Media Massa & Covid-19

Menurunnya frekuensi pengumuman data harian kasus covid-19 dengan ditandai berhentinya juru bicara Pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto dkk. tampil di layar kaca yang masif empat bulan kemarin, bukan berarti persebaran covid-19 sudah usai. Pemerintah masih tetap meng-update kasus harian persebaran covid-19 melalui portal www.covid19.go.id yang datanya tetap mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan.

Dalam seminggu terakhir, 24 Juli – 7 Agustus 2020, puncak data positif terpapar covid-19 menyentuh angka 2.473 dalam sehari, angka sembuh tertinggi 2.366 dan meninggal 217. Jika dikomparasikan secara acak pada seminggu lain ketika Achmad Yurianto dkk. masih tampil di TV, misalnya mulai 24 – 30 Mei 2020, data positif terpapar covid-19 tertinggi mencapai 686. Terlepas banyak hal yang mempengaruhi naik-turunnya angka data kasus positif terpapar covid-19, termasuk jumlah spesimen tes corona, tetapi dalam perspektif media, naik turunnya angka tersebut pun tidak terlepas dari peran media massa.

Pengaruh Media
Banyak teori yang sudah diuji beratus, bahkan beribu kali yang konsisten menyimpulkan bahwa pengaruh media massa terhadap perilaku manusia sangat dasyat, sehingga orang-orang bijak dalam mengambil berbagai keputusan selalu menempatkan instrumen media massa sebagai bagian terpenting. Teori-teori media massa yang diuji secara kuantitatif cenderung didominasi oleh kesimpulan bahwa kuantitas dan kualitas frekuensi kehadiran sebuah konten pada media massa sangat menentukan besaran pengaruh terhadap perilaku manusia. Makin banyak dan makin bagus sebuah konten dihadirkan di media massa, kecenderungan makin tinggi tingkat pengaruh konten tersebut terhadap perilaku khalayak dan sebaliknya.

Tesis ini dapat dianalogikan dengan penyajian konten kasus covid-19. Dengan tidak mengabaikan pengaruh aspek lain, sangat dimungkinkan, meningkatnya angka positif covid-19 di Indonesia beberapa minggu ini terkait dengan penghentian penyajian informasi di TV. Kendati, hal ini perlu dilakukan kajian yang lebih cermat dan mendalam, tetapi sebagai hipotesis dapat menjadi bahan pertimbangan.

Kendati Tim Satgas Penanggulangan Covid-19 tetap menyajikan update informasi melalui portal, tetapi karakteristiknya berbeda dengan TV. Televisi bersifat aktif mengunjungi khalayak ke rumah-rumah dengan penguatan aspek emosional melalui tampilan host, presenter, atau ilustrasi yang diaudio-vidualkan dengan teknik camera yang lebih intim, sehingga lebih dapat mempengaruhi perilaku khalayak. Berbeda dengan portal yang cenderung pasif, konten hanya dapat dinikmati orang tertentu yang paham cara mengakses dan butuh atau peduli pada data kasus covid-19, sembari rendah membangun hubungan emosional dan keintiman di antara visitor dengan penyaji konten.

Dari sisi jumlah penikmat pun TV cenderung lebih banyak ketimbang media yang menggunakan jaringan internet. Data Nielsen Consumer & Media View (2020) menunjukkan, angka penonton TV di Indonesia sekitar 92 jutaan, sedangkan pengguna internet 59 jutaan. Bahkan, data lain menyebutkan, angka penonton televisi mencapai 44%, sedangkan visitor portal berita hanya 4%, sisanya pengguna radio, surat kabar, video online, dan lain-lain. Oleh karena itu, jika diseminasi informasi kasus covid-19 di televisi “dihentikan”, dapat diasumsikan sama dengan menghentikan informasi pada jutaan penduduk.

Gunakan Semua Media
Bagi sebagian orang “penghentian” informasi kasus covid-19 di TV bisa jadi dipersepsi persebaran covid-19 sudah berkurang, sehingga mereka mengurangi kewaspadaan. Apalagi Pemerintah pun melonggarkan PSBB dengan mengistilahkan PSBB transisi, bahkan AKB. Pemerintah pun memberikan ijin dan kelonggaran pada berbagai aktivitas warga, sehingga perkantoran mulai aktif, mall dan pasar penuh kembali, tempat ibadah sudah dibuka, transportasi, dan kegiatan lainnya pun kembali aktif. Dampaknya, sejumlah tempat kegiatan warga tersebut menjadi klaster baru persebaran covid-19 dan men-suport angka besar pada data kasus covid-19.

Padahal secara logika, ketika PSBB dilonggarkan dan sejumlah aktivitas warga diperbolehkan, seharusnya Pemerintah masif membangun kesadaran masyarakat untuk selalu waspada dan taat pada protokol kesehatan: menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan hindari kerumunan. Achmad Yurianto dkk. harus makin masif menyajikan data kasus covid-19 dan catatan-catatan kecil hasil analisis dan himbauan pada warga untuk tetap waspada bahwa penularan covid-19 masih terjadi dan makin membahayakan dengan aktivitas warga yang mulai terbuka.
Diseminasi informasi untuk mengukuhkan tingkat pengetahuan, pemahaman dan kesadaran warga untuk tetap taat protokol kesehatan harus dikembangkan tidak hanya melalui portal, tetapi TV, radio, surat kabar, dan media massa lainnya, baik tingkat nasional maupun lokal. Indonesia memiliki jaringan televisi analog dan digital hampir 2.000 dan jaringan radio FM dan AM lebih dari 4.000 yang wilayah layanannya tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Media cetak pun sama, di semua provinsi, bahkan sampai ke kabupaten/kota di seluruh Indonesia dipastikan ada dan memiliki pembaca fanatik yang kuat.

Mereka dapat menjadi ujung tombak yang hambel karena selain didukung jaringan yang masif juga kemampuan insan media yang kreatif, inovatif, dan profesional sehingga konten yang disajikan tidak akan hanya Achmad Yurianto dkk berpidato, tetapi dalam bentuk sajian audio, video, dan coretan tinta yang humman interest menggiring warga untuk tahu, paham, sadar, dan berperilaku sesuai protokol kesehatan.

Hal itu di antaranya dapat dilakukan dengan meng-konkret-kan komitmen Menteri Keuangan, Sri Mulyani bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate terkait rencana pemberian insentif bagi industri media agar tidak terjadi penutupan perusahaan pers dan PHK para pekerja media akibat pandemic covid-19. ***

Mahi M. Hikmat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati dan Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat.

Sumber, Pikiran Rakyat 10 Agustus 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter