UINSGD.AC.ID (Humas) — Kosmopolitan merupakan satu istilah yang menunjukan paham atau gagasan seseorang sebagai warga dunia yang memandang bahwa alam semesta (kosmos) sebagai tempat domisili sehingga dapat mengabaikan batas-batas teritorial. Dengan kata lain, kosmopolitanisme merupakan pandangan terbuka yang mendunia.
Adapun dalam konteks haji, kosmopolitanisme dapat terlihat dari ikatan persaudaraan para jemaah selama melaksanakan ibadah ritual pada prosesi haji. Istilah ini berkembang menjadi kosmopolitan Islam, dipopulerkan oleh para cendekiawan muslim seperti Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur dan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kedua tokoh ini saling melengkapi pemaknaan terhadap kosmopolitanisme dengan dua pendekatan yaitu ilmu sejarah dan ilmu sosial. Dalam kaitan dengan ibadah haji kedua pendekatan ini dipandang selaras dan mengandung pelajaran berharga. Pertama, dalam pendekatan sejarah, haji dapat dipandang sebagai “napak tilas” dalam rangka meneladani manusia terdahulu yang menginspirasi kemajuan peradaban hingga saat ini.
Tokoh Nabi Ibrahim As, Ibunda Hajar dan Nabi Isma’il As merupakan tokoh-tokoh untuk menjadi suri tauladan yang menunjukkan sikap kosmopolit. Pada fase penyempurnaan ajaran, Rasulullah Muhammad Saw menunjukkan wajah Islam yang penuh dengan kasih sayang.
Sebagai contoh, di dalam sejarah nabi, peristiwa Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 Masehi antara umat Islam yang ditandatangani langsung oleh Rasulullah Saw dan kaum Quraisy diwakili oleh Suhail bin Amr. Sepintas Perjanjian Hudaibiyah dianggap oleh beberapa pihak merugikan umat Islam karena harus Kembali ke Madinah dan tidak dapat melaksanakan umrah.
Namun ternyata atas sikap sabar dan kasih sayang Rasulullah Saw ternyata pada tahun berikutnya umat Islam dengan leluasa melaksanakan umrah dan terhindar dari pertumpahan darah.
Kedua dalam pendekatan sosial, hubungan antara individu dan masyarakat dibangun secara harmonis melalui ritual yang sama melakukan rukun dan wajib haji namun semua kendali diserahkan pada individu masing-masing. Setiap individu jemaah haji atau umrah melakukan multiperan sebagai pelaku, pengawas, penuntut, pemutus perkara dan sebagainya. Jika jemaah melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan ibadah haji ataupun umrah, maka ia sendiri sebagai pelaku sekaligus polisi, jaksa, hakim, dan terpidana.
Pelanggaran yang dilakukan hanya perlu kesadaran dan kejujuran pada diri sendiri disaksikan oleh Allah SWT untuk menentukan vonis apakah membayar denda (dam) atau haji/umrahnya batal. Keshalehan sosial dalam ibadah haji dibentuk oleh keshalehan personal.
Kedua pendekatan ini merupakan penyederhanaan dari kerumitan konsep kosmopolitanisme dalam Islam pada peristiwa haji atau umrah. Pada dimensi yang lebih luas, kosmopolitanisme haji merupakan pandangan terbuka jemaah haji sebagai warga dunia yang dapat berbaur dalam bergaul dengan seluruh jemaah dari berbagai pelosok belahan dunia dengan latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya bahkan madzhab yang berbeda.
Dengan demikian, kosmopolitanisme bagi jemaah haji akan berdampak pada lahirnya sikap moderat, toleran, dan inklusif untuk membangun harmoni umat Islam dan memberikan kemanfaatan bagi umat manusia pasca haji.
“(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan) atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir”. (Q.S. Al-Hajj: 28). Wallahu a’lam.
Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.