(UINSGD.AC.ID)-Semenjak awal, Islam datang dengan membawa misi rahmat. Misi ini tercermin dengan jelas dalam setiap pesan yang dimuat dalam Alquran. Ayat yang sangat populer mengenai misi ini adalah firman Allah SWT. yang menyatakan bahwa misi utama Nabi Muhammad sebagai rasul adalah membawa pesan rahmat ini.
Kata “rahmat” yang dipilih oleh ayat ini harus dipahami bukan saja bahwa Islam menawarkan jalan keselamatan bagi pemeluknya dan membawa pesan-pesan damai serta kasih sayang, tetapi juga harus dipahami bahwa agama ini tidak menginginkan pemeluknya dibuat susah ketika menjalankan titah-titah ajarannya.
Itu sebabnya, Islam mendeklarasikan diri sebagai agama bermazhabkan pertengahan (tawassuth), sebuah mazhab dalam posisi tidak berada di dua ekstrim yang berseberangan, sebuah mazhab yang menggaransi pemeluknya dapat menjalankan ajaran-ajarannya dengan mudah dan tidak dibebani dengan beban di luar batas kemampuannya.
Tengoklah beberapa pesan ayat Alquran berikut ini: “Allah menghendaki kemudahan, bukan kesukaran bagimu.” (Q.S. 2:185),
“Dan tidak sekali-kali Tuhan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S. 22:78), “Dan tak kami turunkan Alquran ini untuk membuatmu susah.”
(Q.S. 20:2)
“Sungguh agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan.” (H.R. Al-Bukhari)
“Aku diutus dengan membawa agama yang hanif lagi lapang.” (H.R. Ahmad).
“Sebaik-baik urusan agama kalian adalah yang paling mudah, sungguh sebaik-baik urusan agama kalian adalah yang paling mudah.” (H.R. Ahmad), begitu pesan Nabi dalam sabda-sabdanya.
Dengan landasan pesan-pesan luhur di atas, para ulama Ushul Fikih pun lalu merumuskan formula-formula yang menjadi landasan dalam beragama, misalnya ada kaidah yang berbunyi, “Kondisi darurat (baca: sangat terpaksa secara syar`i) melegalkan hal-hal yang terlarang”, “Kesulitan itu menarik kemudahan”, “Sesuatu itu bila terasa sempit, maka hukumnya jadi longgar”, dan “Sesuatu yang sulit dihindari, maka hal itu dimaafkan.”
Argumentasi kemudahan Islam lainnya adalah ketentuan adanya rukhshah (kelonggaran) tatkala seseorang tidak dapat menjalankan ritual-ritual tertentu secara normal, misalnya tatkala sakit atau sedang dalam perjalanan, seseorang dapat meninggalkan puasa di bulan Ramadhan.
Kemudahan beragama tidak saja menyangkut fikih, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan lainnya, misalnya persoalan akidah (keyakinan). Di antara bentuk kemudahan ini adalah argumentasi-argumentasi Akidah Islam dibangun di atas landasan-landasan argumentasi yang mudah dipahami dan diterima akal hatta oleh orang awam sekalipun.
Argumentasi-argumentasi di atas dikemukan di sini—selagi lagi—untuk meneguhkan kembali bahwa beragama itu pada dasarnya menjemput kemudahan, bukan mempersulit diri dan apalagi menjatuhkan diri kepada kesulitan/kebinasaan. Itulah logika yang harus dipahami dalam menjalankan agama Islam.
Beragama di Masa Pandemi
Pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, logika beragama sebagaimana dikemukakan di atas perlu dihadirkan secara seksama. Tujuannya bukan saja menampilkan karakteristik ajaran Islam, tetapi juga untuk memberikan rambu-rambu yang harus diacu seorang muslim ketika dihadapkan pada kondisi darurat.
Apalagi jika kondisi darurat ini menyebabkan peluang-peluang bahaya baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kondisi darurat adalah suatu kondisi yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menjalankan agama secara normal. Atas kondisi seperti ini, Islam memberikan rambu-rambu agar ia tidak keluar dari koridor cara beragama yang lurus.
Logika beragama yang perlu dibangun di atas asas kemudahan beragama dapat menyangkut akidah maupun fikih. Sebenarnya, narasi-narasi tentang logika ini sudah sangat baik disampaikan oleh para pemuka agama di negeri ini.
Misalnya, narasi untuk membangun keyakinan bahwa Covid-19 ini jangan hanya dilihat dari sisi negatifnya, tetapi juga dari sisi positifnya. Rangkaian logikanya kira-kira begini: Allah itu Maha Penyayang.
Di antara bentuk kasih sayang-Nya adalah tidak membiarkan hamba-Nya dalam kelalaian terhadap nikmat. Allah lalu menurunkan virus ini agar sang hamba kembali ke jalan yang lurus. Atau, menurunkan virus adalah cara Allah menguji kualitas keimanan seseorang, yang dengannya Allah lalu meninggikan derajatnya, atau menghapuskan kesalahan-kesalahan-Nya.
Sebagaimana dalam menyangkut akidah, logika-logika yang sama harus dibangun untuk menjelaskan persoalan fikih. Apalagi persoalan ini merupakan sesuatu yang tidak jarang memantik perdebatan.
Logika yang perlu dibangun kira-kira begini: Allah itu Maha Penyayang. Dia tidak mungkin membiarkan hamba-Nya merasa sulit apalagi di masa darurat. Bahkan, Dia melarang hamba-Nya menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan. Maka, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Dia memberikan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan ritual-ritual.
Di masa darurat pandemi Covid-19 ini, sejatinya siapa pun menjalankan agama ini dengan tetap menggunakan logika yang dibangun di atas argumentasi-argumentasi kuat dan tentu juga berlandaskan ilmu, bukan hanya sekedar semangat menjalankan agama. Dengan begitu, siapapun dapat menjalankan agama dengan benar. (Mari hindari Covid-19 dengan melaksanakan 5M+D).***
Prof Dr H Rosihon Anwar, M. Ag, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.