Melampaui Upacara Mikraj

Mungkin kita termasuk ras yang amat sangat senang melakukan upacara. Bukan hanya upacara keagamaan, namun juga upacara kebangsaan. Bahkan “saking kreatifnya”, tanggal angka merah pun direkayasa menjadi sebuah libur panjang.

Tentu tidak ada yang salah dengan upacara itu, yang keliru ketika semuanya hanya menyisakan rutinitas yang tidak memiliki dampak apa-apa dalam sejarah pengalaman keseharian. Baik dampak sosial, budaya, politik ataupun penghayatan keagamaan. Setelah upacara selesai, selesai pula seluruh ingatan yang berkaitan dengan hikmah dibalik diselenggarakannya upacara itu.

Teladan Leluhur
Kalau kita telusuri, kebiasaan upacara ini berkaitan dengan tradisi leluhur kita dan arus utama budaya ketimuran yang mengagungkan daulat rasa dan biasanya dalam menyelesaikan hal ihwal tidak terlebih dahulu memeriksa secara objektif peristiwa itu atau mengerahkan daya nalar seoptimal mungkin tapi justru dengan melakukan lompatan logika: menajamkan rasa dan menghubungkan kenyataan fisik dengan realitas metafisik.

Di titik inilah dahulu kita mengundang para dewa untuk ikut ambil bagian dalam tatakelola bumi manusia. Tolak bala, mantera, sesaji dan lain sebagainya adalah seperangkat “alat” agar bagaimana “realitas langit” dapat berdampingan dengan dinamika dunia. Pascal menyebutnya dengan “du Coeur”: riak sensitivitas getaran kedalaman ruhaniah.

Konstruksi nalar seperti ini tidak keliru. Para leluhur dengan upacara seperti itu hendak meneguhkan makna bahwa apa yang kita lakukan hari ini dan di sini sajatinya tidak bersifat “otonom” tapi berhubungan erat dengan kenyataan-kenyataan yang bisa jadi terlepas dari kalkulasi logika. Kenyataan seperti ini seandainya dihayatai dalam intensitas dialog kabatinan akan mendatangkan harmoni dengan alam dan dunia sekitar kita. Dalam kosmologi Sunda bahwa ada pertautan erat antara kala, niskala dan jatiniskala. Mengingatkan saya pada sabda Nabi, “Meraka yang bisa berdamai dengan langit, akan dapat berdamai dengan bumi”.

Penghayatan inilah nampaknya yang menjadi kata kunci dalam upacara yang dilakukan para leluhur. Karena penghayatan menjadi darah dan daging dalam kegiatan ritual itu, maka alam pun meresponnya lewat “bahasanya” yang positif. Alam dan lingkungan (kosmos) menjadi mitra dalam upaya sama-sama satu sama lain menghadirkan hidup yang penuh kualitas.

Hilangnya Penghayatan
Harus diakui, absennya penghayatan, inilah yang terjadi dalam segenap upacara dan ritual yang kita selenggarakan. Baik ritual keagamaan ataupun ritual kenegaraan. Karena penghayatan hilang, maka selepas upacara kita tidak mengalami getaran spiritualitas apalagi bisa mentransformasikan kita dalam kehidupan yang baru.

Coba kita renungkan. Setelah 68 tahun kita rayakan UlangTahun Kemerdekaan secara terus menerus, namun perjalanan bangsa bukannnya menampakkan raut yang dewasa justru kian terseok-seok.

Politik yang semakin kehilangan kompas sehingga yang kita temukan bukan politisi yang berjiwa negarawan namun kerumunan manusia kumuh yang dengan seringai leviathan memburu kuasa dan benda tanpa mengindahkan lagi etika; ekonomi yang dahulu diusung dengan tekad agar tercipta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat ternyata merambah jalan menikung: “pasar” dengan tidak terasa mengambil alih konsep ekonomi kerakyatan.

Demikian terjadi dalam ranah hukum. Pedang kekadilan itu semakin hari menampakkan kilatan yang diskriminatif: tajam ke bawah namun tumpul ketika harus menghunus ke lapisan atas. Jangankan serupa Socrates yang berani minum racun untuk mempertaruhkan kebenaran yang dikukuhinya, malah pasal-pasal yang dibuatnya “diracun” untuk meloloskan kepentingan kelompoknya.

Upacara Keagamaan

Ini juga yang terjadi dalam wilayah upacara keagamaan, termasuk miraj yang setiap tahun kita peringati. Kita terjebak dalam pengalaman keberagmaaan yang kaku dan lebih mengedepankan sisi permukaan dan kegaduhan ritualistik.

Kita lebih senang menyelenggarakan “hajat” (fenomena akikah, walimatus safar, haji, dan lain sebagainya), ketimbang seperti para leluhur memasuki alam kebatinan melakukan penghayatan iman yang khusu.

Beragama menjadi tak ubahnya “pasar”: riuh dengan serba transaksi. Rebutan jamaah, rebutan klim kebenaran, rebutan umat, bahkan tidak tanggung-tanggung fenomena terakhir adalah rebutan tempat ibadah (masjid) baik antara kalangan modernis, trandisionalis, fundamentalis, atau tipologi lain yang tidak bisa diwadahi oleh term itu.

Karena “institusi” dan formalitas peribadatan ini yang dikedepankan, bukan iman dan nilai spiritualitas-moralitas yang diajukan ke ruang publik maka tidak heran kalau setiap saat “agama” seringkali menjadi pemantik bagi munculnya berbagai konflik. Agama tidak lagi menjadi peredam kegelisahan tapi hadir membuat kegelisahan baru. Agama telah dibajak, justru oleh pemeluknya sendiri!

Agama dengan upacara seperti ini alih-alih menyuplai bagi kebangkitan peradaban seperti ditenggarai sejarawan terkemuka Inggris Arnold Toynbee dalam A Study of History. Bukan memberikan pengaruh besar terhadap pergulatan Negara dan demokrasi seperti keyakinan Alexis de Tocqueville tapi menjadi awal bagi musibah yang lebih besar. Sejenis agama dan upacara “yang menomersatukan kemalasan bukannya kesalehan” sebagaimana pernah dibilang Machiavelli. Tuhan menyebutnya dengan keberagamaan yang “sahun” (QS. 107: 4-7).

Alhasil, miraj sesungguhnya adalah upacara yang mengingatkan kita tentang penggalan hikayat kenabian bahwa beragama tidak cukup sebatas kemeriahan ritualistik tapi yang lebih penting adalah mewujudkan keadaban publik dengan cara menyelami kedalaman penghayatan keagamaan, mengembalikan lagi etika agama menjadi penerang bagi kehidupan bersama. Dalam istilah Bung Karno, “Ketuhanan yang memandu peradaban dan kebudayaan.”

Esais, Pemerhati Sosial-Budaya dan Dosen UIN SGD Bandung

Sumber, Galamedia 7 Juni 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter