Memuliakan Ibu

Rasanya miris dan menyedihkan, menonton banyak berita tentang anak yang menggugat ibu kandungnya yang telah tua renta ke pengadilan. Kesalahan seberat apakah, setega itu, apakah tidak ada lagi cara yang lebih bermoral? Sedih, iba dan ironis, apalagi mereka itu sama-sama beragama Islam.

Padahal Rasulullah Saw saat didatangi seorang sahabat dengan jelas menyatakan ibu harus dimuliakan. “Ya Rasulullah, siapakah yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku? Jawab Rasul,” Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu.” (HR Bukhari Muslim).

Memang saat ini banyak ibu yang tega membuang anaknya. Namun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan mereka yang mulia, mengurus anak dan suaminya dari sebelum subuh hingga larut malam. Dimana suami dan anak-anaknya belum bangun sudah mulai bekerja, malam ketika semua anggota keluarga tidur, baru beliau beristirahat.

Mari kita telaah lebih jauh lima ayat pertama yang diwahyukan, surah Al-‘Alaq:1-5, mencerminkan betapa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw begitu mengagungkan kedudukan kaum ibu. Al-‘Alaq salah satu maknanya adalah sesuatu yang menggantung di dinding rahim.

Perintah “membaca” berkali-kali tentu saja bukan sekedar membaca teks. Tetapi bermakna luas, membaca diri dan alam raya yang luas. Lima ayat pertama itu mengajak kita merenungi asal mula kejadian diri, bahwa kita semua—kecuali Adam dan Hawa—pernah tinggal di rahim ibu.

Kedudukan setinggi dan semulia apapun status sosial, semuanya berasal dari rahim seorang ibu. Tak pantas untuk menyombongkan diri. Semuanya sama berasal dari Allah lewat pintu rahim yang dititipkannya sebelum lahir ke dunia ini.

Pantas Allah Swt murka jika seorang anak lupa diri dan durhaka pada kedua orangtuanya. Jangankan membantah, apalagi memarahi, mengatakan “ah” saja tidak boleh. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia.” (QS Al Isra:23).

Allah mengingatkan supaya menghormati kedua orangtua seperti seperti yang disampaikan dalam surah Luqman ayat 14: “Dan Kami (Allah) berwasiat kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtua. Ibunya telah mengandungnya dengan  menderita kelemahan di atas kelemahan, yakni terus-menerus  dan masa menyusuinya dalam dua tahun.  Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.”

Ayat di atas memberikan ilustrasi nyata betapa seorang ibu berkorban jiwa raga demi kelahiran anaknya. Mengandung sembilan bulan kepayahan diikuti kemudian sebelum melahirkan dirinya bertaruh nyawa. Maka amat pantas jika Allah menempatkan seorang ibu dalam posisi kedua yang harus dimuliakan setelah manusia mengabdi pada Allah sebagai Tuhannya.

Kedudukan mulianya memang wajar. Sejak dalam rahimnya seorang anak bergantung pada ibu. Lewat tali ari-arinya seorang anak dalam rahim menyerap makanan yang ada dalam diri ibunya. Ketika seluruh organ tubuhnya terbentuk dan diberi nyawa, seorang ibu lah yang merasakan getarannya. Sehingga kedekatan kita dengan ibu sudah terjalin sejak ada dalam rahimnya.

Setelah lahir dan besar, ibu pula yang berperan mengajarkan ilmu dalam bertutur kata dan menyerap ilmu kehidupan. Maka pantaslah jika kemudian dikatakan bahwa “ Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” Dengan peranan seorang ibu, anak manusia dapat melangkah menggapai surga.

Memuliakan ibu dan ayah sama dengan memelihara kemajuan peradaban kemanusiaan. Begitu tingginya kedudukan orangtua, sehingga berkhidmat kepadanya setara dengan berjihad di jalan Allah. Wallahu’alam. []

Dadang Kahmad, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung dan Direktur Pascasarjana UIN SGD Bandung.

Sumber, Republika 7 Februari 2015

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter