Kontribusi UIN SGD Bandung dalam Menciptakan Harmoni Agama & Budaya

[www.uinsgd.ac.id] Upaya mempertahankan ketahanan nasional UIN SGD Bandung bekerja sama dengan Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) RI dengan menggelar acara Semiloka Nasional tentang “Harmoni Agama dan Budaya guna Penguatan Toleransi Kehidupan Beragama dalam rangka Ketahanan Nasional” yang diangkat dari hasi penelitian Harmoni Agama dan Budaya di Jawa Barat, Studi tentang Toleransi Kehidupan Beragama melalui Kearifan Lokal Kampung Adat yang diketuai oleh Dr. Nurrohman, Tim Peneliti UIN SGD Bandung yang diselenggarkan di Grand Royal Panghegar Hotel, Rabu (29/7).  

Hasil penelitian UIN SGD Bandung ini mendapatkan penaggap dari; Drs. Ridwan Saidi, Zainal Abidin, LC, Prof. Dr. Muhammad Baharun, Dr. Asep Salahudin, M.Si, Dr. Setia Gumilar, M.Si., yang dipandu oleh Dr. Asep A. Sahid, M.Si

Dalam sambutanya Rektor menjelaskan, agama dan budaya merupakan modal kemanusiaan (humanity capital), yang nilai-nilainya relevan dengan pengaturan aspek kehidupan manusia. “Agama dan budaya berisi sejumlah kode kehidupan yang sama-sama berguna bagi kepentingan manusia, seperti untuk membangun ketahanan bangsa dan urusan-urusan lainnya,” paparnya.

Agama Islam memiliki sejumlah materi yang harmoni dengan urusan toleransi antara umat manusia.Ada sebuah riwayat toleransi yang dapat kita baca. Jabir bin Abdullah berkata, “Suatu ketika serombongan orang yang membawa jenazah melewati kami. Lalu, Nabi berdiri dan kami pun berdiri. Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi.’ Beliau bersabda, ‘Jika kamu melihat jenazah (siapapun itu), maka berdirilah!’ (HR Bukhari)

Apa yang disabdakan Nabi dalam kisah di atas adalah untuk seorang Yahudi yang telah meninggal. “Kita bayangkan bagaimana sikap beliau terhadap orang Yahudi atau Nasrani yang masih hidup. Ini adalah salah satu kode toleransi dari ajaran Islam,” jelasnya. 

Dalam sejarah kehidupan bermasyarakat di Madinah zaman Rasulullah tidak ditemukan ada seorang Muslim yang menghina, merusak, atau mengganggu peribadatan orang nonmuslim. Mereka sangat mengindahkan firman Allah, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan selain Allah yang mereka sembah, sebab mereka nanti akan berbalik memaki Allah (secara lebih parah lagi),” (QS Al-An’am: 108).

Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) yang dibuat oleh Nabi Muhammad sebagai undang-undang Negara Madinah 1000 tahun yang lalu, yang berisi 47 pasal, pasal satunya berisi tentang pernyataan bahwa masyarakat Madinah adalah satu kesatuan. Di pasal 2 dinyatakan bahwa apabila ada musuh yang menyerang Madinah, maka semua wajib saling bahu-membahu mempertahankan Madinah, tanpa melihat apapun agamanya. 

“Piagam Madinah ini adalah doktrin ketatanegaraan Islam dalam bidang ketahanan. Artinya, menjaga ketahanan dan pertahanan bangsa merupakan kewajiban bukan pilihan, sehingga siapapun berkewajiban melakukannya dan dosa apabila mengabaikannya,” tegasnya.

Ada sebuah kisah teladan tentang toleransi yang ditunjukkan oleh Umar bin Khatab, ketika pasukannya berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M.  Penguasa Jerusalem saat itu,  Patriarch Sophorinus, menyerahkan kota secara sukarela. Tidak ada kekerasan yang terjadi dalam penaklukanini. Suatu hari, Umar dan Sophorinus sidak ke sebuah gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, Umar ditawari Sophorinus shalat di dalam gereja itu. Umar menolak dan berkata, “Jika saya shalat di dalam, nanti orang Islam akan menganggap ini milik mereka gara-gara saya pernah shalat di situ.” Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu jatuhlah beliau kemudian shalat. Umar, atas nama khalifah, kemudian menjamin bahawa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapan pun dan tetap digunakan untuk umat Nasrani Jerusalem. Kemudian, Sophorinus juga menyatakan jaminannya, “Kami tidak akan mendirikan  gereja baru di dalam kota dan pinggiran kota kami. Kami juga akan menerima para pelancong (musafir) Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam. Kami tidak akan memasang salib di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.” (Kisah ini terdapat dalam kitab, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, yang ditulis Ibn Jarir Al-Thabari)

Kisah lainnya, Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seseorang dari Bani Qainuqa’ yang juga nonmuslim (Shahih Muslim, no. 5242). 

Agama dan budaya kita tidak punya ajaran kekerasan dan anti toleransi. Tidak ada ajaran membakar tempat ibadah dan menghina Tuhan. Menghina Tuhan tidak harus membakar tempat ibadah segala. Bahkan, kata para sufi, kita meragukan besok dapat makan saja sudah menghina Tuhan.

“Kekerasan yang diatasnamakan agama, pada dasarnya adalah sebuah kamuplase. Sebab, di balik semua itu adalah pertarungan kepentingan, baik politik maupun ekonomi,” terangnya.

Ihwal insiden Tolikara itu, kita mesti arip melihat kejadian kemarin. Dipastikan, di belakangnya ada motif-motif kepentingan yang mesti kita pahami lebih lanjut bukan sekadar membakar masjid. “Mungkin, motif tertingginya adalah provokasi untuk membuat desintegrasi NKRI dan penguasaan kekayaan alam,” tegasnya.

Rektor berharap dengan adanya Semiloka Nasional ini, “Mari kita jelaskan pesan-pesan agama itu secara luas dan cerdas. Inilah salah satu kontribusi UIN SGD Bandung dalam merumuskan dan menciptakan harmoni agama dan budaya sebagai pilar ketahanan nasional,” pungkasnya. [Humas Al-Jamiah]       

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *