Pada Rabu, 9 Desember 2020, lebih seratus juta atau 100.359.152 warga Indonesia berkonsentrasi menentukan pilihan bagi yang berhak menduduki 9 kursi gubernur, 37 walikota, dan 224 bupati. Delapan di antaranya di Jawa Barat: Walikota Depok, Bupati Sukabumi, Cianjur, Karawang, Bandung, Tasikmalaya, Pangandaran, dan Bupati Indramayu.
Moment ini merupakan puncak pembuktian sukses Pilkada Serentak pada masa pandemi covid-19 terhadap dunia, sekaligus menjawab keraguan pihak yang menyangsikan, bahkan tidak setuju terhadap penyelenggaraan Pilkada dalam ancaman persebaran virus korona yang makin mahabu.
Yang diuji bukan hanya tingkat fair play dukungan Pemerintah untuk tidak berpihak pada petahana atau calon separtai; Kepiawaian KPU bersama jajarannya sampai ke KPPS dalam penyelenggaraan; Ketegaskan Bawaslu sampai ke Pengawas TPS; Kesertaan aktif pemilih menunaikan hak pilih di bilik suara, sehingga penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 berintegritas.
Protokol Kesehatan
Terdapat lagi hal maha penting karena menyangkut jiwa dan kesehatan seluruh warga, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan. Pilkada Serentak 2020 pun menghadapi ujian keterandalan regulasi protokol kesehatan, sehingga terjamin tidak terciptanya kluster baru penularasan covid-19. Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara harus menjamin, seluruh pemilih tetap sehat setelah keluar dari bilik suara; penyelenggara tetap bugar setelah Pilkada usai.
Mereka tidak boleh pulang membawa “oleh-oleh” korona, sehingga kluster keluarga makin marajalela. Bayangkan, seratus juta lebih pemilih plus ribuan penyelenggara, jika terpapar dan kontak dengan keluarga, ratusan juta orang terancam jiwa dan kesehatannya. Paramedis pasti kewalahan dan rumah sakit pun tidak mungkin memiliki kesiapan daya tampung. Naudzubillah Min Dzalik.
Banyak hal yang sudah disiapkan penyelenggara untuk menjaminan kesehatan semua pihak yang terlibat Pilkada. Mulai dari pengurangan jumlah pemilih di TPS, jaminan kesehatan anggota KPPS, penggunaan sarung tangan, chek suhu tubuh, keterpakaian masker dan/atau pelindung wajah, ketersediaan disinfektan dan hand sanitizer, pelarangan berdekatan dan bersalaman, penggunaan alat tulis sendiri dan tinta tetes, kewajiban cuci tangan dan penggunaan tisu kering, sampai disediakan bilik khusus bagi pemilih yang terindikasi.
Namun, kerja keras penyelenggara akan menjadi sia-sia jika semua warga, terutama para pemilih tidak ikut berperan serta. Jaminan kesehatan bukan hanya harus dilakukan penyelenggara Pilkada, tetapi oleh semua warga negara, sehingga protokol kesehatan tidak hanya berlaku ketika hendak mencoblos saja, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan harus sudah menjadi kebiasaan “baru”. Oleh karena itu, aturan pencoblosan yang di-setting penyelenggara, tidak lagi menjadi beban karena kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan. Andaikan penyelenggara tidak menyediakan, tidak menjadi persoalan karena warga negara sudah terbiasa.
Ketaatan warga untuk beradaptasi pada kebiasaan baru berbasis protokol kesehatan lebih penting ketimbang aturan yang dipaksakan dengan iming-iming ketakutan. Momemt apapun, terlebih kegiatan pencoblosan di TPS sudah dapat diprediksi akan melibatkan banyak orang, sehingga setiap pemilih yang datang sudah harus bersiaga dan berwaspada dengan “tameng” protokol kesehatan. Kesehatan raga dan jiwa pada dasarnya merupakan tanggungjawab setiap individu.
Kerawanan Kecurangan
Sembilan Desember 2020 pun merupakan puncak ujian kemungkinan terjadi kecurangan, baik yang dilakukan oknum penyelenggara, pengawas, partai politik, pasangan calon dan tim kampanye, bahkan juga warga simpatisan. Detik-detik pencoblosan di bilik suara, proses penghitungan suara, dan rekafitulasi suara merupakan bagian tahapan Pilkada yang sangat rentan kecurangan.
Separuh tahapan Pilkada sudah terlampaui, sehingga sangat mungkin sebagian warga, bahkan kebanyakan pendukung sudah kehabisan energi. Energi terakhir mereka tumpahkan saat pencoblosan. Setelah itu, mereka merasa selesai karena telah memberikan suaranya. Kelelahan perjalanan panjang tahap per tahap pilkada telah menjebak mereka untuk puas sampai pemberian suara. Padahal, nyaris setiap event pemilihan, peluang kecurangan yang besar terjadi pada tahap penghitungan dan rekafitulasi suara.
Kendati sudah dilakukan pencoblosan, Pilkada belum usai. Masih ada kondisi rentan yang dapat mengundang kecurangan. Pasangan calon dan pendukung yang melek dapat menyelamatkan suara pada pasca pencoblosan. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin mereka pun menggagas strategi kecurangan untuk menambah atau menggelembungkan suara. Bermain mata dengan oknum KPPS, PPS, dan PPK merupakan peluang besar untuk mengutak-atik suara.
Apalagi jika proses penghitungan suara terjadi menjelang senja, sering sekali TPS kondisi kosong: warga sudah pada pulang, saksi sudah mulai kelelahan, bahkan tak jarang sebagian sudah meninggalkan TPS. Yang tinggal dengan setumpuk surat suara yang masih harus dihitung, KPPS dan pengawas TPS. Apalagi Pilkada masa pandemi, setelah mencoblos, warga tidak boleh berkerumun di TPS, diharapkan mereka langsung pulang.
Kondisi seperti itulah rentan terjadinya kecurangan; main mata antara pendukung dengan oknum penyelenggara. Setidaknya, pada kondisi itu pula kelalaian dapat terjadi. Kelelahan penyelenggara sangat memungkinkan mereka salah dalam menempatkan atau menghitung suara.
Oleh karena itu, strategi pengawalan suara pasca-pencoblosan harus menjadi visi semua pihak. Mengawal suara bukan hanya menjamin tidak terjadinya kecurangan atau kelalaian atau menjamin kemurnian suara, tetapi juga mengawal suara hati nurani rakyat, sehingga kepala daerah-wakil kepala daerah terpilih betul-betul kehendak suara terbanyak rakyat.
Oleh karena itu, kepedulian dan kesertaan aktif seluruh rakyat untuk menyelamatkan suara Pilkada Serentak 2020 tidak boleh surut kendati dalam bayang-bayang ancaman virus corona.
Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dab Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Dewan Pakar ICMI Jabar
Sumber, Pikiran Rakyat 09 Desember 2020