Menggapai Kesucian Jiwa

Dalam teori dramaturgi disebutkan bahwa kehidupan ini merupakan sebuah permainan. Secara hakekat, permainan dipahami sebagai arena untuk melakukan sesuatu demi tercapainya sebuah tujuan, yaitu kemenangan. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga seseorang atau sekelompok orang berupaya melakukan berbagai upaya dan strategi demi mencapai kemenangan yang didambakan. Betapa pentingnya makna kemenangan dalam melakukan roda kehidupan, semua orang senantiasa mengupayakannya. Dengan kemenanganlah manusia merasa bahagia, tenang dan damai.

Dalam konteks bulan suci Ramadan, yang dimaksud kemenangan adalah diraihnya atau kembalinya jiwa-jiwa yang suci. Ramadan merupakan bulan yang penuh rahmat, pengampunan, dan keberkahan. Oleh karena itu, manusia yang mempunyai kesadaran terhadap substansi Ramadan, akan berlomba-lomba untuk mendapatkan ketiga hal itu. Mengapa memerlukan kesadaran terhadap substansi Ramadan ini? Kita memahami bahwa diraihnya jiwa-jiwa yang suci sangat bergantung pada penyikapan terhadap datangnya bulan Ramadan. Jadi, jawabannya adalah kesadaran akan substansi dari Ramadan. Masih banyak umat Islam menyikapi bulan Ramadan hanya sebatas bulan yang penuh ritualitas atau seremonial ibadah sehingga tidak aneh, apabila puasa selama satu bulan kurang berdampak pada keberadaan jiwanya. Kondisi inilah yang menyebabkan kehidupan pasca-Ramadan tidak berpengaruh pada perbuatan yang diharapkan oleh Allah Swt, yakni manusia yang bertakwa, jiwa yang bersih dan suci.

Paling tidak untuk melihat sejauh manana manusia meraih kembali kesuciannya, sangat bergantung kepada berfungsinya potensi yang dimiliki dan diberikan oleh Allah Swt. Al-Ghazali membagi 3 potensi manusia, yaitu akal, nafs, dan qalb. Dengan akalnya manusia mampu mejadikan dirinya sebagai orang yang bisa meningkatkan kualitas intelektualnya. Kemampuan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi merupakan satu uapaya yang harus ditempuh oleh orang yang berakal.

Dengan qalbu-nya, manusia mampu memosisikan dirinya sebagai orang yang selalu empati terhadap berbagai fenomena yang ada di sekitarnya. Puasa diharapkan mampu melatih manusia untuk senantiasa memerhatikan segala hal yang ada di sekitarnya.

Dengan nafs-nya, manusia mampu membedakan mana yabg baik dan buruk. Kualitas akhlak seseorang sangat ditentukan oleh sejauhma potensi nafs yang menggerakkan jiwanya. Apakah cenderung kepada kualitas akhlak mahmudah atau mazmumah

Tidak hanya itu, agar kemenangan yang diraihnya itu langeng, tahan terhadap tempaan kehidupan selama sebelas bulan, ajaran Islam memberikan tata cara bagi umatnya. Sikap apa yang harus dilakukan ketika kemenangan digapai oleh seorang atau sekelompok muslim. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nasr ayat 1-3, yang artinya: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan jika kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat.”

Ayat tersebut berupaya untuk menjaga kemenangan yang didapat, agar umat Islam tidak terjebak pada euforia sehingga dikahawatirkan akan menimbulkan sikap lalai dan munculnya berbagai persoalan. Kondisi inilah, melalui wahyu-Nya, Allah mengingatkan bahwa ada beberapa sikap yang harus dilakukan ketika muslim menggapai kemenangan dalam sebuah pertandingan, yakni tasbih, tahmid, dan istigfar.

Timbul pertanyaan, mengapa umat Islam ketika mencapai kemenangan dalam sebuah kompetisi harus melakukan tasbih, tahmid, dan istigfar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat bergantung kepada pemahaman seseorang terhadap makna digapainya sebuah kemenangan.

Tidak dapat dimungkiri, berbagai upaya dan strategi yang dilakukan oleh umat Islam secara rasional dan logis memberikan kontribusi bagi tercapainya sebuah kemenangan. Tetapi, manusia hanya mampu berupaya dan melakukan berbagai strategi. Pertolongan dan kuasa Allah yang menentukan keputusan atas upaya dan strategi yang dilakukannya. Tentunya, agar kita mampu memahami hal tersebut dibutuhkan kesadaran pada keyakinan dan kebenaran firman Allah yang tertuang dalam Alquran. Oleh karena itu, melakukan tindakan syukur atas kemenangan yang diraihnya merupakan sikap yang mulia.

Sikap syukur tersebut diimplementasikan dalam tiga hal. Pertama, melakukan peningkatan kesadaran atas maha sucinya Allah Swt. Kedua, melakukan peningkatan kesadaran untuk senantiasa memuji Allah Swt. Ketiga, malakukan peningkatan kesadaran terhadap kelemahan dan kekurangan kita sebagai manusia dengan selalu memohon ampun atas segala perilaku yang menyimpang dari regulasi Allah Swt.

Dari paparan di atas, sudah sepatutnya setiap umat Islam yang sudah menggapai kemenangan senantiasa meningkatkan kesadarannya untuk melakukan sikap syukur tersebut. Jika hal tersebut dilakukan, maka kesuksesan dan kemenangan dalam arena kehidupan ini akan senantiasa dicapai dengan rida Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam surat 14:7, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Wallahu ’alam.[]

Dr. Setia Gumilar, M.Si., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD Djati Bandung dan Sekjen IKA UIN SGD Bandung.

Sumber, Syiar Ramadan Galamedia 26 Mei 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter