Saya merasakan kekhawatirannya. Degup ketakutan akan kematian tiba-tiba menjadi hantu yang harus diwaspadai. Seorang teman, apakah ia membaca berita yang benar atau karena hoax, tiba-tiba mengurung diri di rumahnya. “Ini masanya harus lockdown”, ujarnya. Sebab menurutnya, di luar tak aman, udara yang dihirup adalah racun yang bisa mengantar tubuh rapuh lalu mati.

Dengan berbagai cerita horor di sekitarnya, Covid–19 tiba-tiba berubah menjadi kabar buruk dan “senjata” pemusnah massal yang paling mematikan. Bermula dari Wuhan lalu menyebar secara cepat ke berbagai belahan dunia. Ia menyasar siapa saja. Tanpa pandang bulu. Tanpa pilih-pilih.

Covid-19 adalah wabah. Sebagai wabah, ia adalah musuh besar kedua setelah kelaparan, begitu menurut Yuval Noah Harari. Dalam sejarah manusia, wabah yang paling terkenal adalah “maut hitam” (black death). Ia adalah suatu pandemi hebat yang meletup pada 1330, di suatu tempat di Asia Timur atau Tengah, ketika bakteri penumpang kutu Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Antara 75 juta hingga 200 juta orang mati karena wabah ini.

Black Death bukanlah peristiwa tunggal, bahkan bukan wabah terburuk dalam sejarah. Epidemi-epidemi yang lebih dahsyat melanda Amerika, Australia, dan kepulauan Pasifik setelah kedatangan pertama bangsa Eropa. Pada 5 Maret 1520 misalnya, satu rombongan kecil kapal-kapal Spanyol bertolak meninggalkan Pulau Kuba dalam perjalanan menuju Meksiko. Kapal-kapal itu membawa 900 tentara Spanyol bersama kuda-kuda, senjata api, dan sejumlah budak Afrika. Salah satu budak, Fransisco de Egula, membawa satu kargo pasukan yang jauh lebih mematikan dalam tubuhnya. Diantara triliunan sel dalam tubuhnya berdetik satu bom waktu biologis: virus cacar (smallvox).

Dua abad kemudian, pada 18 Januari 1778, wabah baru muncul. Kapten Cook yang mencapai Hawaii “memperkenalkan” flu pertama, tuberkolosis dan spilis. Lalu para pendatang berikutnya memperkenalkan juga tipus dan cacar. Epidemi terus membunuh puluhan juta jiwa sampai memasuki abad ke-20. Januari 1918, bala tentara di parit-parit Prancis dihajar “Flu Spanyol”. Dalam beberapa bulan saja, sekitar setengah miliar orang ambruk oleh virus ini. Wabah baru bermunculan semisal SARS tahun 2002/2003, flu burung tahun 2005, flu babi tahun 2009/2010 dan ebola tahun 2014.

Perkembangan dunia kedokteran semakin maju. Cepatnya mereka membaca situasi dan menemukan solusi, kematian karena wabah itu bisa diredam dan diturunkan angkanya. Memang tak ada orang yang bisa menjamin bahwa wabah itu tak bisa kembali, seperti halnya hari ini kita kembali dikejutkan oleh Covid-19 yang menakutkan. Tetapi dengan perkembangan dunia kedokteran yang semakin hebat kita bisa berpikir dan mengatakan bahwa perlombaan sejata antara para dokter dan kuman, dokter berlari lebih cepat.

Era ketika manusia berdiri tak berdaya di hadapan epidemi mungkin telah usai, begitu kata Harari. Tengoklah China yang berhasil “memulihkan” situasi secara cepat setelah dihajar Copid-19. Apa yang ditunjukan China adalah perjuangan menegakkan hak untuk hidup melawan kematian. Kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan yang harus diperangi habis-habisan.

Sains dan kultur modern memiliki pandangan yang berbeda tentang kematian dan kehidupan. Kematian bukan lagi misteri metafisik. Kematian adalah sebuah masalah teknis yang bisa dan seharusnya dipecahkan. Manusia mati, begitu kata sains modern, karena jantung berhenti memompa darah karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot jantung. Sel kanker menyebar karena mutasi genetik tiba-tiba menulis ulang instruksi mereka. Kuman berbiak di paru-paru karena seorang bersin sembarangan. Perhatikan, tak ada yang metafisik yang menyebabkan seorang mati. Semuanya masalah teknis.

Dan setiap masalah teknis selalu memiliki solusi teknis. Anda yang datang ke dokter karena sesuatu terjadi pada tubuh Anda, maka dokter pasti akan mengatakan, “anda terserang flu. Anda terkena tuberkolosis atau Anda terjangkit kanker”. Dan tak ada dokter yang mengatakan, “Anda terserang kematian”.

Misi andalan sains modern adalah mengalahkan kematian dan memberi manusia usia muda kembali. Lihatlah teknologi Google yang meluncurkan anak perusahaan yang bernama Calico, misinya adalah “mengatasi kematian”. Tak tanggung Google Ventures menggelontorkan $2 miliar pada sejumlah start-up untuk menekuni “sains kehidupan” termasuk beberapa proyek ambisius perpanjangan usia. “Dalam perang melawan kematian, begitu kata Maris, “kami berusaha memenangi pertandingan.” Mengapa? “Karena lebih baik hidup daripada mati”.

Covid-19. Apakah ini massa ketika manusia digiring untuk takluk pada kabar kematian? Ataukah ketakutan kita sendiri yang menyebabkan kita “mati” sebelum mati? Rasanya tak seharusnya Covid-19 menyebabkan kita tak berdaya bahkan parno dengan melakukan lockdown secara ekstrim. Selagi tubuh kita sehat karena imunitas yang cukup lalu tetap menjaga pola hidup sehat, seiring dengan kesigapan dunia kedokteran dalam mengatasinya, maka Covid-19 bukanlah wabah yang menghalangi kita untuk meraih kebahagiaan.

Allahu a’lam[]

Manisi, 17 Maret 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *