Korupsi, Masalah Kita Bersama

Kenapa saya katakan bahwa korupsi masalah kita bersama? Alasannya, jangan-jangan kita bagian dari korupsi. Kita begitu semangat meneriakan, ganyang korupsi, sampai-sampai urat leher “rarengkeng”, tapi di waktu yang sama kita malah bagian di dalamnya. Hampir sepakat semua orang menyatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa Indonesia.

Artinya, bangsa kita telah terwabahi oleh tradisi pragmatisme ketika kekuasaan ada di pundaknya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi atau golongan dari fasilitas negara yang diamanahkan.

Kenyataan di atas merupakan fakta yang tak terbantahkan dan terus berjalan hingga saat ini, yang intensitasnya semakin kuat dan meningkat. Karena semakin kuat dan meningkat, tampaknya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa korupsi telah menjadi ideologi, yang berhasil menggeser Pancasila sebagai landasan ideal pola pandang bangsa ini.

Termasuk yang tergeser oleh ideologi korupsi adalah nilai-nilai luhur agama. Ketika korupsi telah menjadi ideologi, ia bukan lagi sebagai tradisi yang melembaga, melainkan naik tingkat menjadi kepribadian, pegangan, dan sikap hidup masyarakat, yang akan tertularkan, baik sengaja maupun tidak, ke kenegari yang akan datang.

Gejala ke arah itu, tampaknya telah tampak di kalangan bangsa kita. Korupsi telah menjadi orientasi yang merata dan menyeluruh. Di sektor pemerintahan terjadi korupsi. Di lembaga-lembaga penegak hukum terjadi korupsi. Di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terjadi korupsi. Di sektor-sektor bisnis swasta terjadi korupsi. Di lembaga pendidikan terjadi korupsi. Di lembaga-lembaga perbankan terjadi korupsi. Bahkan, tidak mustahil di lembaga keagamaan pun terjadi korupsi.

Solusi yang Keliru

Muncul sebuah tawaran alternatif bahwa memberantas korupsi harus dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan.Artinya, kesejahteraan para pemegang kebijakan publik harus ditingkatkan. Gara-gara kesejahteraan yang minim koruspi merajalela.

Tawaran semacam ini merupakan alternatif berbasis logika ketamakan. Sebab, korupsi justeru banyak dilakukan oleh mereka yang kekayaannya telah melimpah. Korupsi tidak terkait secara pararel dengan kesejahteraan, melainkan dengan mental dan sikap hidup. Sekaya apapun seorang koruptor, korupsi tetap dilakukan olehnya, sebab korupsi telah menjadi sikap dan pegangan hidupnya.

Para penyelenggara negara ini telah dimanjakan dengan berbagai jenis tunjangan pendapatan, yang nominalnya mencapai angka jutaan rupiah. Di antara tujuan pemberian tunjangan tersebut adalah agar mereka tidak melakukan korupsi, dengan mengambinghitamkan pendapatan yang minim. Namun, terbukti tunjangan-tunjangan itu tidak berhasil mengenyahkan mental korupsi dari diri mereka.

Hal ini semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa peningkatan kesejahteraan tidak memilki efek siginifikan dalam menurunkan praktik korupsi di lingkungan kerja mereka.

Menurut pandangan saya, di sektor pemerintahan, korupsi terkait dengan lima hal. Pertama, nilai spiritualitas (baca: agama) yang memudar dalam pribadi para abdi negara. Ketika seseorang sudah merasa tidak lagi diperhatikan oleh Tuhan yang Maha Menyaksikan segala tindakan manusia, sudah barang tentu hidupnya akan hilang kendali. 

Kedua, sistem birokrasi lembaga-lembaga publik yang memberikan celah dan kesempatan untuk korupsi. Di antara sistem birokrasi yang memungkinkan korupsi adalah sistem pelayanan manual yang membuka persentuhan langsung antara pihak berkepentingan dengan aparat dalam pengurusan suatu keperluan yang bersifat administratif. Oleh sebab itu, sistem komputerisasi dan pelayanan online  harus dikembangkan dan disempurnakan di setiap level pemerintahan.

Ketiga, koneksitas antara pengusaha dengan pejabat yang mengakibatkan kolusi. Melalui koneksi dan kolusi prkatik korupsi dengan mudah muncul. Oleh sebab itu, sistem tender proyek pengadaan barang—sebagai contoh—harus dibangun berdasarkan profesionalisme, akuntabilitas yang murni, dan tekad efesiensi.

Keempat, sistem perekrutan pegawai. Perekrutan pegawai yang tidak didasarkan pada pendekatan moral dan professional, melalui mekanisme yang terukur dan sistematis, akan menghasilkan porduk-produk pegawai yang tidak memiliki mental menggembirakan. Oleh sebab itu, perekrutan harus benar-benar melalui sebuah penyaringan yang sehat dan berdasarkan ukuran-ukuran kecakapan professional, mental, dan moral.

Kelima, pembinaan pegawai. Pemerintah harus mencari format yang paling rasional dan efektif untuk melakukan pembinaan pegawai. Apel pagi pada tiap tanggal tertentu harus diformat secara cermat, tepat, dan akurat, agar menghasilkan pengaruh yang baik bagi perilaku pegawai, bukan sekadar ritual formal yang tidak menyangkut pada substansi kepegawaian.

Selain itu, kegiatan-kegiatan kediklatan di lingkungan para karyawan, termasuk pejabat, jangan memberi celah untuk terjadinya tawar-menawar kelulusan sertifikat melalui imbal materi. Sebab, cara demikian merupakan pendidikan yang efektif dalam mencetak budaya oportunis bagi para pegawai.

Sumber, Pikiran Rakyat 28 April 2012

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *