Menjaga Sang Pengendali

Hati adalah puncak kendali. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika dia baik, baik pula seluruh jasadnya. Namun, jika ia rusak, rusak pula seluruh jasadnya. Dia adalah hati.” (HR Bukhari). Jagalah hati agar tetap berzikir kepada Allah SWT. Imannya dimantapkan, pun demikian dengan ihsan. Terjauh dari rasa paling hebat, lebih baik, sambil merendahkan orang lain dan menolak kebenaran. “Tidak akan masuk surga yang di dalam hatinya terdapat setitik rasa takabur (sombong).”

Seorang sahabat berkata, “Seseorang biasanya suka kepada pakaian dan sepatu yang bagus?” Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya Allah SWT itu indah dan menyukai yang indah. Sedangkan, takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR Muslim).

Berkaitan dengan hati, Imam Al-Ghazali membaginya menjadi empat. Pertama, hati yang rafa’ (naik) karena mengingat Allah SWT. Menerima Allah Yang Mahakuasa, menolak pengingkaran terhadap- Nya. Kerinduan yang mendalam dan terus-menerus kepada Yang Maha Rahman-Rahim.

Kedua, hati yang fath (menang) karena ridha kepada Allah SWT. Tanda-tandanya adalah selalu bertawakal, percaya, dan yakin atas segala karunia-Nya. Jiwanya tenang karena sadar sesadarsadarnya bahwa segalanya telah ditentukan oleh-Nya. Tugas manusia berikhtiar semaksimal mungkin.

Ketiga, hati yang khafadh (turun) karena kesibukan dengan selain Allah SWT. Tanda-tandanya adalah rasa berbangga diri, sombong, riya, dan tamak. Menjalani kehidupan dengan angkuhnya. Merasa bahwa segala yang diraihnya dari hasil usaha sendiri tanpa campur tangan Tuhan.

Keempat, hati yang wakaf sukun (diam) karena lalai dari mengingat Sang Maha Pengasih. Tanda-tandanya adalah hilangnya rasa nikmat dalam ketaatan. Melakukan maksiat dan terjerembap dalam ketidakjelasan antara halal dan haram.

Berusahalah agar hati kita selalu mengingat Allah SWT dan menang. Dalam keseharian, hiduplah apa adanya. Latihlah diri ini agar terjauh dari merasa paling baik, paling benar, hingga buta hati. Bersikaplah wajar pada semua hal. Hindari bersikap fanatik, sangat cinta dan menutup diri dari pendapat orang lain.

Terbukalah pada kebenaran. Jangan lihat orangnya, tapi dengar apa yang disampaikan. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Perhatikan apa yang dikatakan dan bukan memperhatikan siapa yang mengatakan.”

Pernyataan tersebut tentu saja dalam konteks rentang waktu sepeninggal Rasulullah SAW. Siapa pun orangnya memiliki peluang mengatakan yang salah sehingga yang harus diperhatikan isi perkataan tersebut. Apakah sesuai dengan Quran dan sunah atau tidak. Sering karena rasa tidak suka kepada seseorang, sebaik apa pun perkataannya, diabaikan dan tidak peduli. Sebaliknya, ketika telanjur cinta, perkataan tidak baik yang diucapkan pun bisa jadi dituruti.

Allah SWT mengingatkan: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekalikali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung,” (QS al-Isra:37).

Kesombongan merupakan penghalang terbesar dalam menjalin hubungan baik dengan sesama. Jika dalam keseharian bertemu sikap berbeda satu sama lain, pahamilah sebagai upaya agar mau belajar dan terus membekali diri dengan ilmu, iman, Islam, dan ihsan. Dengan bekal itu, kita akan terhindar dari rusaknya hati. Tetaplah tersenyum dan berbahagia walau saran dan kritik pahit rasanya. Bukakan hati untuk menerima kebenaran dari Yang Mahabenar. Wallaahu a’lam.

Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *