Masyarakat Enggan Perkarakan Perdata di Pengadilan

[www.uinsgd.ac.id] Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN SGD Bandung Prof Dr H Oyo Sunaryo Mukhlas memposisikan para dosen dan mahasiswa sebagai ujung tombak dalam memperluas kajian hukum, sehingga mereka mampu megoptimalkan peran fakultas yang belum maksimal memberikan kontribusi dalam upaya reformasi peradilan.

“Reformasi peradilan adalah ruh FSH, namun peran dan kontribusi kita masih belum optimal. Karenanya kita agendakan kuliah umum sebagai media untuk mempertajam peran FSH dalam  upaya reformasi peradilan ini,” kata Prof Oyo, saat membuka Kuliah Umum FSH, Rabu  (10/09/2014). Hadir dalam kesempatan itu Wakil Dekan (Wadek) I Dr HA Hasan Ridwan, M.Ag; Wadek III Drs Ah Fathoni, M.Ag,  serta para ketua dan sekretaris jurusan.

Kuliah umum yang diikuti 500 orang mahasiswa ini bertemakan “Reformasi Peradilan dan Problematika Penegakan Hukum di Indonesia”, menghadirkan narasumber Penggiat Pembaruan Hukum dan Peradilan Binziad Kadafi SH, LLM. “Saya berharap, kuliah umum ini menjadi wahana penting dalam penguatan keilmuan di FHS, sehingga mahasiswa dan dosen FSH mampu memperluas kajian hukum, baik yang terkait dengan hukum normatif maupun empirik yang selalu menjadi fenomena di masyarakat,” katanya.

Sementara, di hadapan mahasiswa Binziad Kadafi SH, LLM  mengharapkan Presiden terpilih Joko Widodo (setelah resmi menjadi Presiden) mau mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi di lembaga peradilan, demi terjaminnya independensi dan akuntabilitas peradilan, didukung dengan pejabatnya yang kompeten, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk birokrasinya yang berorientasi pembaruan dan mampu melayani masyarakat.

“Karena maraknya pemberitaan tentang mafia hukum dan korupsi di sistem peradilan, maka masyarakat menjadi enggan menyelesaikan perkara perdata ke pengadilan. Diperparah dengan pandangan negatif bahwa berperkara di pengadilan itu lama dan mahal,” ujar Kadafi, didampingi mederator Dr Deni K Yusuf, M.Ag (Ketua PKSHK FSH).

Jumlah perkara perdata gugatan yang masuk ke 400 pengadilan umum  pada 2013 hanya 17.258 perkara. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah  pada 2014 yang mencapai 56,5 juta. Gugatan perdata yang ditangani pengadilan umum hanya 0,03 persen, angka yang teramat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2010 yang mencapai 237.641.326 orang. “Jadi gugatan perdata di pengadilan umum hanya diajukan oleh 0,007 persen penduduk Indonesia,” tambah Kadafi.

Menurut Kadafi, gugatan perdatalah interaksi antara masyarakat dengan sistem hukum dan lembaga peradilan. Mereka membawa masalahnya secara sukarela untuk diselesaikan di pengadilan, berbeda dengan perkara pidana yang mengharuskan mereka berurusan dengan hukum, karena berhadapan dengan upaya paksa aparat penegak hukum, atau perkara yang terkait administrasi perizinan yang diwajibkan oleh negara. “Padaha di perkara perdata pengadilan bisa memasuki wilayah privat untuk memberi keadilan, bahkan punya kontribusi besar bagi perbaikan ekonomi negara, iklim usaha,  dan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.

Karena persepsinya negatif terhadap lembaga peradilan, maka masyarakat enggan menyelesaikan perkara di pengadilan. Mereka membiarakan sengketa berakhir dengan sendirinya, tanpa penyelesaian, karena menganggap sudah menjadi risiko bisnis atau cobaan dari Tuhan.  Sekalipun para pengusaha kecil bisa memenangkan perkara, putusannya sulit dilaksanakan karena mahal, berbelit dan tidak jarang harus melibatkan keringat dan darah. Akhirnya keputusan pengadilan hanya jadi lembaran kertas, tidak menjadi jalan keluar bagi pemulihan hak yang terampas. [Nank]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter