Melalui Tahfidz, Mahasiswa akan Dipercaya Masyarakat

[www.uinsgd.ac.id] Beberapa tahun belakangan, mahasiswa UIN disibukan dengan tuntutan hafalan Al-Qur’an. Bagaimana tidak, program ini disepakati seluruh senat kampus sebagai syarat wajib mahasiswa mendapatkan titel kesarjanannya. Mereka menamakan program tahfidz ini dengan istilah Libat. Yakni suatu akronim dari kata lihat, baca, dan tulis.  Apa Ide dasar program ini dan siapakah sosok yang berada dibaliknya? Ia lah Asep Hasan Mustofa.

Kesan ramah, bersahabat, dan kebapakan, begitu kental terasa pada sosok pria paruh baya penggagas Libat ini. Abi, begitu santri-santri menyapanya. Pria kelahiran Serang, Banten, 52 tahun  silam ini merupakah Ayah dari tiga anak. Sejak kecil dibesarkan di lingkungan Pesantren. Bahkan hingga kini, ia mengemban tanggung jawab membesarkan pesantren binaannya. Maka tak ayal jika sebagian masyarakat menganggapnya sebagai ilmuwan Islam.

Pengabdian terhadap ilmuwan Islam ia curahkan dalam banyak kegiatan dari tingkat lokal bahkan nasional. Baik off air maupun on air. Kegiatan on air yang ia jalani , yakni menjadi pengisi acara tentang metode membaca dan menghapal Al-Qur’an di TVRI.  Ia mempunyai metode tersendiri yang dikenal dengan istilah LIBAT (lihat, baca, tulis).

“Awalnya saya mengajar dengan metode Libat sistem sepuluh jam. Dari sana, metode ini mulai dikenal dan banyak instansi-instansi yang berminat. Antara lain, masyarakat, direktur perusahaan,  hingga anggota DPRD. Mereka ingin mempelajari metode tersebut”, papar pendiri Unit Pengembangan Tilawatil Qur’an UIN Bandung tersebut.

Melalui metode Libat-nya, Asep ditawari untuk mengajarkan Al-Qur’an dengan cepat di Singapura dan Malaysia. Dari sinilah ia semakin dikenal di negeri Jiran.

“Waktu di Malaysia kami membuat yayasan Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora (PIARA), namun akhirnya metode Libat ini menjadi milik singapura, karena malaysia lebih baik mengalah, maka dari itu Malaysia sering meminta pengajar dari Indonesia,”lanjutnya.

Berbicara metode Libat, Asep mengaku menerapkannya di Pesantren-pesantren yang ia bina. Metode ini diterapkan pada santri-santrinya hingga mampu melahirkan hafidz dan hafidzah di atas sepuluh juz. Bahkan beberapa santrinya telah menguasai sepuluh juz dalam kurun waktu setahun setelah berdirinya pesantren.

Di samping itu, Asep menuturkan bahwasannya terdapat metode binnadzor dan bilhifdzi. Metode ini adalah membaca secara talaqqi (langsung antara guru dan murid) sebelum memulai menghapal, sedangkan bilhifdzi menghapal Al-Qur’an langsung disaksikan guru pembimbing. Prosesnya melalui tiga pola, melalui surat-surat panjang, sedang dan pendek. Namun untuk penghapalannya melalui sistem mundur dari juz 30.

“Metode ini selayaknya diterapkan di Pesantren di pondok pesantren khusus. Sedangkan untuk di Perguruan tinggi UIN, tidak akan mudah karena banyaknya jumlah mahasiswa, kecuali telah terbentuk dosen-dosen pembimbing khsusus yang memadai dan berkompeten,”katanya.

strong style=”mso-bidi-font-weight: normal;”>Lembaga Tahfidz Qur’an di UIN

Jika ditanya tentang keberlakuan tahfidz Qur’an sebagai syarat kelulusan untuk menjadi sarjana, Asep memaparkan peran lembaga Tahfidz Qur’an di UIN. Lembaga ini sebetulnya bertujuan agar mahasiswa UIN dapat diterima di masyarakat. Mengingat harapa masyarakat pada mahasiswa setelah sarjana sangatlah tinggi. Maka dari itu, setidaknya dengan hafal Al-Qur’an, mahasiswa UIN bisa diterima di masyarakat.

“Berdirinya lembaga tahfidz Qur’an ini adalah sepenuhnya kewenangan Rektor. Bagi Universitas Islam, sesungguhnya program ini sangat mulia. Bagaimana pun sebagai mahasiswa Islam, sepantasnya hafal Al-Qur’an sekurang-kurangnya juz 30,”tegasnya.

Asep menjelaskan, mahasiswa tingkat akhir wajib hafal satu juz. Dan mengikuti tes hafalannya dengan mendaftar langsung ke pihak lembaga tahfidz Qur’an. Setelah itu mahasiswa akan di tes hafalannya. Namun Asep mengatakan untuk ke depannya mahasiswa akan mendapatkan buku saku untuk hafalan.

Menurutnya, hasil sementara keputusan Pembantu Dekan  I se-UIN dengan PR I bersama pengurus tahfidz Qur’an, didapat pengetesan sekaligus pelaksanaannya melalui fakultas masing-masing. Selanjutnya fakultas melaporkan pengajuan kelulusannya pada lembaga tahfidz. Adapun buku saku dimaksudkan untuk setoran hafalan mahasiswa pada pembinanya. Dan pembinanya pun memegang buku setoran hafalan tesendiri.

“Realisasinya insya Allah secepatnya  akan dicetak jika disetujui pihak Al-Jamiah,”paparnya.

Ia menyampaikan, bagi mahasiswa yang dipandang kurang memiliki kemampuan dalam menghafal, diperlukan penggodokan terlebih dahulu secara rutin. Disertai dengan ketekunan dan kemamuan para mahasiswa itu sendiri. Terutama dalam binnadzor, demikian juga bagi mahasiswa yang belum mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Ia berharap, setelah terbentuknya lembaga tahfidz di UIN Bandung, outputnya nanti sesuai dengan yang diharapkan, artinya UIN melahirkan sarjana yang selain fasih membaca Al-Qur’an juga hafal. Dengan begitu mampu memberikan kepercayaan untuk masyarakat.”Harapnya. ***[ SuakaOnline, ed. Dudi]

 

 

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter