Manusia Indonesia

Bagi bangsa Indonesia, Mei adalah bulan dimana kesadaran tentang pentingnya pembangunan manusia diletakkan. 1 Mei diperingati sebagai hari buruh, 2 Mei hari pendidikan dan 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional. 

Pekerja, pendidikan dan kebangkitan nasional hakikatnya memiliki benang merah. Ketiganya terhubungkan, tak boleh dipisahkan dan menjadi prasyarat satu sama lain. Pembangunan pendidikan yang berkualitas akan melahirkan pekerja yang inovatif, kreatif dan produktif. Secara sosiologis, akan melahirkan manusia Indonesia seutuhnya, kehidupan ekonominya cukup, dan tentunya akan mendorong kebangkitan dan kemajuan bangsa.

Hanya saja, walaupun sudah berlangsung lama, kecuali hari buruh yang baru dikenal belakangan ini, peringatannya masih sekadar ritual tahunan. Kesadaran historisnya sudah tercipta, namun masih berupa “fosil peristiwa” tanpa makna. Belum menjadi ruh pembangunan, dengan meletakkan pendidikan dan kesejahteraan pekerja di berbagai profesi sebagai fokus utama.  

Bilapun sudah ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, namun program yang dilakukannya masih belum membumi. Baru sebatas jargon revolusi mental yang hingga kini belum jelas dipahami dan terasa dalam implementasi program pemerintahan Jokowi-JK.  

Pendidikan nasional merupakan ujung tombak pembangunan manusia Indonesia. Tujuannya untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang diharapkan lahir dari proses pendidikan adalah individu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mandiri, bertanggungjawab pada masyarakat dan bangsa.

Proses pendidikan nasional sudah berlangsung hampir 70 tahun. Sementara outputnya masih jauh dari tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang Undang Pendidikan Nasional. Bahkan Mochtar Lubis menyebut bahwa manusia Indonesia itu hipokrit, tidak bertanggungjawab, berjiwa feodal, percaya takhayul dan berkarakter lemah. Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ricardi S Adnan mengidentifikasi manusia Indonesia itu menyenangi budaya instan, aji mumpung, konsumtif, komentator ulung, minim inovasi dan cenderung tidak komprehensif.

Tentu saja, tujuan dan hasil bisa berbeda ibarat bumi dengan langit karena banyak sebabmusababnya. Bangunan sekolahnya masih ada yang mirip kandang ayam, kesejahteraan gurunya masih banyak yang memprihatinkan, kompetensinya rendah dan  lulusnya pun berkat “hasil oknum guru yang bekerjasama meluluskan 100 persen, bukan jujur 100 persen”. Memang kini sudah ada program sertifikasi yang meningkatkan daya beli, namun belum berbanding lurus dengan kualitas pengajaran.

Apa yang disampaikan Mochtar Lubis dan Ricardi S Adnan itu sebagai refleksi dan kritik ke dalam, agar bangsa ini menyadari kekurangan dan bergegas bangkit. Optimisme dan percaya  diri harus dijaga, karena itu modal utama untuk mengakselerasi capaian kesejahteraan yang dicita-citakan bersama.

Di tengah kegetiran melihat kondisi bangsa, angin segar harapan terhembus. Anak muda Indonesia memiliki keunggulan dari sisi inovasi. Dalam Global Competitive Index tahun 2014, Indonesia menempati peringkat 34, naik dari posisi 38 di tahun 2013. Menariknya, untuk kategori inovasi, menempati posisi ke 30. Inovasi lahir dari kalangan industri dan anak muda kreatif.  Komunitasnya yang mengglobal, berada di jagat online, jaringan dan pasarnya mendunia, namun tetap memelihara identitas Indonesia. Anak muda yang seperti ini lah menjadi kekuatan untuk percepatan transformasi Indonesia.

Pendidikan Integratif-Holistik
Manusia Indonesia berkualitas dan berkarakter itu terbangun melalui proses pendidikan integratif-holistik. Pendidikan yang tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah dan lingkungan masyarakat. Negara harusnya mengintervensi seluruh proses pendidikan itu agar berjalan dengan baik. Dengan demikian, pembangunan keluarga, pendidikan dan sosial harus sinergis dan negara jangan pernah absen sekalipun. 

Rumah, sekolah dan lingkungan harus dibangun dengan dukungan negara agar menjadi tempat terjadinya proses pendidikan yang berkualitas. Bagaimana mungkin pendidikan berlangsung dengan baik bila rumahnya sangat sempit dan jauh dari standar sehat. Dengan demikian, negara wajib menyediakan rumah murah dan sehat. 

Di sekolah, waktu belajarnya hanya tiga jam, karena sekolah dan kelas lain sudah menunggu giliran menggunakan ruang kelas tersebut. Bangunlah gedung sekolah yang layak, sehingga tak ada lagi dua atau tiga sekolah menempati gedung yang sama.
Bila di lingkungan sosial tidak ada arena bermain bersama, antar tetangga terkesan individualis dan fasilitas internetnya tidak tersedia gratis, apakah akan tercipta pendidikan yang berkualitas?  Negara wajib menyediakan fasilitas umum agar ada tempat interaksi yang nyaman bagi masyarakat.

Memulai pembangunan manusia Indonesia dari keluarga menjadi mustahil, karena orang tua sibuk, harus bekerja keras memenuhi kebutuhan ekonomi. Kewajiban orang tua sepenuhnya untuk memberikan pendidikan terbaik, bukan sekedar sekolah terbaik. Keteladanan orang tua menjadi kuncinya mengingat tantangan pendidikan saat ini jauh lebih kompleks.

Hanya saja, ketika pekerja Indonesia diupahi murah, maka tengah terjadi pemiskinan keluarga dan mencerabut basis dasar pendidikan anak Indonesia. Bilamana negara gagal menjamin keluarga untuk sejahtera, maka pincanglah salah satu pilar pendidikannya.
Estapet pembangunan manusia Indonesia selanjutnya ada di sekolah. Lembaga pendidikan kedua itu akan menjadi tempat bagi tumbuhnya manusia Indonesia berkarakter. Ada delapan belas butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, memiliki rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggungjawab.

Tempat ketiga dari pembangunan manusia Indonesia dilakukan di lingkungan masyarakat. Tetangga dan teman dapat menjadi tempat belajar. Bagi komunitas Muslim, masjid adalah tempat bersosialisasi dan belajar. Menunaikan ibadah shalat berjamaah dan mengikuti pendidikan agama akan menjadi media pembelajaran bagi anak dan orang tua.

Media massa seperti internet dan televisi adalah orang tua ideologis yang mana anak mendapatkan beragam pengetahuan. Bila televisi dan internet berisi informasi sampah, maka yang akan tumbuh adalah masyarakat sakit. Bila televisinya memberikan edukasi, mendorong inovasi dan menghargai prestasi, akan tumbuh masyarakat sehat.

Kita tentu berharap, manusia Indonesia seutuhnya dapat tercipta dari proses pembangunan pendidikan yang melibatkan keluarga, lembaga pendidikan formal dan lingkungan, dimana negara ada dan mengintervensi. Indonesia gemah ripah lohjinawi tak lagi mimpi. Wallaahu’alam.

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation-Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 4 Mei 2015.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *