[www.uinsgd.ac.id] Sekitar 30 orang mengikuti Bedah Buku Kumpulan Puisi Ahmad Nurullah “Setelah Hari ke Enam” yang diselenggarakan oleh Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung dan Fakultas Adab dan Humaniora dengan menghadirkan pembicara Dr. Bambang Q-Anees (Dosen Fakultas Ushuluddin) dan Ahmad Nurullah (Penyair dan Redaktur Jurnal Nasional) yang dipandu oleh Pungkit Wijaya dan dibuka secara resmi oleh Pembantu Dekan I, Setia Gumilar, M.Si di Aula Fakultas Adab dan Humatiora, lantai IY, Kamis (5/7) siang
Dalam sambutanya setia sangat mengapresiasi kegiatan ini. Meskipun dalam suasana liburan semester genap mahasiswa masih bisa melakukan kegiatan yang bermanfaat. “Mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan mutu akademik dan tetap berusah untuk selalu berkarya,” paparnya
Sebelum acara berlangsung pembacaan sajak karya Ahmad Nurullah oleh Galah Denawa, Tandi Skober, Asep Salahudin menjadi pelengkap bedah kumpulan 50 puisi.
Bagi Bambang membaca kumpulan 50 puisi “Setelah Hari ke Enam” Ahmad Nurullah erat kaitanya dengan kata, waktu dan spiritual dalam proses kehidupan. “Manariknya pada angkatan 80an ini kecenderungannya kepada spiritual karena sejak Amir Hamzah, Chairil, Sapardi sampai Tardji membayangkan adanya pertemuan antara diri manusia dengan diri yang lebih utuh dalam memandang kehudupan, seperti pada puisi Homo Textualis (Ahmad Nurullah) Tapi kadang kau tak ada/Kau cuma jejak,” tegasnya
“Pengkategorian kata, waktu dan spiritual itu kadang tidak mewakili, tapi hadir dan menerima sebagai jejak yang tak bisa dilupakan dengan perspektif yang beda dan jelas,” jelasnya
Hampir semua puisi Ahmad memiliki sudut pandang yang baru dan berbeda jika dibandingkan dengan para penyair seangkatanya yang sangat metapor dan rumit dalam memaknai kata-kata.
Namun yang terpenting bagi kita, khususnya 26 penyair yang sedang membuat antologi puisi UIN SGD Bandung “Tidak terletak pada proses dan sering menulis, tetapi ada geneologi yang berbeda, perspektif, sudut pandang, estetika karena akan menghadirkan pandangan yang baru,” pesannya
Oleh karena itu, kata-kata lebih tua dari pada waktu, seperti dalam proses penciptaan bumi yang membutuhkan waktu 6 hari.
Mari membaca puisi Ahmad Nurullah “Setelah Hari Keenam” Jika bumi, langit dan seisinya dicipta selama/Enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh/Sebelum hari pertama, dan jauh setelah/hari keenam? “Aku tak hendak mengatakan:/Tuhan adalah pengangguran,” katamu
…Tapi tak taukah Ia; apa yang akan terjadi/Sesudah itu, jauh setelah hari keenam/Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:/Setelah Semanggi, Sambas, Aceh, dan Jimbaran?
Memang benar apa yang dikatakan Mas Bambang dalam membaca puisi ini sarat dengan kata, waktu dan spiritual. “Akan tetapi untuk kata Kau pada puisi Homo Textualis bukan Tuhan, tetapi Kau itu manusia karena dari kata Homo saja menunjukkan bagi manusia,” terang Ahmad
Al-Quran mengatakan: Allah menciptakan langit dan bumi selama enam masa. Alkitab, tepatnya Kitab Kejadian mengatakan: Tuhan menciptakan langit dan bumi selama enam hari. Adakah celah yang memungkinkan adanya persambungan antara firman dan pendapat astrofisikawan itu?
“Dalam kapasitas sebagi bukan ilmuwan, saya tidak hendak menjawab pertanyaan besar itu. Sebagai penyair, saya hanya mengajukan pertanyaan retorik yang bersumbu pada renungan; Jika langit dan bumi diciptakan selama enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sebelum hari pertama, dan jauh setelah hari keenam? saya tidak berani menjawab bahwa usia penciptaan Tuhan berhenti mencipta alias menjadi penganggur,” akuinya
Tetapi ini pasti, jauh setelah hari keenam, di sebuh titik waktu di sebuah celah di bumi, hari ini, Kamis, 5 Juli 2012, kita berjumpa di sini, di kampus yang terhormat ini. “Kita akan mencoba berdiskusi tentang puisi yang isinya mungkin tentang Tuhan, kesadaran ketuhanan, penciptaan, bumi yang indah sekaligus sesak masalah ini, manusi dan berbagi pesoalanya yang multidimensional. Persoalan politik, ekonomi, dan sebagainya. Intinya tentang kehidupan,” tegasnya
Terserah, 5o puisi yang terhimpun dalm buku ini akan didekati dari sudut apa. Sebab, asa diktum Roland Barthes, filusuf post-strukturalis Prancis yang hampir diterima secara umum di kalangan satra bahwa “Setelah teks selesai ditulis, pengarang mati”. “Artinya, saya tidak punya otoritas lagi atas teks-teks puisi yang saya tulis. Penafsiran atau dialogi dengan teks puisi sepenuhnya adalah hak pembaca,” jelasnya
Ihwal proses kreatif menulis puisi Ahmad memang berbeda dengan penyair lain yang rajin mengeluarkan kumpulan puisinya dalam setiap tahun. 50 kumpulan puisi ini karya pertama dalam kurun waktu 27 tahun.”Bagi saya puisi itu ekspresi pemikirna yang dituangkan dalam kata-kata. Maka baru pertama karya saya yang bisa dikumpulkan dalam rentang waktu 20 tahun lebih,” paparnya
Diakuinya, sejak kecil rajin menulis. Terlebih lagi pada umur 19 tahun sudah memiliki novel yang siap diterbitkan. Namun, Berkali-kali ditolak karena hanya mengandalkan penerbit besar seperti gramedia dan setiap kali ditolak disobek-sobeklah naskah novel. Setelah empat kali ditolak dan disobek-sobek. Baru mulai meneguhkan diri untuk tetap menulis esai dan dikirimkan ke Kompas. “Dalam penulisan esai aga berbeda dan selalu menulis itu semacam mengkritisi karya penulis mayor yang tesis-tesisnya itu ada celah untuk dikritisi. Tentunya, menawarkan cara pandang yang berbeda dan alhamdulillah dimuat,” kenangnya
Kebiasaan menulis menghantarkan Ahmad pada penghargaan sebagai penyair terbaik di TIM. “Dari menulis mengantarkan saya menjadi pemateri yang dikategorikan penyair terbaik pada tahun 1987 yang tidak pernah menulis puisi karena sering menulis esai, tapi pada saat itu barulah menulis puisi yang dianggap bagus karya puisi pertama,” tambahnya
“Baru sejak itu mulai sering menulis puisi, bahkan sampai sekarang di tengah kesibukan mencari nafkah kecanduan menulis puisi semakin terjadi karena puisi itu merayakan kegelisahan,” tegasnya
Ahmad berpesan “Teruslah menulis puisi dan jangan lupa kirimkan supaya memotivasi untuk tetap menulis,” singkatnya
Bambang menambahkan “Jika kita memiliki perspektif yang berbeda dengan orang lain tak akan ada yang rajin mengelurkan puisi setiap tahunya, seperti kumpulan puisi karya Ahmad. Bagi kita teruslah menulis dengan memiliki perspektif yang berbeda,” pungkasnya.
Acara bedah buku “Setelah Hari ke Enam” ini tidak hanya dihadiri oleh civitas akademika Fakultas Adab dan Humaniora, beberapa komunitas sastra UIN SGD Bandung, Komunitas Sastra Buah Batu STSI Bandung, Dewan Syuro Majelis Sastra Bandung, Kyai Matdon, ikut juga hadir memeriahkan diskusi ini. [Ibn Ghifarie]