Legislasi, Implementasi, dan Kontribusi Hukum Perwakafan dalam Pembangunan Keagamaan dan Kesejahteraan di Indonesia

Wakaf (waqf) merupakan salah satu institusi sosial dalam komunitas Muslim. Secara kelembagaan, ia berupa norma-norma yang berfungsi mengontrol perilaku individu sebagai anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan komunitas Muslim secara keseluruhan, baik dalam urusan keagamaan, sosial, ekonomi, atau politik.

Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan wakaf merupakan bagian integral dari ketentuan-ketentuan. Ketentuan-ketentuan tentang wakaf merupakan bagian integral dari syarÄ«’ah. Al-Qur’an tidak memberikan rujukan khusus tentang wakaf, dan sunnah hanya menempatkannya dalam katagori anjuran, sehingga parameter hukum implementasinya dikembangkan selama berabad-abad oleh para ahli hukum Muslim (fuqahā`).

Fleksibilitas norma wakaf telah menjadikannya yang sangat responsif dalam mengatasi persoalan keagamaan, ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi komunitas Muslim. Fakta sejarah membuktikan bahwa wakaf telah melahirkan “masyarakat madani” (civil society); sektor ketiga yang relatif otonom dan tidak bergantung pada sektor publik atau  sektor swasta, tetapi bekerjasama secara sinergis dalam memajukan peradaban Islam.

Wakaf menunjukkan dinamika. Selama satu abad, dari abad ke-19 hingga abad ke-20, institusi wakaf mengalami kemunduran. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh kolonialisasi, tetapi juga nasionalisasi. Sebagian besar negara Muslim, termasuk Indonesia, memperoleh kemerdekaan (politik) setelah Perang Dunia II. Sekalipun berpenduduk mayoritas Islam, namun tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi. Sebagai negara-bangsa, pelaksanaan negara didasarkan pada faham negara-hukum (the rule of law) dan negara-kesejahteraan (welfare state). Hingga pertengahan abad ke-20, karena berbagai faktor, janji supremasi hukum dan kesejahteraan belum dapat diimplementasikan secara penuh. Pada paruh terakhir abad ke-20, sejalan dengan akhir Perang Dingin, faham Islamisme semakin kuat. Jika paruh pertama abad ke-20 difahami sebagai era “nasionalisasi Islam”, maka paruh akhir dianggap sebagai “islamisasi bangsa”. Dalam konteks sosial politik ini, legislasi atas institusi wakaf dilakukan.

Dengan latar belakang itu, maka masalah disertasi ini adalah masalah legislasi dan implementasi hukum perwakafan di Indonesia.  Masalah tersebut tidak dapat difahami hanya dengan perspektif legal positivism atau kajian sosiologis dan historis semata, tetapi membutuhkan perspektif yang menjelaskan ragam hubungan normative order dalam komunitas Muslim, termasuk antar dan inter legal order dan social order. Dalam perspektif sociolegal theory, dikenal konsep living law, lawyer’s law, dan state law. Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan wakaf terjadi dalam ranah “hukum yang hidup”, bukan pada ranah “hukum-negara”. Dengan cara ini, wakaf telah melahirkan masyarakat-sipil. Dengan demikian, legislasi wakaf dalam bentuk perundang-undangan dapat dipandang sebagai legislasi yang “terburu-buru”. Keberadaannya lebih banyak didorong oleh tuntutan politik daripada dukungan kesadaran sosial akan makna wakaf bagi kemajuan bangsa.

Kategori-hukum dalam teori fiqh menempatkan hukum perwakafan pada kategori sunnah, sehingga terletak pada entitas moral, bukan legal, sehingga tidak membutuhkan “unsur paksaan” yang menjadi otoritas negara. Oleh sebab itu, penanganan sengketa wakaf menjadi kasus yang sangat langka. Kalaupun legislasi harus dilakukan, maka legislasi bukan pada primer rule  (substanstive law), melainkan pada secondary rule (procedural law). Dalam arti ini, maka legislasi lebih ditujukan pada pengelolaan wakaf, bukan substansi wakaf.

Kalaupun Undang-undang Nomor 41 Tahun 2006 tentang Wakaf di-“tafsir”-kan sebagai undang-undang pengelolaan wakaf, maka implementasinya harus memenuhi beberapa faktor kritis dalam penegakan hukum. Selain mengelaborasi beberapa persoalan fiqh, juga produk hukumnya harus memenuhi syarat: sistematika perangkat hukum, kewibawaan penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat, serta struktur birokrasi penegakan undang-undang pengelolaan wakaf. Tanpa prakondisi-prakondisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa legislasi hukum perwakafan yang lebih menekankan pola top-down, tanpa pertumbuhan kesadaran masyarakat yang lebih bottom up, sulit dijadikan sebagai sarana untuk melakukan akselerasi pembanguan ekonomi umat. Konsekuensi logisnya adalah kesulitan implementasi hukum perwakafan tadi.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *