaDariRumah, serta pembatasan transportasi umum, mengakibatkan kondisi bumi menjadi lebih baik. Pencemaran udara di banyak kota sejumlah negara berkurang, emisi karbon dunia menurun.
Sejumlah fakta hasil kajian para ilmuwan yang diungkap berbagai media menyebutkan, efek kebijakan memerangi covid-19 yang mendunia telah me-refresh bumi menjadi lebih segar dan bugar. Bumi menjadi lebih sunyi karena separuh populasi dunia mengurangi aktivitas, sehingga getaran Planet Bumi berkurang.
Thomas Lecocq, Seismologi Belgia di Royal Observatory of Belgium yang dipublikasikan Jurnal Nature (2020) mengobservasi getaran bumi merosot sekitar sepertiga. Pernyataan sama dibenarkan para ahli di berbagai negara, Selandia Baru, Skotlandia, Perancis, Inggris, dan negara lainnya.
Membaiknya kondisi bumi efek dari pandemi covid-19 pun terjadi di belahan bumi Ibu Pertiwi. Kasat mata dan dirasakan bersama, sejumlah kota besar sempat hening, nyaman, dan tenang, rehat dari kebisingan yang sudah puluhan tahun terjadi. Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) kendati melelahkan dan menelan biaya besar, tetapi memberikan makna efek positif pada kehidupan. Seolah alam Indonesia istirahat sejenak dari kesibukan melayani wara wiri anak negeri.
Masih banyak fakta lain yang menguatkan tesis, kendati melahirkan penderitaan berat bagi warga bumi, pandemi covid-19 pun memberikan harapan perbaikan hidup baru. Islam memang mengajarkan di antara kesulitan pasti ada kemudahan; di antara keburukan pasti ada kebaikan. Oleh karena itu, para alim ulama pun mengamanahkan, obat paling mujarab dalam penderitaan apapun adalah kesabaran: sabar untuk berusaha mencari solusi, jika belum berhasil tidak pernah berhenti; sabar untuk terus berdo’a, jika belum dikabulkan tetap berharap; sabar bertawakal semoga ini ujian untuk naik lebih baik. Wallahu A’lam Bishawab.
Kebijakan Kritis Analitik
Bagi orang terdidik semua fenomena yang terjadi, di antara riuhnya efek positif dan dampak negatif pandemi covid-19, akan menjadi pembacaan, pencermatan, penela’ahan, dan pemanfaatan bagi kehidupan. Karena pendidikan yang efektif mampu membangun pemikiran menghubungkan berbagai pengetahuan dengan informasi baru yang diperoleh dari pembelajaran alam (Lawson, 2004). Kawah candradimuka pendidikan sebagai sarana berlatih berpikir kritis, logis, dan analitis, mengamati fenomena dan mencari jawaban atas masalah dihadapi (Nilsson, 2015).
Kebijakan PSBB pada masa pandemi covid-19 merupakan contoh hasil pemikiran kritis, logis, analitis, dan memberikan solusi pada kondisi yang terjadi. Pelonggaran PSBB, penghentian PSBB, bahkan masa AKB (Adaftasi Kebiasaan Baru) atau new normal pun sejatinya sama. Membiasakan warga melakukan protokol kesehatan: bermasker, cuci tangan, menghindari kerumunan dan yang lainnya merupakan instrumen penting AKB. Namun, tampaknya hal itu belum cukup karena seiring kebijakan pelonggaran PSBB menuju AKB, data nasional covid-19 malah melambung.
Oleh karena itu, sejalan memasuki masa AKB, seperti Jawa Barat mulai 27 Juni 2020, setiap kabupaten/kota selayaknya mengembangkan kebijakan tambahan selain protokol kesehatan dengan mencermati fenomena alam yang berkembang. Kenyamanan yang pernah dirasakan pada masa PSBB, pada masa AKB harus tetap terpelihara. Kebijakan yang dikeluarkan dapat bervariatif, seperti yang pernah/sudah berlaku: kebijakan pedagang ganjil-genap, kebijakan antrian berjarak, pembatasan kapasitas angkutan umum dan pengunjung mall, dll.
Kota-kota besar yang puluh tahun didera masalah kemacetan, misalnya, pada masa PSBB sempat lengang, sehingga berlalulintas nyaman. Namun, ketika PSBB dilonggarkan, sebagian kegiatan warga diaktifkan, kemacetan kembali menyergah. Kota kembali semerawut dan menjadi sumber pelanggaran protokol kesehatan, sehingga penularasan covid-19 pun tidak terhindarkan.
Padahal, masa PSBB seharusnnya menjadi inspirasi dan peluang bagi penataan kota. Kesemerawutan kota terjadi, di antaranya, karena warga memasuki kota bersamaan, baik sebagai pendatang, pegawai, pedagang, pelajar, dan profesi lainnya. Kota besar seharusnya mulai “membatasi” pendatang dengan agenda berdasarkan kepentingan, bahkan bersyarat seperti pernah dilakukan DKI Jakarta. Konsentrasi pegawai, pedagang, dan pelajar harus diagenda melalui penjadwalan kepentingan. Apalagi di banyak kota, aktivitas warga hampir 24 jam, sehingga penjadwalan waktu buka kantor, industri, mall, pasar, sekolah, kampus, dan kegiatan lainnya tidak terkonsentrasi pukul 08.00-16.00 Wib. Libur pun tidak harus Sabtu-Minggu saja, waktu lain dan hari lain pun dapat diaktifkan, sehingga kegiatan warga terpolarisasikan.
Hal itu hanya satu dari sekian kebijakan yang memungkinkan dilakukan melalui kebijakan pemerintah kabupaten/kota di antara berbagai peluang efek pandemic covid-19. Apalagi bagi kabupaten/kota di Jawa Barat, peluang tersebut menjadi makin lebar ketika Gubernur Jawa Barat menyerahkan kebijakan selanjutnya pada masa AKB kepada Bupati/Walikota. ***
Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora serta Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Dewan Pakar ICMI Jabar.
Sumber, Pikiran Rakyat 30 Juni 2020