Mengedukasi (Calon) Pembeli Rokok

Cukup mencengangkan. Ketika peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day/WNTD) pada 31 Mei 2013 yang dimotori oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), diketahui kebiasaan buruk merokok di Indonesia persebarannya sudah meluas hingga generasi usia sekolah menengah di usia 10 hingga 19 tahun. Adapun tema untuk Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2013 ini adalah: “Larangan tembakau iklan, promosi dan sponsorship”. Pengejawantahan dari tema tersebut adalah melarang iklan rokok, promosi dan sponsor penggunaan tembakau, dan untuk melawan upaya industri tembakau.

Hal yang kontradiksi yaitu adanya penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan oleh beberapa perusahaan rokok berupa beasiswa pendidikan, sponsor olahraga, sponsor beberapa kegiatan minat bakat seperti konser musik, yang mengesankan bahwa seolah-olah merokok adalah suatu tindakan yang super (jantan) dan heroik, hal ini semata-mata dilakukan untuk menjaring calon pembeli perdana dari generasi muda serta menga­burkan dan mengelabui publik dari bahaya laten merokok. Berdasarkan data penelitian (sumber: GATS 2011, GYTS 2006, Litbangkes Depkes RI, dan Susenas 2010) bahwa 1 dari 3 pelajar mulai merokok sebelum usia 10 tahun dan jumlah perokok anak naik 400% dalam 10 tahun terakhir, 34, 8 % atau 1 dari 3 penduduk dewasa aktif merokok, laki-laki dewasa perokok 67,4 % merupakan tertinggi di dunia, 60 % dari perokok adalah golongan miskin, belanja rumah tangga miskin tertinggi setelah beras adalah rokok, kerugian akibat konsumsi rokok 245 triliun rupiah per tahun 4,5 kali lipat dari cukai rokok pada tahun yang sama.

Jika hal ini tidak sesegera mungkin diputus mata rantainya diperkirakan akan berdampak pada the lost generation di masa yang akan datang. Maka, untuk menyelamatkan bangsa dari epidemi rokok serta kerugian kesehatan, ekonomi dan lingkungan perlu dibuat peraturan regulasi yang jelas dan tegas terhadap pembatasan peredaran rokok.

Meskipun Undang-Undang Repu­blik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) telah 3 tahun berjalan sejak diun­dangkan pada 13 Oktober 2009 ­namun, banyak mendapat sorotan publik yaitu di pasal 116 dan 202 yang mana mengamanatkan ketentuan lebih lanjut pelaksanaan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau.

Sepuluh tahun pra UU Kesehatan ini lahir, sebenarnya sudah ada regulasi yang mewajibkan semua bungkus rokok yang beredar dipasaran diwajibkan mencantumkan peringatan kesehatan yang berbunyi: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”.

Peringatan kesehatan adalah bentuk edukasi sekaligus informasi yang mengingatkan masyarakat tentang bahaya merokok bagi kesehatan. ­Pe­rokok yang merokok 1 bungkus isi 16-20 batang sehari akan diingatkan sebanyak 5800-7000 kali setahun. Edukasi dan informasi kesehatan merupakan tanggungjawab peme­rintah untuk melindungi dan­ ­memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil keputusan bagi dirinya secara mandiri. Keputusan untuk merokok didasarkan pada ­informasi yang dipahami (informed choice).

Ambiguitas juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang mana melakukan pengaturan tentang iklan rokok di media penyiar­an yaitu televisi dan radio. Pasal 46 ayat 3 yang berbunyi: “Siaran iklan niaga dilarang melakukan: … (b) promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; (c) promosi rokok yang memperagakan ­wujud rokok.

Permasalahannya, pengaturan ­iklan rokok pada pasal 46 ayat 3 UU Penyiaran ini sangat kontradiktif antara hurup (b) dan (c). Rokok adalah zat yang bersifat adiktif yang masuk adalam kategori dilarang dipromosikan berdasarkan pasal 46 ayat 3 hurup (b), akan tetapi dalam hurup (c) rokok boleh diiklankan sepanjang tidak memperagakan wujud rokok.

Pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi pengaturan zat adiktif karena seolah-olah sifat adiktif rokok akan hilang karena promosinya tidak memeperagakan wujud rokok. Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dalam putusan MK Perkara no 6/PUU-VII/2009.

Mengingat hal di atas marilah kita mengawali berhenti merokok mulai dari diri pribadi dan keluarga karena berkenaan dengan munculnya beberapa penyakit yang disebabkan oleh rokok: kanker paru, jantung koroner, hati, asma, bronkitis, stroke, pertumbuhan janin, bayi prematur, kematian pada bayi, infeksi telinga, infeksi pernafasan, peneumonia, dan lain-lain. Beberapa kerugian kesehatan, ekonomi dan lingkungan serta belum adanya regulasi yang jelas dan tegas.

Penulis, Mahasiswa UIN SGD Bandung

Sumber, Galamedia 31 Mei 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *