Menjaga Kemaqbulan Umrah

Diantara karunia yang teramat indah adalah ketika bisa memenuhi undangan Allah untuk melaksanakan ibadah umrah. Ragam keindahan dan kebahagiaan itu bisa ditemui dalam aspek ritual ibadah umrah yang mengkodisikan seluruh potensi diri berada pada pusaran spiritualitas dan kedekatan diri dengan Allah Yang Maha Indah. Tak heran kalau perjalanan ibadah umrah begitu terasa singkat. Karena itu, pelaksanaan thawaf wada sering kali menjadi momentum yang sangat mengharukan sekaligus mengunci hati berat untuk meninggalkan tanah suci.

  Diampuni segala dosa, dikabukan segala doa, dan dilipatkan gandakan segala pahala, serta pulang ke kampung halaman laksana bayi yang baru lahir dari rahim ibunda, adalah harapan mulia yang kerap kali digendong para jemaah usai menunaikan ibadah umrah. Tentu saja harapan itu bukan isapan jempol belaka, sebab bila umrahnya maqbul, melalui sabda Rasulullah Saw, dalam berbagai teks hadits yang tidak diragukan keshahihannya, Allah menjanjikan hal itu dengan sangat jelas dan tegas.

  Dibalik itu semua, diantara hal penting dan harus menjadi fokus kesadaran para jemaah umrah adalah bagaimana bisa menjaga ke-maqbul-an ibadah umrah. Dalam narasi para ulama, sesunguhnya banyak predator sekaligus ranjau yang bisa memporakporandakan hasil ibadah mulia itu.

  Hal utama yang harus dilakukan untuk menjaga kemaqbulam ibadah umrah adalah dengan melakukan internalisasi nilai-nilai mulia ibadah umrah, baik yang ditemui pada aspek-aspek yang dirukunkan, diwajibkan, disunahkan sekaligus difadilahkan. Begitupun berbagai nilai yang ditemui sebagai hasil pembacaan terhadap berbagai artepak dan ragam situs bersejarah yang ditemui di kota Mekah dan Madinah. Semua nilai mulia itu sejatinya bisa menjadi kerangak pikir, kerangka rasa, sekaligus kerangka tidak semua jemaah dalam kehidupan kesehariannya.

  Ketika nilai mulia ibadah umrah masuk pada ranah pikiran, maka sebagai buahnya; dimulai dari sumber berpikir, metodologi berpikir sampai produk berfikir jemaah adalah sesuatu yang mulia. Ketika nlai mulia itu menusuk pada jantung rasa jemaah, maka ragam sensitifitas mulia akan lahir pula sebagai hasilnya. Dan ketika nilai mulia ibadah umrah menjadi kerangka tidak, maka berbagai perilaku terpuji dan mulia akan hadir mengejawantah pula. 

  Upaya penjagaan berikutnya adalah menyentuhkan sekaligus meleburkan berbagai niilai yang sudah diinternalisasi tersebut pada berbagai realitas sosial yang yang mengintarinya. Seumpama jemaah umroh itu seorang pengusaha, bagaimana nlai-nilai mulia yang diperoleh melalui ibadah umraoh itu disentuhkan sekaligus dileburkan dalam dunia usahanya. Sehingga, dinamika dunia usahanya akan kental dengan shibgoh (celupan) nlai-nilai mulia ibadah umrah. Pun demikian dalam bidang-bidang sosial yang lainnya.

  Setelah melalui dua pejagaan itu, dalam narasi para ulama, kemaqbulan ibadah umrah akan semakin terjaga manakala para jemaah terlibat aktif dalam menyebar-luaskakan ragam nilai mulia ibadah umrah kepada masyarakat secara menyeluruh. Buah dari usaha itu, bukan hanya dirinya sendiri yang merasakan panen kemuliaan tetapi semua umat Islam, bahkan yang belum berkesempatan melaksanakan Ibadah umrah sekalipun.

  Dalam seluruh upaya penjagaan kemaqbulan, diantara hal yang patut mendapat perhatian penuh adalah istiqomah dalam melakukan usaha tadi. Seluruh potensi diri, dimulai dari; akal, hati, lisan, sampai pada al-jawarih (panca indra), sejatinya mengunci diri dalam konsistensi. Dalam Narasi Imam Al-Hijwiri, tidak ada kemaqbulan dalam umrah begitupun kemambruran dalam Ibadah haji, manakala istiqomah tidak menghiasi diri. Dalam banyak aspek, istiqomah akan menghadirkan energi tak terbatas untuk produktivitas seorang hamba dalam beribadah kepada Allah. Sebagai motivasi ungkap Al-Hujwiri, bila setan dan kawan-kawannya dari kalangan jin dan manusia istiqomah tanpa mengenal lelah dalam menyesatkan manusia, maka sejatinya setiap jemaah istiqomah pula dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya.

  Dengan istiqomah, Allah akan menurukan para malaikat yang tidak hanya menyuntikan energi tak tertandingi untuk berani berdamai dengan segala rasa takut dan sedih, namun juga membawa kabar gembira dengan surga yang teramat Indah (Qs.Fusliat:30). Dalam banyak hal, istiqomah ibarat nafas. Kehadirannya akan memberi hidup seseorang dan ketiadaaanya akan mematikan seseorang. (AR)

Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag, Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *