Memakan Bangkai

Dalam keseharian, ada kebiasaan yang kadang kita tidak sadari, yaitu membicarakan orang lain. Menanyakan kabar si Fulan tentu saja sangat baik. Tapi, bila disertai dengan sikap mencemooh, apalagi berprasangka buruk dan bergosip ria, tak elok rasanya. Memang, gosip itu makin digosok makin sip.

Di waktu senggang, saat bercengkerama dengan tetangga atau rekan kerja, kerap terselip obrolan tentang kebaikan atau keburukan saudara kita. Apalagi, musim kampanye politik ketika saling menjelekkan (bergunjing) dan fitnah menjadi biasa.

Ibarat meminum es, bergunjing sangat mengasyikan, bahkan membuat pelakunya ketagihan tak ada habisnya. Rupanya, kita lupa bahwa tak ada seorang pun dalam kehidupan ini yang sempurna. Jika pun terpaksa membicarakan keburukan orang lain, hendaknya tidak disebutkan nama dan dijadikan hikmah agar kita tak melakukan perbuatan serupa.

Bergunjing merupakan penyakit jiwa yang berbahaya, termasuk kelompok nafsu lawwâmah. Munculnya karena sifat iri dengki dalam hati, tidak suka, cemburu, dan benci. Fitnah dan gosip pun tersebar ke masyarakat. Lalu, muncul guyonan, “Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah.”

Sadarilah, kebiasaan tersebut sangat merugikan karena akan memakan amal kebaikan kita seperti api yang membakar kayu. Bahkan, Allah SWT menyerupakannya dengan memakan bangkai manusia.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujuraat:12)

Bahkan, Rasululllah SAW mewanti-wanti agar kita sebagai umatnya menjauhi perbuatan menggunjing. Diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta.”

Bayangkan bila yang digunjingkan itu kita atau keluarga, sangat menyakitkan bukan? Introspeksi dirilah lebih banyak lagi. Sibukkanlah diri dengan berbagai aktivitas positif sehingga tak sempat lagi bergunjing. Berprasangka baiklah kepada sesama. Pahamilah semua manusia selalu ada sisi kurangnya, ingatlah selalu sisi baiknya.

Apabila ada tetangga atau saudara yang sukses, kekayaannya bertambah, ikutlah senang. Siapa tahu kita akan ikut merasakan kesuksesannya. Tidak perlu terlalu curiga mendapat rezeki dari mana sehingga kekayaannya melimpah ruah. Jadikanlah penyemangat, giatlah bekerja. Setelah segala ikhtiar dilakukan, bertawakallah kepada-Nya. Syukurilah apa yang telah Allah karuniakan kepada kita.

Jauhkan diri dari perbuatan dosa karena itu berpotensi menjadikan gunjingan tetangga atau rekan kerja dan berlindunglah kepada Allah agar terhindar dari perilaku tercela tersebut. Renungkanlah, jika saja Allah SWT membukakan aib kita, betapa malu dan rendahnya kita di hadapan anak, keluarga, tetangga, dan manusia lainnya. Tutuplah aib saudara sendiri, jadikanlah pelajaran, dan berusahalah untuk terus menjadi manusia yang terbaik dalam penilaian-Nya. Wallâhu’alam.[]

IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation (MRUF) Jakarta.

Sumber, Republika 24 November 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *