Menguatkan “Civil Society”

Setidaknya ada dua wacana yang berkembang saat ini dan menjadi tantangan  bagi kelompok masyarakat sipil (civil society). Pertama tentang pembubaran ormas anarkis. Kedua “klaim dukungan rakyat” terhadap elit politik nasional, baik yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Rakyat pun menjadi “objek rebutan musiman”.

Kedua-duanya menjadi isu strategis bagi penguatan civil society. Mengingat adanya potensi konflik di tingkatan akar rumput. Apabila mampu dikelola dan dilewati dengan baik, masyarakat Indonesia akan tumbuh sebagai the riil democratic society. Perbedaan akan dipandang sebagai kelumrahan, wahana kompetisi berlomba dalam kebaikan, dihormati, dijadikan arena perdebatan yang dibingkai kesantunan dan seperti apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai masyarakat komunikatif.

Dalam situasi seperti ini, dimana negara seolah absen, mengingat para elitnya tengah berseteru, pasar yang pada umumnya merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kapitalisme global,  pun demikian dengan beberapa media massa yang cenderung partisan, hanya civil society-lah yang dapat berperan untuk menjadi “ragi ikatan sosial” di antara anak bangsa.
 
Kekerasan Sempurna
Perdebatan tentang pembubaran Organisasi Sosial Kemasyarakatan (Ormas) seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dinilai kerap melakukan tindakan anarkis, sepatutnya didasarkan pada landasan hukum dan dilakukan dengan adil.

Bukan rahasia lagi, ada Ormas yang lebih parah lagi, kerap bertindak kriminal. Mereka menguasai lahan parkir, jasa keamanan, penagihan, menguasai tempat hiburan dan bahkan melakukan tindakan kriminal. Justru, yang lebih berbahaya itu Ormas seperti ini. Namun hingga kini, aparat hukum seolah tutup mata, karena biasanya ada setoran rutin yang diberikan, saling menguntungkan.

Dengan demikian, perdebatan mengenai pembubaran Ormas anarkis hendaknya diarahkan kepada substansi masalah sosial kemasyarakatan dan ikhtiar membangun keberadaban publik. Apabila FPI dipandang anarkis, bukankah berdasarkan pemahaman keagamaan mereka, menggunakan kekuasaan (yang kemudian dipahami sebagai kekerasan) dalam mencegah kemunkaran dibenarkan? Dengan demikian, pembinaan pemahaman keagamaan dan menghukum setiap tindakan kriminal yang dilakukan para anggotanya lebih tepat dan adil menjadi treatment,  dibandingkan dengan membubarkan FPI.   

Sementara itu, ada sejumlah masalah sosial yang dihadapi dan kerap menjadi fokus “dakwah” FPI, yaitu penyakit masyarakat seperti perjinahan, perjudian dan berbagai tindakan yang merusak moral. Bukan rahasia lagi, jika selama ini, banyak oknum aparat yang menerima sogokan dari berbagai jenis usaha tersebut. Sementara, kelompok preman yang menjadi beking berbagai tempat hiburan yang menjadi biang penyakit masyarakat pun gerah dengan tindaktanduk FPI yang kerap mengganggu mereka.

Di sisi lain, tercipta psikologi sosial berbentuk apatisme, kebencian akut dan egoisme kelompok yang merupakan efek dari apa yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai kekerasan sempurna. Korupsi, aparat keamanan yang mengabdikan diri kepada pengusaha, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil dan tayangan kekerasan di media massa adalah salah satu bentuk kekerasan laten yang sempurna. Bagi masyarakat, situasi ini melahirkan kemarahan sosial yang mudah disulut terbakar.

Dalam bukunya yang berjudul “Posrealitas”, Yasraf menggambarkan bahwa jika kejahatan menyatu dengan negara, maka tapal batas di antara keduanya menjadi kabur. Tidak dapat lagi dibedakan antara penjahat dan pejabat. Jika kemudian negara menjadi agen kekerasan dan bertindak jahat kepada rakyat, maka kejahatan menemukan persembunyiannya yang sempurna (criminalis perfectus). Oknum aparat penyunat anggaran pendidikan, sosial dan kesejahteraan rakyat, lebih kejam dibandingkan tindakan anarkis FPI yang menggangu segelintir kelompok kepentingan, karena menyebabkan jutaan rakyat miskin tidak mendapatkan haknya.
 
Keberadaban Publik
Ada tugas bersama seluruh elemen masyarakat untuk melakukan penguatan civil society,  agar gerakannya lebih mencerahkan wawasan masyarakat, ramah dan toleran kepada perbedaan serta tetap menghormati aturan hukum dalam melakukan berbagai aksi perubahan sosial lebih berkembang dan meluas.

Kelompok sosial yang murni untuk kepentingan pemberdayaan dan pembangunan masyarakat masih cukup banyak berkembang di Indonesia. Dengan dukungan pendanaan dari program Corporate Social Responsibility (CSR), berbagai organisasi yang berbentuk Ormas, LSM dan yayasan bergerak memberdayakan masyarakat tanpa pamrih. Bahkan ada Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) yang menjadi wadah berbagai komunitas sosial tersebut.  

Untuk itulah, ada beberapa strategi bersama yang perlu dilakukan dalam menguatkan civil society. Pertama, kelompok sosial yang tergabung dalam berbagai organisasi dan institusi sosial hendaknya mengikatkan diri dalam kebersamaan walau ada perbedaan bentuk dan nama organisasi. Pengikatan itu jangan berdasarkan kepentingan politik jangka pendek, dalam rangka mendukung salah satu elit politik, namun murni atas dasar kepentingan masyarakat.

Kedua, perguruan tinggi harus berperan lebih dalam konteks tridharmanya, yaitu pengabdian masyarakat. Tidak sekedar melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau program sejenis, namun maju ke depan, sebagai katalisator, mediator dan pemimpin berbagai media komunikasi antar Ormas untuk melakukan program pemberdayaan bersama.

Ketiga, penegakkan hukum yang adil. Rasa ketidakadilan yang akut, mendorong aksi main hakim sendiri dan tindakan anarkis. Sikap tanpa malu mempertontonkan akrobat hukum menjadikan suburnya apatisme pada aparat.

Keempat, menebar dan menumbuhsuburkan kewirausahaan sosial sebagai aksi nyata peduli sesama. Media massa, dalam hal ini ada beberapa media elektronik dan cetak juga korporasi yang konsisten menyuarakan dan memberikan penghargaan bagi pelaku kewirausahaan sosial, harus mendorong semakin luasnya aksi kewirausahaan sosial. Pilar keempat demokrasi ini harusnya menjadi penyokong utama penguatan civil society.

Kelima, peran penting lembaga pendidikan dan keluarga. Sekolah dan keluarga adalah institusi paling awal dimana generasi muda tumbuh berkembang. Masyarakat sipil yang mandiri, kritis dan peduli hanya tumbuh dalam sekolah dan keluarga yang berkualitas. 

Penguatan kelompok civil society akan menjadi modal sosial bagi tumbuhnya keberadaban publik. Keberadaban publik  pilarnya adalah ketaatan kepada hukum, peduli sesama dan keinginan untuk hidup bersama. Wallâhua’lam.[]

IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation (MRUF) Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 14 Oktober 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter