Mahasiswa Kritisi terhadap Persoalan Bangsa

[www.uinsgd.ac.id] Budayawan Sunda yang juga Bupati Purwakarta, H. Dedi Mulyadi, SH mengajak mahasiswa untuk ikut mengkritisi persoalan bangsa yang saat ini sedang hangatnya menggelar proses demokrasi Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Pernyataannya ini diungkapkan saat Kang Dedi sapaan akrabnya mengisi Orasi Budaya Dewan mahasiswa (DEMA) UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam tajuk DEMA On The Month 2014, rabu (23/04) pagi.

Kang Dedi menilai Indonesia yang menganut sistem demokrasi tak serta merta menjalankan proses demokrasi itu secara konstitusional, malah yang nampak adalah sistem Feodal. Letak feodalisme nya ketika seluruh masyarakat indonesia menaruh perhatiannya pada proses pemilihan presiden, sehingga yang ada ketergantungan pada sosok seorang presiden dan kebijakan-kebijakannya.

Padahal menurut Kang Dedi, demokrasi bukan pada sosok presiden dan kebijakannya. Demokrasi harus dapat dipahami sebagai kesadaran bersama untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dengan melahirkan berbagai konstitusi, perundang-undangan yang mengatur seluruh hiruk pikuk kehidupan warga negara, “saya ingin mengajak anda semua, menekan para anggota parlemen yang baru terpilih, untuk membuat berbagai konstitusi bagi kepentingan rakyat banyak. Tidak masalah mau siapapun presidennya, jika berbagai aturan kehidupan ini disusun dengan baik” tegas kang dedi berapi-api.

Jadi menurut kang dedi, jika konstitusi yang mengatur persoalan kesejahteraan warga sudah dibuat secara matang, maka nanti presiden dan siapapun yang memimpin negara ini akan jatuh dan berhenti oleh karena ada infrastruktur jalan publik yang  rusak tidak diperbaiki, “presiden bisa saja jatuh dan diberhentikan karena ada warga miskin sakit, tidak diobati dan dibiarkan oleh negara. itulah orientasi kebangsaan yang harus dilakukan para mahasiswa” tambahnya.

Orasi budaya kang dedi juga mengajak mahasiswa untuk berkontemplasi dengan suguhan karya ilmiahnya berupa lagu-lagu yang diciptakannya. Sontak ini membuat para mahasiswa dan audiens yang hadir hanyut dalam penghayatan syair lagu yang dimainkan grup musik emka9 asuhannya sendiri. Sebagai lagu pembuka kang dedi membedah “Karya ilmiah”nya dengan judul Indung (ibu-red).

Menurut kang dedi pada konteks persoalan budaya kekinian, masih saja ada dikotomi antara pemahaman budaya, pemahaman agama (islam-red), dan pemahaman kenegaraan. Seolah-olah berbicara budaya bukan berbicara islam dan bukan pula berbicara persoalan bangsa, “maka munculan sebutan budayawan, tokoh ulama dan negarawan. Padahal semuanya berbicara nilai universal islam. Bukan kah islam itu rahmatan lil alamin yang diterjemahkan dalam bentuk kebudayaan hidup dan pengaturan dalam sebuah wadah negara?” tambah kang dedi setengah bertanya.

Maka menurut kang dedi, sunda sebagai bagian budaya yang menempati tanah indonesia ini, memiliki garis lurus dengan nilai-nilai universal islam. ajaran sunda yang menyebut nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah, nganteur kanu sieun, nyaangan ka nu poekeun, welasan asihan deudeuhan adalah sepenggal kalimat bahasa sunda yang mengajarkan saling tolong menolong yang sama artinya dengan islam sebagai rahmatan lil alamin, “jadi tidak ada pertentangan antara sunda dengan islam sebenarnya” jelas kang dedi.

Untuk itu, perlu pendalaman lebih lanjut terkait budaya (sunda-red) dengan islam ini. Dia mencontohkan tokoh intelektual Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang mempertemukan nilai keislaman, kemodernan dan ke indonesiaan dalam bukunya. Cak Nur menurut kang dedi menjelaskan kepada kita nilai universalitas islam haarus dapat dipahami sebagai persenyawaan manusia hakikatnya sebagai makhluk spiritual dengan lingkungannya.

Persenyawaan itu menurut dia membentuk apa yang kemudian lahir kebudayaan hidup, dimana manusia sebagai makhluk spiritual dipengaruhi oleh empat unsur lingkungan, air, tanah, udara dan matahari sebagai basis penciptaannya. Keempat unsur itu mengikat manusia menjadi makhluk sosial, “dia hidup atas pertimbangan lingkungannya, udaranya, tanahnya dan orang-orang disekelilingnya. Disana maka tumbuh sistem sosial, norma yang berkembang membentuk satu kesatuan kebudayaan” jelasnya.

Jadi, kita harus bangga hidup sebagai orang sunda. Bangga menggunakan ikat kepala dan pakaian pangsi, karena dengan itu kita sudah bersenyawa dengan alam sunda ini. Disitulah makna nasionalisme kita sebagai orang indonesia sebenarnya. Demikian pula, beragama yang kita lakukan harus garis lurus dengan kebudayaan sunda yang kita lakukan.

Jangan sampai, agama dipahami sebagai bentuk ritualitas ibadah saja, “pergi dari mesjid ke mesjid untuk beritikaf. Padahal bukan kah alam semesta ini mesjid yang besar yang diciptakan Allah agar kita beri’tikaf dan mengabdi kepadanya. Kita dituntut mengabdi dengan menjaga alam (mesjid-red) ini, menjaga air sungainya, gunung-gunung dan hutan-hutannya” pungkas kang Dedi.

Dibagian lain kang dedi menjelaskan berbagai pemikirannya diatas dengan kepemimpinannya di purwakarta. Dimana dirinya banyak mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan menjaga keseimbangan alam. Seperti halnya melarang penjualan tanah persawahan untuk kepentingan konsumtif, tidak mengeluarkan izin perumahan dan industri yang mengambil lahan pertanian, melarang siswa jajan di sekolah dan berbagai kebijakan lainnya.

Orasi budaya yang dibawakan kang dedi dengan suguhan karya ilmiahnya berupa lagu ini mendapatkan apresiasi dari audiens yang hadir dan pihak rektorat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Sebelumnya, acara juga diisi dengan penandatanganan MoU antara pemkab purwakarta dengan UIN SGD Bandung . []

Media Indonesia, 24 April 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter