(UINSGD.AC.ID)-Ini sudah tahun kedua, mudik yang sejatinya selalu jadi pilihan setiap musim lebaran, kini menjadi larangan. Kemaslahatan jauh lebih utama dari sekedar fisik yang hadir di kampung halaman. Rindu boleh menggunung, bertemu orang tua dan sanak saudara, namun kesehatan bersama lebih utama. Jika fisik ini terkurung, biarlah hati dan pikiran menjumpai semua kekasih jiwa dan kita pun memastikan sehat bersama.
Harus diakui, alat komunikasi tak sanggup mewakili, hanya sedikit mengobati. Ada rasa yang tak tersampai, tersendat dalam ruang hampa teknologi. Hilang sendagurau, buncah tawa antara saudara yang tak berbatas ruang dan waktu. Kebersamaan selama ini tak bisa diwakili silaturahmi virtual. Kesabaran sosial kita sedang dikuatkan. Pertemuan melalui mudik kini bukan jalan terbaik. Dapat menjadi awal potensi menyebarnya virus. Membuat semua keluarga mengalami kondisi yang tak baik.
Hingga tanggal 6 Mei 2021, berdasarkan data World Health Organization (WHO), di bumi yang kecil dan makin padat ini, ada 155.665.214 yang terkonfirmasi postif Covid-19. Ada 3.250.648 orang yang meninggal dan sudah 1.171.658.745 dosis yang telah divaksin. Bencana berat yang mengingatkan kepada manusia, bahwa sains tak lagi bisa jumawa. Manusia harus melatih hati dan pikirannya agar sanggup menebar kemanfaatan, bukan meluaskan kerusakan. Sains harus memperbaiki dirinya, bukan untuk kepentingan pemodal, tapi semua umat manusia. Banyak upaya telah dilakukan, tapi pandemi tak kunjung menjauh. Pada posisi ini pula, kesabaran harus menjadi bekal bersama untuk membangun masyarakat agar kokoh kekuatan sosialnya.
Momentum perayaan Idul Fitri 1442 Hijriyah hendaknya menjadi energi bersama untuk menguatkan modal sosial saling berbagi dan menguatkan satu sama lain. Tetap konsisten untuk 5 M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas). Kita tentu sedih dan kecewa tak bisa mudik, menengok keluarga di kampung halaman. Hambatan fisik itu tak harus menghalangi silaturahmi hati dan pikiran. Ini bagian dari ikhtiar, mengingat banyak ahli yang meyakini bahwa badai pandemi belum sepenuhna mereda.
Silaturahmi Hati
Silaturahmi hati itu ditujukan ke dalam diri dan sesama. Ke dalam hati sendiri yang kerap menjauh dari Ilahi. Setelah menjauh, hendaknya mendekati, karena Dia sedekat urat nadi. Caranya dengan taat menunaikan ibadah shaum dan semua kewajiban-Nya. Maka temukanlah kenikmatan tenggelam dalam kasih sayang-Nya. Rasakan kerinduan mendalam untuk selalu ada dalam petunjuk-Nya. Kenali diri, agar mengenal Tuhan Yang Maha Suci.
Maknai bahwa kampung halaman itu bernama akhirat. Tempat nanti manusia kembali. Setelah menunaikan tugas di dunia, semuanya akan pulang, berasal dari-Nya, kembali pula kepada-Nya. Lihatlah wajah yang merindukan Tuhan, akan tersenyum ikhlas penuh kebahagiaan saat malaikat maut menjemput. Sementara yang masih mencintai dunia, akan terlihat sakit dan berat.
Memudikkan hati artinya melatih kembali pada ketenangan. Membiarkan seperti pada awal mula diciptakan, suci dari segala kebencian. Bermakna meluaskan pintu memaafkan. Tak ada ruang dendam dan kemarahan, yang ada kecintaan. Hati yang mudik adalah mereka yang selalu ingin berbagi. Padahal boleh jadi kondisi ekonomi sedang berat. Pemudik hati merupakan insan bertakwa, selalu bersedia berbagi dalam kondisi apapun. Hati yang selalu terikat tanpa lepas sedetikpun kepada Yang Maha Rahman. Terisak sedih melihat sesama sedang kesusahan. Langsung bergerak memberikan bantuan meringankan beban.
Kita yang masih ada di dunia ini, tentu saja tak bisa dibohongi, jika rindu kampung halaman sangat terasakan. Teringat tempat dilahirkan. Tumbuh sedari kecil, menginjak dewasa berjuang ke perantauan. Sebagian besar penduduk Indonesia lahir dari pedesaan, lalu berjuang ke perkotaan. Jika pun banyak yang lahir di perkotaan, keturunan kesekian dan umumnya masih punya saudara di pedesaan.
Saat idul Fitri tiba, mudik menjadi tradisi tahunan. Macet menjadi pertanda, kesibukan pemerintah sangat terasa. Open house pun tak hanya di perkotaan bersama kolega dan staf di kantor, namun di kampung pun dilakukan. Namun kini, semuanya dibatasi, demi mengurangi pandemi. Mari menjadi mujahid, dengan tidak mudik fisik, agar semuanya dipastikan saling terjaga kesehatan. Cukuplah hati yang dimudikkan, agar semakin dekat dengan Tuhan.
Silaturahmi Pikiran
Bukan hanya hati, pikiranpun perlu mudik. Setelah jumawa dan keliaran dipertontonkan. Merasa benar sendiri, mencari-cari alasan pembenaran menjadi cara penalaran. Saat logika dipergunakan untuk melemahkan kebenaran dan kebaikan. Pikiran menjadi tempat mengatur tipu muslihat menjadikan masyarakat dirugikan.
Ruang dialog ditutup, orang lain tak punya tempat dalam kebenaran. Diterima tanpa sikap kritis, menjadi berhala pemikiran. Benar menurutnya, tak peduli dengan pendapat dan kondisi orang lain. Menyerukan jihad di jalan Tuhan, padahal manipulasi pada kenaifan pemahaman iman manusia yang rendah pengetahuan. Meledaklah bom, korbanpun berjatuhan. Mereka tak berdosa, tak mengerti apapun menjadi akibat dari pikiran tertutup merasa itulah jalan Tuhan. Padahal itu adalah sedalam-dalamnya kebodohan dan kemunafikan.
Manusia yang sempit pikirannya (ekstrim) seperti itu tidak mungkin lahir dari ibadah Ramadhan. Mereka yang shaum akan menerima petunjuk mana yang benar dan salah serta selalu dibimbing oleh-Nya mendapatkan kebahagian. Mereka yang selalu rajin melakukan silaturahmi pikiran, pasti aktif melakukan dialog dibuka dan mendapatkan pencerahan.
Benar versi diri belum tentu benar versi yang lain. Namun peganglah kebenaran itu, sambil berproses mencarinya bersama dengan penuh keterbukaan dan sikap kritis. Tetap rendah hati, namun dengan keyakinan diri sesuai yang sedang ditemukan. Benar adalah proses, menjadi dan menemukan. Saat ditemukan, tak berarti akan selamanya dipegang, karena tak dibiarkan pikiran mengkarat menjadi arca pikiran, lupa mengkritisi.
Perjalanan manusia menemukan kebenaran. Sebagaimana dalam setiap shalat, doa dipanjatkan agar selalu diberikan jalan lurus atau kebenaran. Jalan orang-orang yang diberikan petunjuk, bukan golongan yang terbendu dan tersesat.
Pikiran harus dimudikkan agar kebenaran ditemukan. Ide jahat dan merusak segera dibersihkan. Setiap saat selalu memikirkan kemaslahatan bagi alam dan kemanusiaan. Bergerak menjadi khalifah dan hamba dengan sepenuhnya berusaha menjalankan perintah Tuhan. Pikiran yang selalu diikhtiarkan untuk kebenaran akan selalu membawa kebaikan.
Kepada pembaca artikel ini yang sedang bersedih karena tak bisa mudik, penulis sampaikan selamat melakukan mudik hati dan pikiran. Kita boleh bersedih tak bersua orang tua dan keluarga. Namun membiarkan hati dan pikiran terkungkung ketertutupan, di perantauan kampung sesat, jauh lebih menyedihkan. Kelak bukan kebahagiaan perjumpaan di alam keabadian yang ditemukan, yang ada penyesalan dan siksaan. Naudzubillaah
Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Koran Sindo 11 Mei 2021