Menanti Kepastian Penyeleggaraan Pilkada

Kendati hangat-hangat kuku; dibicarakan sambil lalu, problem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih ibarat bara dalam sekam. Jika tidak segera dituntaskan dapat meledak kapan saja.

Drama politik DPR untuk mengembalikan Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD yang melahirkan UU No. 22 Tahun 2014 ternyata bukan puncak penyelesaian. Pasca itu, Presiden Yudhoyono mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang kontra-substantif. Namun, Perpu pun tidak juga menjadi solusi terakhir.

UU Pilkada 2014 terganjal Perpu dan Perpu pun harus mendapat persetujuan DPR RI. Keduanya belum dapat dijadikan landasan bagi penyelenggaraan Pilkada. Padahal, tahun 2015 Indonesia harus menyelenggarakan sekitar 227 Pilkada: 11 Pemilihan Gubernur, 180 Pemilihan Bupati, dan 36 Pemilihan Walikota. Lima di antaranya di Jawa Barat: Pemilihan Bupati Pangandaran, Bupati Bandung, Bupati Indramayu, Bupati Karawang, dan Walikota Depok. Sebagian dari Pilkada 2015 tersebut tahapannya harus sudah dimulai pada akhir tahun 2014 atau awal 2015.

Sisi lain, DPR, DPD, dan MPR pun masih disibukkan dengan agenda-agenda internal kelembagaan. Sebagai lembaga yang berpenghuni baru, mereka harus menata berbagai hal, di antaranya pemilihan pimpinan yang belum lama usai. Itu pun mempertontonkan drama politik sengit. Pengutamaan kelompok koalisi antara Koalisi Merah Putih (KMP) melawan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) masih menonjol, ketimbang memperjuangan kepentingan rakyat. Padahal, mereka wakil rakyat yang sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat; bukan wakil Parpol. Idealnya, mereka harus sudah mulai “melupakan” Parpol dan konsen pada upaya mempejuangkan nasib rakyat.

Pencetus ide Perpu Pilkada, Presiden Yudhoyono pun tinggal hitungan hari akan segera lengser. Penggantinya, Presiden Terpilih Joko Widodo belum tentu memiliki pemikiran yang sama. Selain disibukkan dengan penataan kabinet baru, Jokowi pun masih harus menghadapi tarik-menarik Fraksi Demokrat yang sulit ditebak untuk diandalkan “melawan” KMP. Berharap pada upaya MK pun nyaris tidak mungkin. Uji materi terhadap UU Pilkada 2014 belum dapat dilakukan, sepanjang Perpu belum disetujui atau ditolak DPR.

Padahal sejumlah penyelengara Pilkada harus ancang-ancang memulai tahapan. Jika tidak tepat waktu, gagal penyelenggaraan jadi ancaman. Hal itu tentu akan berimbas pada berbagai persoalan, termasuk konflik-konflik lokal yang selama ini menjadi problem di sebagian besar penyelenggaraan Pilkada. Kendati KPU berinisiatif tetap melangkah dalam ketidakpastian, tetapi bukan tanpa resiko. Minimal in-efesiensi dan in-efektivitas, baik tenaga maupun biaya pasti terjadi.

Kondisi seperti ini harus mendapat pencermatan serius dari semua element strategis di masyarakat. Pemerintahan Daerah: Kepala Daerah dan DPRD, tidak boleh hanya berpangku tangan menanti durian runtuh. Selama ini, Pemerintahan Daerah banyak menjadi obyek produk kebijakan yang dibuat Presiden dan DPRD. Teramat jarang, proses pengambilan kebijakan-kebijakan yang bersentuhan langsung dengan nasib daerah dikonsultasikan, dikoordinasikan, atau meminta masukan dari daerah. Termasuk dalam penentuan UU Pilkada, suara-suara dari daerah (Kepala Daerah dan DPRD) tidak nampak. Yang ada hanya letupan-letupan kecil dari sejumlah Kepala Daerah yang sudah merasa “berhutang budi” pada Pilkada Langsug. Padahal, apapun yang diputuskan, merekalah yang akan banyak menjalani. Tidakkah kini saatnya Kepala Daerah dan DPRD menjadi subyek untuk ikut menentukan nasibnya sendiri? ***

Mahi M. Hikmat, Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pakar ICMI Jabar

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter