Masyarakat Gosip

Fitnah politik yang bertebaran, diteruskan dan disebarkan oleh masing-masing pendukungnya dengan penuh semangat, perdebatan di ruang publik yang cenderung lebay dalam mendukung jagoan calon presiden-wakil presiden,  membuat kita dapat menyimpukan bahwa bangsa ini masih jauh dari apa yang disebut masyarakat berpengetahuan.

Bilapun sudah hampir tujuh dasawarsa merdeka, harus jujur diakui, kita masih di level masyarakat gosip. Masyarakat yang dengan mudahnya diarahkan oleh isu, gosip dan program pencitraan, serta berbagai strategi penggalangan massa dan opini publik.

Gosip adalah budaya lama, tersebar di antara tetangga dan keluarga. Dengan ngerumpi, informasi yang belum tentu atau bahkan tidak benar disebarkan, karena makin digosok semakin sip. Kini mesin gosip semakin dahsyat,  melalui media massa dan media sosial, penyebarannya melintas batas wilayah. Kemudian  fitnah itu diterima oleh publik dan dengan senang hati terlibat menyebarluaskannya. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi belum sepenuhnya menjadi kekuatan pencerdasan dan pencerahan rakyat. 

Apologi kita boleh jadi menyatakan sangatlah wajar kondisi seperti ini tercipta, karena tingkat pendidikan anak bangsa masih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penduduk yang usianya 15 tahun ke atas, hingga tahun 2013 itu sebanyak 19,33 % tidak tamat SD, 28,46 %-nya  berpendidikan SD, 20,80 %-nya  berpendidikan SMP dan 31,40 %-nya berpendidikan SMA. Sementara, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 adalah 73,29 % (www.bps.go.id). Capaian pembangunan yang masih jauh dari harapan, karena pendidikan tidak menjadi panglima, politik saling menjatuhkan masih mendominasi, bahkan semakin terasa setelah 16  tahun reformasi.

Tentu saja, menjadi tugas besar presiden-wakil presiden terpilih beserta jajaran pemerintahannya untuk fokus membangun pendidikan anak bangsa sehingga tumbuh sebagai masyakat berpengetahuan. Masyarakat yang mampu menjadikan berbagai informasi sebagai sesuatu yang bermanfaat dalam segala bidang kehidupan. Mampu memilah dan membuang informasi sampah (gosip). Masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bagian keseharian, sibuk dengan pengembangan pendidikan, perdebatan di ruang keilmuan dan memproduksi berbagai temuan ilmiah yang bermanfaat bagi pembangunan.

Dialognya bersifat komunikatif, kritis dan tetap dibingkai etika dan penghormatan. Buku dan berbagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan tersedia dengan jumlah yang lebih dari cukup, sebagai bagian dari aktualisasi gagasan dan rekaman setiap perkembangan pengetahuan.
 
Kepentingan Emansipatoris-Praksis
Isu perdebatan publik yang  utama, tentang siapa yang pantas menjadi presiden-wakil presiden, masih  jauh dari sikap terbuka, dewasa, kritis, nilai esensialnya dan konstruktif.  Perbedaan masih disikapi dengan permusuhan. Bukannya kepentingan emansipatoris dan mendorong pencapaian kedewasaan (mündigkeit) yang menjadi tujuan, sebagaimana diinginkan Jürgen Habermas, malah lebih banyak muncul sikap kekanak-kanakan.

Lihat saja, program riil setiap calon presiden-wakil presiden menuntaskan persoalan bangsa masih belum banyak diperbincangkan. Pendukungnya cenderung emosional, bukannya agenda kongkrit, terukur dan realistis setiap calon presiden-wakil presiden yang diperdebatkan, melainkan tentang aib, SARA dan dosa masa lalu.
Uji publik atas setiap program belum menjadi tradisi. Tuntutan untuk dilakukan analisis kritis atas setiap program masih kurang. Akibatnya, orasi program disetiap kampanye lebih mirip janji tukang obat. Situasi ini juga diperparah oleh fakta bahwa cukup banyak cendekiawan yang cenderung menjadi intelektual partikelir, pendukung salah satu calon.

Boleh jadi, salah satu sebabnya karena masih minimnya jumlah pemimpin bangsa.  Partai politik di negeri ini sangat miskin kaderisasi. Buktinya, dari dua pasang calon presiden-wakil presiden, baik Prabowo, Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla adalah stok lama. Jika pun ada muka baru, Jokowi, itu dipaksa maju. Seumur jagung masa tugasnya di DKI Jakarta, belum banyak hal yang dilakukan. Dari dua ratus juta lebih rakyat Indonesia, pilihannya masih pada muka lama yang tentu saja tidak dapat diharapkan memberi perbaikan menyeluruh.

Partai politik adalah pihak yang paling bertanggungjawab dengan kurangnya jumlah pemimpin nasional. Tidak ada kaderisasi serius, berkesinambungan dan diproyeksikan jangka panjang. Ada uang akan dapat kekuasaan. Ajang kongres, pemilihan ketua umum, menjadi pasar transaksi bisnis politik besar-besaran. Karena itu, tak usah heran, ada yang menyatakan, menguasai Indonesia dengan segala sumber daya alamnya yang melimpahruah cukup dengan uang Rp 10 triliun.

Organisasi sosial kemasyarakatan sebagai modal sosial dan pilar bagi masyarakat sipil juga gagal melahirkan pemimpin bangsa. Rendahnya kemandirian, khususnya pembiayaan, menjadikan tokoh ormas hanya mampu menjadi subordinasi, pendukung tokoh politik.  

Minusnya jumlah pemimpin juga karena belum optimalnya proses pendidikan, baik di keluarga maupun sekolah. Orang tua membiarkan anaknya menjadi pribadi penakut dan pengkhayal karena diasuh oleh film horor, kartun dan sinetron. Menginjak dewasa, menjadi pemimpin di lingkungannya, potong kompas menjadi kebiasaan. Urusan mudah dengan kekuasaan, suap dan kekerasan menjadi pilihan, karena begitulah pelajaran yang didapat dari film dan sinetron semasa remajanya.  

Sekolah hanya menjadi tempat anak untuk menerima pesan guru yang diklaim sebagai ilmu pengetahuan, tanpa sikap kritis. Sebagian besar sekolah menjadi tempat menyebarkan ketidakjujuran, dengan target semua lulus ujian. Perguruan tinggi, sebagai tempat akademisi dan ilmuwan mengembangkan ilmu pengetahuan dan moralitas, bertugas memberikan pencerahan kepada masyarakat, kini hanya jadi tempat perkumpulan manusia berpendidikan, namun partisan.

Dukung mendukung calon presiden-wakil presiden yang tengah berlangsung, tak harus membuat benci tersanubari. Kain kebangsaan yang indah dengan ribuan ragam corak benang budaya, hanya untuk dijahit dalam pola kebhinekaan, bukan untuk egosentrisme identitas tanpa kebersamaan.  Ingatlah, yang dicerca itu salah satunya akan menjadi pemimpin bangsa. Tentu saja, bukan sekedar dialog dan konsensus, lebih dari itu perlu praksis, bekerja bersama agar seluruh anak bangsa segera merasakan sejahtera.  Wallâhu’alam

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, Aktif Di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 26 Juni 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter