Memaknai Zuhud Kontekstual di Masa Covid-19

Pandemi Covid-19 telah mengubah kebiasaan hidup masyarakat, ditandai dengan kian bergantungnya hidup pada kemajuan teknologi. Social and physical distancing yang menjadi kunci pencegahan menyebarnya COVID-19 telah diterapkan di hampir seluruh negara yang terpapar.

Work From Home (WFH) yang merupakan salah satu konsekuensi dari penerapan social distancing ternyata menuntut penyediaan teknologi informasi agar pekerja tetap produktif meskipun tinggal di rumah. Intinya, ketergantungan pada teknologi semakin kuat dan intens di masa pandemi COVID-19 ini.
 
Di satu sisi penggunaan teknologi yang demikian intens dan massif membuat segala sesuatu menjadi serba mudah dan praktis, tetapi pada sisi lain bisa menyebabkan  berkembangnya perilaku hidup yang serba instan dan pragmatis.
 
Bahkan dengan kecanggihan teknologi gadget di tangan bisa beresiko menyebabkan pola hidup yang individualis, materialis, dan konsumeris. Khusus untuk menetralisir ekses negatif ini, hemat penulis perlu dilakukan langkah antisipatif dengan diterapkannya resep obat khusus ala dokter Sufi yang disebut “Zuhud”.
  
Zuhud secara etimologi dimaknai sebagai “raghaba ‘an syai’in wa tarakahu”. Artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan kemudian meninggalkannya. Maksud “ketidaktertarikan terhadap sesuatu” itu menjadi lebih jelas ketika dikaitkan dengan ungkapan “zahada fi al-dunya” yang artinya mengosongkan diri dari kesenangan dunia. 

Pengertian ini menggambarkan bahwa zuhud secara sederhana diartikan sebagai sikap meninggalkan, tidak menyukai, atau hanya mengambil sedikit dari sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki.

Adapun dari segi istilah, zuhud berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi atau meninggalkan hidup kematerian. Orang zuhud (zâhid) adalah orang yang meninggalkan dunia untuk mendapatkan apa yang ada pada Allah. 

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu tahapan spiritual (maqâm) yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Kendati demikian, zuhud bukan semata-mata milik kaum sufi. Lebih dari itu zuhud adalah sikap yang sangat penting untuk dimiliki Muslim di mana pun, terutama dalam konteks modern sekarang ini. 

Kesalahan yang umum terjadi adalah ketika orang memahami zuhud sebagai sikap hidup yang meninggalkan kehidupan duniawi secara totalitas demi untuk mengejar akhirat semata, seolah-olah tidak peduli lagi dengan urusan duniawi atau urusan-urusan sosial di sekitarnya. Kesalahan persepsi inilah yang salah satunya sering dituduhkan kepada kaum sufi. 

Pandangan keliru yang seperti ini dimungkinkan terjadi karena ketidaktahuan mereka tentang hakekat zuhud yang sebenarnya atau mungkin juga disebabkan oleh pemahaman tentang zuhud yang terlalu tekstual dan tidak menyentuh pemahaman aplikatif secara kontekstual. 

Junayd al-Baghdadi (Sufi legendaris kelahiran Kota Baghdad-Irak tahun 210 H) mencoba meluruskan pandangan keliru tentang zuhud seperti itu. Menurut al-Junayd (panggilan akrab dari Junayd al-Baghdadi), zuhud model itu hanya akan membawa orang pada kondisi keterasingan (alienasi) dan kondisi eksklusif yang cenderung anti dunia dalam menjalani kehidupan di dunia nyata. 

Padahal, konsep zuhud menurut al-Junayd adalah dimana kita tetap memiliki harta kekayaan, namun tidak terlalu mencintainya dan tidak terlalu terpaut padanya. Zuhud sesungguhnya tidak meninggalkan harta kekayaan, tapi juga tidak tamak dalam mengejarnya serta tidak pula menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. 

Perilaku zuhud tidak semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak memikirkan urusan duniawi, tetapi zuhud dalam arti yang sebenarnya merupakan kondisi mental seseorang yang tidak terpengaruh oleh harta dan benda dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. 

Dengan demikian orang boleh untuk berpredikat “kaya”, tapi betapapun kayanya seseorang, mereka tetap hidup dalam keadaan zuhud, yakni tidak terpengaruh oleh kekayaan tersebut dalam mengabdikan diri kepada Allah. Mereka justru menggunakan harta kekayaan  untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT. 

Zuhud seperti ini adanya dalam hati, di mana hatinya tidak terikat dengan dunia dan fatamorgananya, meskipun di tangannya ada banyak harta, memiliki ketinggian pangkat dan atau kemasyhuran jabatan.

Orang zuhud senantiasa mewaspadai bahaya yang timbul akibat salah menggunakan harta, karena memegang harta kekayaan adalah ibarat seseorang yang sedang memegang bara api di telapak tangannya yang bisa membakar dirinya sendiri. 

Setiap Muslim tetap berkewajiban mencari nafkah penghidupan dunia untuk diri dan keluarganya, bahkan untuk ummat dan bangsanya. Letak zuhudnya adalah bila ia memperoleh rezeki, lalu digunakannya di jalan yang benar dan tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukan. 

Al-Junayd mengajak setiap Muslim seharusnya mengikuti jejak Rasulullah SAW, yaitu menjalani kehidupan seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas, tapi juga dermawan. Al-Junayd tidak suka dengan sifat manusia yang apatis terhadap hidup dan kehidupan sosial. 

Seseorang tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir an-sich tanpa bekerja mencari nafkah, sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian dan belas kasih orang lain. 

Hal yang sangat terkait dengan soal ini bisa kita lihat dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Annas r.a.: “Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi SAW dan bertanya tentang ibadah Nabi SAW. Dan setelah dijelaskan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih jauh bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah SAW, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” 

Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” 

Kemudian datanglah Rasulullah SAW kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”(Hadits Shoheh).

Berdasarkan hadits di atas, jika dikaitkan dengan sikap zuhud, maka zuhud ketika dipahami sebagai sikap anti dunia (asketisme) merupakan sikap yang salah kaprah, karena setiap orang harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. 

Namun ketika sudah mendapat nafkah dan harta kekayaan, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah SWT. Begitu juga ketika seseorang sudah mendapatkan kedudukan, pangkat dan jabatan, tidak lantas membuatnya lupa kepada Tuhan, lupa kepada sesama, dan lupa amanat ummat dan bangsa yang diembannya. 

Bagi seorang yang sudah menempatkan sifat zuhud seusai porsinya, maka harta kekayaan yang dimilikinya akan disadari sebagai amanat titipan Allah, kapan pun harus siap diambil oleh pemberi amanat dan kapanpun harus ikhlas diberikan kepada yang membutuhkannya. Porsi zuhud yang seperti ini adalah bisa diibaratkan sebagai seorang “juru parkir”. 

Tegasnya, jika ingin melihat zuhud yang benar, belajarlah kepada juru parkir. Juru parkir akan menerima apapun jenis dan merk mobil yang masuk, dari mulai mobil terjelek sampai mobil kelas termewah yang harganya milyaran. Semua pasti dipersilahkan masuk. 

Tapi ketika si pemilik mobil akan mengambilnya atau keluar dari tempat parkir, maka juru parkir dengan senang hati, tidak pernah keberatan, dan tidak pernah mempertahankan mobil yang mau diambil oleh pemiliknya, bahkan dengan senang hati ia ikut membantu mengeluarkannya dari tempat parkir. 

Sikap hidup juru parkir itu sejatinya sudah merefleksikan bahwa harta kekayaan, pangkat, dan jabatan hanyalah titipan dari Yang Maka Kuasa, dan inilah sesungguhnya perilaku zuhud yang sesuai porsinya. Konsep zuhud seperti itu adalah konsep zuhud kontekstual yang sangat cocok diterapkan pada kondisi pandemi COVID-19.

Pada kondisi masih mewabahnya virus Corona ini dibutuhkan hadirnya sikap saling menolong dalam kesulitan karena banyaknya lapangan pekerjaan dan sumber nafkah keluarga yang hilang akibat COVID-19. Mereka yang memiliki harta dan penghasilan hidup di atas rata-rata sudah semestinya saling berbagi, karena harta kekayaan adalah titipan Allah. 

Sikap egois, serakah, dan cinta dunia sudah selayaknya ditekan dan diganti dengan sikap zuhud yang ditandai sikap saling berbagi dan saling menyantuni. Inilah sesungguhnya konsep zuhud yang sangat kontekstual untuk diterapkan di masa pandemi COVID-19.

Prof. Dr. H. Muhtar Solihin, M.Ag. adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung dan Wakil Kordinator-1 Kepertais Wilayah II Jawa Barat-Banten

Sumber, Antara Banten Jumat, 5 Juni 2020 21:13 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *