Menuju Tunisia yang lebih Demokratis

Ini tentang good news. Datang dari negeri di Magribi, Afrika Utara. Sering dikategorikan negara Arab. Tunisia, tepatnya Republik Tunisia. Tentang proses demokrasi. Yang dianggap sukses. Dibandingkan negara-negara Arab lainnya.

Sebelum bicara suksesnya demokrasi di negeri ini. Yang mau tidak mau membantah thesis Huntington. Bahwa demokrasi hanya akan tumbuh, di negara yang menerapkan kultur dan nilai Barat. Tunisia, seperti juga Indonesia, menunjukkan bantahan atas thesis itu. Mari lihat sejarah panjang Tunisia.

Abad kesatu hijriyah sudah dikuasai orang Arab. Kemudian selama tiga abad di bawah Utsmani, atau sebagian menyebutnya Ottoman Empire. Sebelum ditaklukan Perancis tahun 1881. Burquibah menjadi tokoh yang menjadikannya republik, yang merdeka tahun 1957.

Budaya dan identitas Tunisia dipengaruhi oleh interseksi antara budaya dan etnis yang berbeda-beda. Dalam bentangan sejarahnya yang panjang, berabad-abad itu. Terus bergulir dari waktu ke waktu. Pernah dipimpin oleh regim Zine El Abidine Ben Ali. Selama dua puluh empat tahun. Sampai lahirnya Revolusi Tunisia. Tahun 2011. Yang dipicu oleh revolusi Arab Spring. Yang membuat perubahan rejim, termasuk di Mesir Libia dan Yaman.

Inilah yang disebut berita gembira. Diawal tulisan. Tunisia dianggap satu-satunya negara paska Arab Spring. Yang mampu mempertahankan proses demokrasi. Sampai saat ini, Januari 2021. Presiden Tunisia sekarang, Kais Saied bisa mengklaim, hanya negaranya lah di kawasannya yang berhasil menyelenggarkan pemilu. Yang bebas dan adil. Luber di Indonesia.

Sepuluh tahun lalu. Rakyat Tunisia, tua-muda. Turun ke jalan. Menentang pemimpinnya Ben Ali. Mereka mengkritik rejim, kebijakannya, praktek korupsi kolusi. Menuntut lapangan kerja, menuntut kemerdekaan berpendapat. Sampai sang rejim tumbang, tahun 2011.

Apa yang membuat Tunisia dianggap berhasil. Mempertahankan demokrasi. Dalam satu dekade ini. Ada pengamat yang berpendapat karena negeri ini kecil. Penduduknya berpendidikan baik (well educated). Dan mempunyai budaya toleransi tinggi. Faktor-faktor itu dianggap sebagai syarat demokrasi berhasil.

Bagi Tunisia bukan hanya itu. Memang negaranya paling kecil. Diantara negara-negara di Afrika Utara. Dengan penduduk kurang dari dua belas juta jiwa. Lebih sedikit dari penduduk DKI Jakarta. Tidak lebih besar dari penduduk provinsi Banten. Silahkan cek sendiri, statistik penduduk per-provinsi di Indonesia.

Sharan Grewal menyebut tiga alasan mengapa secara politik Tunisia berhasil. Mempertahankan dan mengawal proses demokrasi. Kemauan tokoh-tokoh politiknya untuk berkompromi, adalah alasan pertama. Alasan kedua adalah sektor keamanan (militer) yang lemah, atau dilemahkan. Kuatnya civil society sebagai alasan terakhir.

Tanpa kompromi politik diawal revolusi, Tunisia tidak akan berhasil. Tahun 2013 hampir saja kolap. Karena rongrongan sana sini. Pembunuhan berbau politik. Polarisasi politik di akar rumput. Serta protes hasil pemilu dari partai-partai oposisi.

Tantangan itu bisa dilewati. Karena peran dua tokoh politik kunci, yang mau berkompromi. Mohamed Beji Caid Essebsi dan Rached Ghannouchi.

Essebsi menjadi presiden pertama Tunisia. Paska revolusi. Hasil pemilu 2014. Menjabat dari tahun 2015-2019. Sampai wafatnya di usia 92 tahun. Politikus handal. Pendiri partai Nidaa Tounes. Pernah menjabat Menlu juga Perdana Menteri.

Ghannouchi adalah politisi. Sekaligus pemikir. Pendiri partai Ennahdha. Ketika Tunisia dalam transisi. Protes dimana-mana. Untuk menurunkan Ben Ali. Ghannouchi pulang ke Tunisia. Dari pengasingan di London. Catat, dua puluh dua tahun dalam pengasingan. Disambut ribuan orang, ketika kembali ke Tunis. Ghannouchi terpilih menjadi Ketua DPR, November 2019.

Dua tokoh itu. Berhasil melakukan kompromi politik. Yang menyelamatkan Tunisia. Keduanya mendapatkan apresiasi. Karena sama-sama menurunkan ego. Sehingga bisa berkompromi. Membangun grand coalition. Membentuk pemerintahan. Meskipun keduanya berbeda haluan politik. Dan ideologi. Partainya Essebsi adalah partai sekuler. Sementara partainya Ghannouchi adalah partai Islam. Demi kebaikan bersama. Selain kepentingan politik tentunya.

Alasan kedua seperti disebutkan di atas. Adalah soal keamanan. Terutama soal posisi militer. Yang membuat demokrasi Tunisia terus mekar. Memarginalkan militer adalah blessing in disguise. Adalah Burquibah dan Ben Ali yang sebenarnya telah membuat terjadinya fragmentasi sector keamanan. Memarginalkan militer dan memberikan privilege bagi polisi dan pengawal presiden. Karena termarginalkan, maka ketika Ben Ali didesak mundur. Tidak ada perlawanan dari militer. Perlu tulisan panjang tentang peran militer di Tunisia ini. Saya tak sempat membahasnya sekarang.

Faktor terakhir adalah kuatnya civil society di Tunisia. Hal ini diakui oleh komite Nobel di Norwegia. Tahun 2015, hadiah Nobel Perdamaian jatuh ke Tunisia. Kepada organisasi-organisasi sipil Tunisia. Empat organisasi sekaligus. Dikenal dengan sebutan The National Dialogue Quartet. Keempat organisasi itu adalah: the Tunisian General Labour Union (UGTT), the Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicrafts (UTICA), the Tunisian Human Rights League (LTDH), dan the Tunisian Order of Lawyers. Empat organisasi inilah yang ikut berpartisipasi dan menjadi mediator dialog kebangsaan tahun 2013 yang membuat demokrasi Tunisia bisa bertahan.

Meskipun bisa bertahan. Masih banyak tantangan bagi demokrasi Tunisia. Catatan kemajuan ekonomi yang masih tersendat dan kekecewaan akan system yang ada. Dari sebagaian masyarakat. Masih harus diselesaikan. Baru sampai pada tahapan proses menuju demokrasi berjalan on the track. Menuju tahap berikutnya, konsolidasi demokrasi. Dengan potret demokrasi Tunisia, compatibilities Islam dan demokrasi. Semakin dikuatkan bukti nyata. Semoga.***

Prof. Ahmad Ali Nurdin, MA., P.hD., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter