Demokrasi sering disebut sebagai “sistem” yang “memuliakan” rakyat. Ia juga didapuk sebagai mekanisme dimana suara rakyat “disejajarkan” dengan suara Tuhan. “Volk populi, volks dei”, begitu jargonnya. Dengan ini, rakyat dibayangkan sebagai entitas yang tidak hanya polos tapi juga suci.

Tapi Plato punya tilikan berbeda soal rakyat. Konon, dalam bukunya The Republic, Plato menggambarkan rakyat sebagai “a great, strong beast”, binatang buas yang kuat dan besar. Dengan pernyataan ini, Plato melukiskan manusia adalah juga hewan, yang hidup mengikuti insting hewani yang mencari nikmat (makan, minum dan seks) dan menghindari sakit.

Gambaran suram Plato tentang rakyat ini mengganggu bahkan merenggut kemapanan kesimpulan yang selama ini kita yakini, bahwa rakyat adalah entitas suci. Celakanya, setelah hampir 20 tahun menghidupi demokrasi, refleksi Plato di atas mendekati kebenaran.

Tengoklah, cuitan dan komentar rakyat di seluruh media sosial semisal twitter, facebook, instagram dan WA group. Opini yang bersliweran itu menunjukkan keganasan, mengerikan dan penuh emosi. Tentang ini, kita diingatkan dengan dua istilah yang pernah fenomenal yang bahkan gaungnya masih terngiang hingga hari ini: kampretos dan cebongers!

Di awal kehadirannya, internet dan medsos ditahbis bisa meningkatkan kedewasaan dan rasionalitas. Akses bebas pada buku dan pengetahuan, kebebasan berpendapat serta kemudahan mengunduh informasi dan berita diyakini mampu menaikkan level diskursus warga. Apa yang terjadi? Algoritma yang dikembangkan sedemikian rupa di balik teknologi Internet dan media sosial, justeru membuat hanya hal-hal yang lucu dan memantik kemarahan dan emosi. Benar kata Plato, rakyat hidup dengan naluri-nalurinya: marah, kesal, dan nikmat melucu.

Dalam situasi demokrasi seperti itu, Plato menggambarkan oportunisme seorang pawang yang pandai memahami perilaku binatang. Ia tahu kapan mengalah (saat si binatang marah!), kapan membuat binatang jinak dan takluk lewat umpan atau ancaman. Ilmu pintar menaklukkan binatang lewat pendekatan hasrat nikmat dan takut adalah ilmu kaum sophis. Kalangan ini pandai menerka suka-duka, kemarahan dan kenikmatan rakyat/binatang. Mantra jampi-jampinya membuat rakyat/binatang luluh terharu atau terbakar amarahnya.

Demokrasi mutakhir menyuguhkan tokoh sofis yang bernama Big Data. Algoritma Big Data (yang tampak dalam cara kerja yang google atau facbook) bekerja mendeteksi emosi. Kita googling di internet mengikuti minat pada musik, film, artikel dan lain-lain. Big Data mencatat kesenangan kita dan saat masuk lagi ke google, otomatis ditawari masuk, film dan artikel.

Jangan lupa. Motif utama manusia sofis maupun Big Data tak jauh dari soal cuan atau fulus. Ke depan, mungkin demokrasi bisa semakin muram. Bila sofisme memurukkan demokrasi Athena ke anarkhisme yang memunculkan Tiran, maka Big Data akan menghack demokrasi yang menjadi digital dictatorship.

Allahu a’lam[]

Bandung, 14 Januari 2020

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *