Tulisan saya yang dimuat PR, dengan judul Mengkhawatirkan Partai Islam, mendapat tanggapan dari Asep Salahudin. Tanggapan ulang dari saya sedikit terlambat, karena beberapa waktu yang lalu saya masih berada di Jeddah untuk suatu keperluan.
Benar, dalam tulisan yang lalu, saya meragukan hasil survei tentang nasib Partai-Partai Islam di 2014, mengingat sejumlah indikasi ketidakakuratan survei tidak bisa ditampik, berupa melesetnya beberapa hasil survei belakangan ini. Ini merupakan modal pola pandang saya dalam meragukan ramalan nasib partai Islam di 2014 nanti. Selain itu, ada juga alasan ilmiah di balik pandangan saya tersebut.
Walaupun meragukan hasil survei, saya juga meingatkan para praktisi yang berkecimpung di partai Islam bahwa rilis hasil survei tersebut merupakan momentum berharga untuk membangun strategi politik ke depan, supaya partai Islam tidak jatuh pada hasil “ramalan” lembaga survei.
Asep Salahudin menyatakan, keterpurukan partai-partai belakangan ini, termasuk partai Islam di dalamnya, adalah karena perilaku korup para pengurusnya. Di antara para pengurus partai banyak yang tertangkap akibat masuk pada kubangan korupsi. Betul, saya juga sepakat bahwa itu adalah salah satu faktornya.
Terkait dengan permasalahan korupsi yang membelit para pengurus partai saat ini harus dibedakan sebagai personal problems dan institutional problems. Korupsi yang melibatkan sejumlah pengurus partai politik masuk pada ranah personal problems, permasalahan individu, bukan institutional problems, permasalahan lembaga. Tidak ada satu partai politik pun di Indonesia yang menyantumkan dalam AD dan ART-nya agar para kader dan pengurusnya berperilaku korup. Artinya, korupsi yang melibatkan sejumlah pengurus partai merupakan penyimpangan individu, yang tidak fair apabila dikaitkan secara total pada kesalahan partai. Walaupun begitu, saat ini partai politik katempuhan buntut maung, kena getahnya.
Pernyataan saya di atas tidak mengandung arti bahwa bahwa saya sedang dalam membela perilaku korup para pengurus partai. Tujuan saya adalah agar partai politik diposisikan secara proporsional. Tidak dihukum gara-gara penyimpangan kadernya. Kita masih memerlukan partai politik, sebagai salah satu pilar dari sekian pilar demokrasi di negeri ini. Tanpa partai politik, demokrasi akan timpang dan kekuasaan tidak akan terkawal.
Lalu, di mana permasalahan kualitas partai Islam? Menurut saya, permasalahannya dalam hal rendahnya mengomunikasikan partai dan figur. Tidak ada partai Islam yang secara masif mengiklankan partai dan figur-figurnya. Partai Islam lebih banyak mengandalkan saluran kultural dan sentuhan ideologi dalam mengenalkan partai dan figur.
Dari sisi sumber daya manusia, partai Islam tidak harus diragukan. Begitu juga figur-figur Islam, tidak kalah pamor dibanding figur yang ada di partai-partai lain. Sekadar menyebut contoh, Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, Suryadharma Ali, termasuk, Ahmad Heryawan, merupakan tokoh yang dapat ditandingkan dengan yang lain . Mereka memiliki kafasitas yang mumpuni untuk menjadi pemimpin. Problemnya, mereka tidak pernah diusahakan secara serius untuk dikomunikasikan kepada publik.
Khusus untuk Jawa Barat. Kita punya modal pemilih yang potensial, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sementara itu, partai Islam memiliki modal ideologi (ideology capital). Dua modal ini dapat dipadukan oleh partai Islam. Andaikan partai Islam berhasil mengomunikasikan tokoh-tokoh Jawa Barat yang tersedia kepada publik, mungkin sekali bisa menjadi kekuatan politik yang dahsyat dalam kancah politik Indonesia.
Bumi Pasundan merupakan potensi politik yang besar. Apabila partai-partai Islam mampu menguasai potensi politik di Bumi Pasundan ini, mereka telah masuk pada pintu kemenangan di tingkat nasional. Dengan jumlah pemilih tidak kurang dari 30 juta, Bumi Pasundan dapat menghantarkan kejayaan sebuah partai politik yang berhasil menaklukkannya.
Kita sudah terlalu lama “puasa” punya pemimpin nasional. Padahal, puasa ini tidak beralasan samasekali, apabila ditilik dari banyak sisi. Jumlah pemilih memadai. Sumber daya manusia tidak kurang. Dan, secara geografis juga sangat pantas. Apa kurangnya Bumi Pasundan untuk menghasilkan pemimpin yang berkaliber nasional?
Masyarakat Jawa Barat tidak sulit untuk dicetak menjadi pemilih militan dan menokohkan person tertentu. Ironi, masyarakat kita saat ini lebih banyak mengenal tokoh-tokoh dari luar Pasundan. Permasalahannya, mereka tidak banyak diajak untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh yang ada di bumi mereka. Harus ada upaya kuat dan terprogram dari para pengurus partai, secara khusus partai Islam, untuk mengenalkan tokoh-tokoh potensial Jawa Barat kepada masyarakat pasundan.
Pendidikan politik masyarakat Jawa Barat harus mulai digarap secara serius oleh banyak pihak yang memimpikan pemimpin nasional datang dari Bumi Pasundan ini. Bukan hal salah, apabila kita secara bersama-sama menggarap masyarakat Jawa Barat agar sadar pada potensi politik dirinya sendiri.
Deddy Ismatullah, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Guru Besar Hukum Tatanegara.
Sumber, Pikiran Rakyat 4 April 2013