Kriteria Hewan Qurban

A. Pengantar

Qurban adalah penyembelihan hewan (unta, kerbau, sapi, domba, atau kambing) yang dilaksanakan pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyrîq (tiga hari sesudahnya) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hukum melakukannya adalah sunah mu’akkad menurut ulama pada umumnya; sedangkan menurut Abu Hanifah, wajib hukumnya bagi yang mampu melaksanakannya.

Dalam melakukan infaq, shadaqah, atau qurban, umat Islam berpegang teguh pada firman Allah yang menyatakan bahwa dalam melakukan kebajikan, umat Islam dituntut untuk melakukannya dengan sebaik mungkin (QS. Ali Imran (3): 92)

Tulisan ini disusun atas dasar dua latar belakang: pertama, dalam dunia peternakan terdapat teknologi yang berhubungan dengan perlakuan terhadap hewan ternak. Di antaranya adalah kastrasi, cap bakar, “ear-tag”, dan tendok. Hal ini menarik didiskusikan karena sebagaian ulama di Indonesia menolak hewan yang diperlakukan dengan teknologi “ear-tag” untuk dijadikan hewan qurban, karena telinganya bolong dan dipandang telah cacat (al-`ayb); dan kedua, di salah satu masjid besar di Bandung terdapat kasus yang cukup menarik, yaitu sapi yang hendak disembelih untuk dijadikan hewan qurban tergelincir kakinya hingga pincang ketika diturunkan dari truk. Karena dipandang cacat, sapi tersebut kemudian dikembalikan kepada penjualnya untuk diganti dengan hewan yang baru. Dua latar belakang ini melahirkan pertanyaan: bagaimana gambaran (kriteria) hewan yang layak dijadikan hewan qurban dalam sunah dan ijtihad pakar fikih? Hal inilah yang dibahas dalam tulisan ini.

B. Perlakuan terhadap Hewan Ternak

Dalam bidang peternakan, perlakuan cap bakar atau ‘ear-tag’ sudah umum dilakukan. Cap bakar dimaksudkan antara lain untuk memudahkan dalam melakukan identifikasi ternak sehingga pihak pengelola tidak kesulitan dalam melakukan pemilihan dan pemilahan hewan ternak; baik untuk kepentingan kontrol pertumbuhannya maupun untuk kepentingan kontrol jumlahnya. Cara ini sangat membantu pihak pengelola ternak dalam rangka menunjang peningkatan produksi ternak. Dalam bahasa keseharian, cap bakar pada ternak dapat dilihat di pasar-pasar hewan (terutama sapi dan kerbau) yang di punggung bagian belakang di dekat ekornya terdapat nomor sapi yang bersangkutan. Tendok adalah pembolongan hidung (cungur) hewan untuk dimasuki tambang agar hewan mudah dikendalikan; dan ‘ear-tag’ adalah telinga hewan dibolongi untuk diberi nomor. Sedangkan kastrasi adalah pengalihan kekuatan sex hewan: dari kekuatan untuk melakukan hubungan seksual menjadi kekuatan untuk mengerahkan percepatan pertumbuhan badan dengan menghilangkan salah satu anggota tubuh hewan yang bersangkutan. Dalam bahasa keseharian, kastrasi lebih dikenal dengan istilah “kebiri.”

Perlakuan terhadap hewan tersebut memiliki tujuan yang relatif berbeda. Tujuan penendokkan hewan ternak adalah agar hewan ternak dapat dikendalikan dengan mudah; sedangkan tujuan cap bakar dan ‘ear-tag’ adalah untuk memudahkan dalam identifikasi, pemilihan dan pemilahan hewan ternak. Sedangkan tujuan kastrasi adalah agar hewan cepat pertumbuhan badannya. Ternak yang diperlakukan dengan cara-cara tersebut dianggap tidak sempurna lagi atau cacat, sehingga sebagian tokoh agama menganggap bahwa hewan yang diberi perlakuan seperti itu tidak layak untuk dijadikan qurban.

C. Gambaran Hewan Qurban dalam Hadits

Dalam rangka mendapatkan gambaran (deskripsi) hewan qurban yang diperlukan dalam pembahasan ini, Imam al-Turmudzi dalam kitab Sunan al-Turmudzî atau al-Jâmi` al-Shahîh, meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan ibadah qurban dengan menyembelih kambing yang bertanduk (aqran) dan bulunya lebih banyak yang berwarna putihnya dari pada yang berwarna hitamnya (fahîl). Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. berqurban dengan kibasy yang gemuk (samîn) dan memiliki nilai ekonomi atau berharga (tsamîn). Dari segi usia hewan, Nabi Muhammad Saw. membolehkan berqurban dengan hewan musinat (kambing yang berumur antara 2 dan 3 tahun) dan jadza’at (kambing yang berumur antara 4 dan 5 tahun).

Dengan demikian, gambaran hewan yang dianjurkan dalam melakukan ibadah qurban adalah gemuk, berharga, bertanduk, bulunya berwarna putih, umurnya antara 2 sampai 5 tahun.

Di samping gambaran positif tentang hewan yang layak dijadikan hewan qurban, terdapat gambaran hewan yang tidak layak untuk dijadikan hewan qurban dalam hadits. Dalam riwayat Imam al-Turmudzi dikatakan bahwa Nabi Saw. melarang umat Islam melakukan ibadah qurban dengan hewan yang pincang sehingga terlihat tulangnya (al-arjâ’); matanya rusak secara jelas (al-`awrâ’); sakit yang tampak sakitnya (al-marîdhat); dan hewan yang kurus yang tidak bergajih lagi (al-ajfâ’). Masih dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. melarang melakukan ibadah qurban dengan hewan yang al-muqâbalat (hewan yang digunting kupingnya sebelah depan); al-mudâbarat (hewan yang digunting telinga sebelah belakang) al-syarqa’ (hewan yang kupingnya belah); dan al-kharqa’ (hewan yang gigi bagian depannya ompong).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang isinya hampir semakna dengan hadits dia ats, dikatakan bahwa Rasul Allah Saw. melarang umat Islam berqurban dengan hewan yang al-mushfirrat (hewan yang rusak teilnganya sehingga tampak bagian kulit dalamnya); al-musta’ashalat (hewan yang tanduknya bergeser dari tempatnya); al-bahqa’ (hewan yang matanya buta sebelah); al-musyayya’at (hewan yang tidak laku dijual karena kurus dan lemah); dan al-kasra’ (hewan yang sudah tua). Hadits di atas memberikan gambaran tentang hewan yang tidak layak dijadikan hewan qurban adalah hewan yang cacat yang rincian kecacatan tersebut adalah kakinya pincang; matanya rusak; matanya buta sebelah atau picek; sakit; kurus yang tidak bergajih lagi; kupingnya rusak bagian depan dan belakangnya, atau belah; kupingnya belah; sudah terlalu tua; tidak laku karena kurus dan lemah; ompong gigi depannya; tanduk dan telinganya hilang setengahnya; dan tanduknya bergeser dari tempatnya.

Berdasarkan gambaran Rasul Allah Saw. tentang hewan yang layak dan tidak layak untuk dijadikan hewan qurban yang terdapat dalam hadits, kita belum mendapatkan informasi tentang perintah dan cegahan tersebut. Apakah ciri-ciri hewan yang layak dijadikan qurban itu dipandang sebagai syarat sah; dan ciri-ciri hewan yang cacat juga dianggap sebagai cegahan yang menunjukkan ketidakabsahan qurban? Hal inilah yang perlu dikaji dengan cara memperhatikan pandangan pakar fikih (ulama) tentang gambaran hewan qurban dalam hadits.

D. Pandangan Pakar Fiqih

Wahbah al-Zuhayli menginformasikan bahwa ciri-ciri hewan qurban yang terdapat dalam hadits menunjukkan tiga gambaran: sunah (mustahabat), tidak cukup syarat atau batal (mâni` al-ijza’), dan makruh (dibolehkan tapi dibenci atau kurang disukai). Tampaknya, mustahabat yang dimaksud dalam penjelasan Wahbah al-Zuhayli adalah keutamaan (afdhaliyyat).

Sifat-sifat hewan qurban yang merupakan keutamaan yang digambarkan dalam hadits adalah hewan yang lengkap tanduknya (aqran), berwarna putih (abyadh), dan jantan (fahl). Alasannya hadits dari Aisyah dan Abu Hurayrah tentang Nabi Saw. yang melakukan qurban dengan hewan (kibasy) yang bertanduk dan jantan.

Sifat-sifat hewan yang tidak mencukupi syarat (tidak sah) untuk dijadikan hewan qurban diikhtilafkan oleh ulama dalam berbagai aliran. Wahbah al-Zuhayli menginformasikan pandangan ulama tentang sifat-sifat hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban dalam berbagai aliran fikih, yaitu aliran Hanafiah, Malikiah, Syafi`iah, dan Hanbaliah.

Ulama Hanafiah berpendapat bahwa ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban dapat dibedakan menjadi dua: pertama, ciri-ciri yang pokok, yaitu ciri-ciri yang sudah digambarkan dalam hadits; dan kedua, ciri-ciri sekunder (tambahan), yaitu ciri-ciri yang merupakan hasil analogi (qiyâs) terhadap gambaran yang terdapat dalam hadits. Ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban yang merupakan ciri-ciri pokok adalah: matanya buta sebelah, sakit, pincang, dan kurus. Sedangkan ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban yang ciri-ciri itu merupakan hasil qiyâs terhadap gambaran yang terdapat dalam hadits, dalam pandangan ulama Hanafiah, adalah: al-`umyâ’ (buta);al-hatmâ’ (gigi yang tanggal lebih banyak dari pada gigi yang tersisa); al-sakâ’ (tidak bertelinga sejak lahir); al-jadzâ’ (pecah kantung susunya sehingga air susunya mengalir terus); al-jad`â’ (jelek makannya); al-musharramat (pecah kandungan anaknya); tidak berekor; al-khuntsâ (air susunya melimpah ruah); al-jalâlat (hewan yang hanya memakan kotoran atau tinja tanpa memakan yang lain); dan sebagain besar telinga, ekor, atau cahaya matanya hilang.

Selanjutnya ulama Hanafiah mengatakan bahwa kecacatan hewan tersebut membuat batal (tidak sah) berqurban, apabila kecacatan itu terjadi ketika hewan dibeli (dengan niat untuk dijadikan hewan qurban). Sedangkan apabila kecacatan itu terjadi ketika hendak hewan disembelih (untuk dijadikan hewan qurban), padahal ia tidak cacat ketika dibeli, terdapat dua ketentuan: pertama, apabila pihak yang hendak melakukan ibadah qurban termasuk orang kaya (ghaniy), ia wajib menggantinya; dan kedua, apabila pihak yang hendak melakukan ibadah qurban termasuk bukan orang kaya (faqîr), ia dipandang cukup (sah) melakukan ibadah qurban dengan hewan yang cacat tersebut.

Ciri-ciri hewan yang dibolehkan untuk dijadikan hewan qurban tetapi kurang disukai (makruh), dalam pandangan ulama Hanafiah, adalah al-jammâ’ (tidak bertanduk sejak kecil); al-khashiy (dikebiri atau kastrasi); al-jarbâ’ (kudis di kulit); al-tsawlâ’ atau al-majnûnat (gila tapi terkendali atau terpelihara); al-majzûzat (dicukur bulunya untuk dimanpaatkan sebelum dijadikan hewan qurban); dan al-hawlâ’ (bermata juling).

Ulama Malikiah berpendapat bahwa ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban adalah matanya buta sebelah; pincang; sakit; kurus; buta; gila; kakinya patah; dikebiri ( dikastrasi); kudis; pikun; tidak sehat pencernaan (al-basymâ’); bisu (tidak dapat bersuara, al-bukmâ’); tuli (tidak dapat mendengar, al-sumâ’); mulutnya berbau busuk (al-bakhrâ’); telinganya kecil sekali (al-sham`â’); ekornya dipotong (al-batrâ’); tempat penyimpanan air susunya pecah sehingga air susunya mengalir terus; kehilangan sebagian besar giginya; kehilangan sepertiga ekornya atau lebih; dan kehilangan sepertiga telinganya atau lebih.

Sedangakn ciri-ciri kecacatan hewan yang boleh dijadikan hewan qurban tetapi tidak disukai (makruh), dalam pandangan ulama Malikiah, adalah domba atau hewan yang tanpa tanduk sejak lahir (al-jammâ’); tidak bisa berdiri (al-muq`adat); dan pecah tanduk, baik di pangkal maupun di ujungnya.

Ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban menurut ulama Syafi`iah adalah kurus; pincang; buta sebelah/picek; sakit seperti kudis; buta; gila; sebagian telinga atau bibirnya putus (rusak); lemah giginya; dan ekornya terputus.

Sedangkan ciri-ciri hewan yang cacat yang dibolehkan (sah) untuk dijadikan hewan qurban tetapi makruh, menurut ulama Syafi’iah adalah dikebiri; tidak bertanduk sejak lahir (pembawaan atau alami) atau tanduknya pecah tapi tidak berpengaruh pada kuantitas dan kualitas daging; kehilangan sebagian besar jumlah giginya (bila giginya hilang semua, maka qurban yang dilakukan tidak sah); dan pecah dan robek telinga atau telinganya berlubang karena tidak berpengaruh pada kuantitas dan kualitas daging.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah melakukan ibadah qurban dengan hewan yang kurus; buta sebelah; buta matanya; pecah atau belah sebagian besar telinga atau tanduknya (al-`adhibâ’); kehilangan sebagian besar ekornya; tidak bergigi lagi; telinganya dipotong; lemah karena kantung susunya berlubang; pecah atau tanggal sebagian besar giginya; dan sarung tanduknya pecah.

Ulama Hanabilah menjelaskan ciri-ciri hewan yang cacat yang boleh dijadikan hewan qurban tetapi makruh adalah dikebiri, tanpa tanduk sejak lahir (al-jammâ’), kecil telinga atau tidak bertelinga sejak lahir, tanpa ekor sejak lahir, di matanya terdapat warna putih tapi tidak mengganggu penglihatannya, dan sedang hamil.

Atas dasar pandangan pakar fikih tersebut, kiranya dapat mempermudah umat Islam dalam rangka menghindari hewan-hewan yang ciri-cirinya sudah disebutkan sebagai hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban dan hewan yang sah untuk dijadikan hewan qurban, tetapi makruh (tidak disukai).
Al-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnat, menjelaskan bahwa syarat sah hewan qurban adalah tidak cacat (al-salâmat min al-`uyûb). Oleh karena itu, ciri-ciri hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan qurban adalah sakit, buta sebelah matanya, pincang, kurus sehingga tidak memiliki sumsum, dan kehilangan sebagian besar gigi dan tanduknya. Sedangkan kecacatan yang dianalogikan dengan lima kecacatan di atas adalah kehilangan atau pecah gigi depannya, pecah atau rusak telinganya, buta, gila dan kudis yang banyak kudisnya. Selanjutnya al-Sayyid Sabiq menjelaskan pendapat Imam al-Syafi`i tentang ciri-ciri hewan yang cacat yang boleh dijadikan hewan qurban, yaitu hewan tanpa tanduk sejak kecil, ekornya dipotong, sedang hamil (mengandung), dan hewan yang sejak kecil tanpa telinga atau ekor.

E. Penutup

Dalam Alquran, hadits, dan pandangan pakar fikih tidak terdapat pembahasan secara eksplisit mengeni tendok. Oleh karena itu, hewan yang ditendok pada dasarnya layak atau sah untuk dijadikan hewan qurban, karena tidak ada dalil (dari Alquran, Sunah, maupun ijtihad) yang mempermasalahkannya. Secara tekstual, dalam hadits terdapat cegahan berqurban dengan hewan yang kuping atau telinganya digunting di sebelah depannya (al-muqâbalat) dan hewan yang telinganya digunting di sebelah belakangnya (al-mudâbarat). Oleh karena itu, qurban dengan hewan yang diperlakukan dengan teknologi ‘ear-tag’ diperdebatan oleh ulama.

Atasa dasar hadits yang melarang berqurban dengan hewan yang telinganya rusak (digunting atau dibolongi), sebaiknya pihak menejemen ternak yang memperlakukan hewan dengan teknologi ‘ear-tag’ dapat menggantinya dengan teknologi lain, umpamanya dengan menggunakan benda yang elastis yang dapat dipasangkan di leher hewan, dan nomor hewan dipasangkan pada tali tersebut.

Cap bakar tidak mendapatkan perhatian dan pembahasan yang panjang lebar dari pakar fikih. Oleh karena itu, penomoran hewan dengan cara cap bakar di punggung tidak mengganggu keabsahan hewan tersebut dalam melaksanakan ibadah qurban.

Tidak terdapat cegahan (paling tidak secara tekstual) dalam Alquran dan hadits untuk melakukan ibadah qurban dengan hewan yang dikebiri. Akan tetapi, para pakar fikih berbeda pendapat tentang keabsahan berqurban dengan hewan yang dikebiri. Ulama Hanafiah, Syafi`iah, dan Hanabilah membolehkan melakukan ibadah qurban dengan hewan yang dikebiri, tapi makruh. Oleh karena itu, terdapat kecenderungan dari ulama Hanafiah, Syafi`iah, dan Hanabilah agar umat Islam tidak melakukan ibadah qurban dengan hewan yang dikebiri, kecuali dalam keadaan terpaksa. Pendapat ulama Malikiah lebih tegas lagi, yaitu tidak sah (batal) melakukan ibadah quran dengan hewan yang dikebiri.

Masalah utama dalam kastrasi—kelihatannya—terletak pada peniadaan salah satu anggota tubuh hewan yang hendak dijadikan qurban. Oleh karena itu, apabila suatu saat ditemukan sebuah teknologi yang dapat mengalihkan fungsi sex hewan kepada pembesaran tubuh tanpa penghilangan anggota tubuhnya, adalah sangat bermanpaat bagi peternak. Cara ini—apabila dapat ditemukan—dapat memberikan jalan keluar yang rekatif positif, baik bagi peternak maupun bagi umat Islam pada umumnya. Semoga bermanfaat. Wa Allâh a`lam.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *