Menjangkau Hati Dengan Regulasi

Hanya dalam sinetron persilangan pernikahan antara si kaya dan si miskin terjadi. Hanya dalam cerita-cerita fiksi, pernikahan antara mereka yang status sosialnya tinggi dengan yang status sosialnya rendah dirayakan. Dalam dunia sesungguhnya, peristiwa itu omong kosong terjadi!

Masuk akalkah usulan menteri Muhadjir Effendi ini? Masuk akal saja sih, tapi kalau pa menteri mau berpikir keras dan rajin membaca data, pernikahan ala-ala sinetron ini sulit terjadi. Kenapa? Sebuah riset menunjukkan bahwa batas antar kelas sosial yang ada di Indonesia semakin menguat. Ini artinya, kelas sosial yang satu (si kaya) dan kelas sosial yang lain (si miskin) sulit bertemu dalam mahligai perkawinan. Demi mempertahankan “bibit, bobot dan bebet”, mustahil si kaya merelakan “darah birunya” bercampur dengan “darah lumpur”.

Kalau kita cerdik dan mau menelisik, gagasan Muhadjir sebenarnya merupakan usulan “kongkrit” atau semacam jawaban dari pernyataan menteri hukum Yasonna yang menyebutkan kalau tindakan kriminal itu karena kemiskinan. Pa Muhadjir jeli lalu memberikan solusi bahwa perkawinan lintas kelas lah jawabannya. Disparitas kaya miskin harus dipangkas, dan jika ini terwujud maka kesejahteraan akan merata dan Indonesia bebas dari kebrengsekan perilaku kejahatan.

Bisakah dibuat regulasi supaya si kaya menikahi si miskin? Atau, maukah mereka yang berlimpah harta mempersunting atau dipersunting oleh mereka yang berkasta rendah dari sisi kekayaan?

Hmm…

Mereka yang lahir dari keluarga kaya memiliki lingkungan dan gaya hidup berbeda dengan keluarga si miskin. Jika si kaya tempat bersosialisasinya adalah hotel-hotel berkelas dan cafe, maka mileu si miskin adalah warung kopi pinggir jalan atau warteg. Jika si kaya makanannya adalah sphagetti, hamburger dan sushi, maka si miskin makanannya adalah orang cireng, bakwan, seblak dan kopi sachetan. Jika si kaya tempat hiburannya adalah luar negeri, si miskin cukup berenang di kali.

“Regulasi” pernikahan si kaya dan miskin menurut saya adalah gagasan yang menggelikan. Regulasi ini seakan menunjukkan betapa negara kehilangan kesabaran dan kreatifitas untuk menciptakan pemerataan dan keadilan. Yang harusnya dilakukan negara itu bukannnya mengatur siapa harus menikah dengan siapa. Tapi, menyelesaikan masalah ketimpangan dan memperbaiki kehidupan orang-orang miskin sehingga mereka sebagai orang-orang yang hidup di lapisan paling bawah ekonomi, tetap punya taraf hidup yang cukup baik.

Pasal 34 memang menyebutkan jika “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” tetapi membuat “regulasi” supaya terjadi nikah silang kaya-miskin adalah sejenis intervensi negara dalam perkara hati.

Allahu a’lam[]

Setiabudi, 20 Pebruari 2020

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *