Ramadhan dan Penyucian Jiwa

Al-Quran beberapa kali menunjukkan dirinya sebagai penyembuh, dengan menggunakan term Syafaa dan derivasinya, yakni: Serta melegakan hati orang-orang yang beriman (QS. At-Taubah: 14), Dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (QS. Yunus: 57), Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia (QS. An-Nahl: 69), Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Israa’: 82), Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’araa’: 80), Katakanlah: Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin (QS. Fussilat: 44).

Manusia memiliki ‘aql (akal), qalb (hati), nafs (jiwa), dan ruh, yang menurut Al-Ghazali adalah entitas yang sama namun saling berkaitan dengan pembahasan yang berbeda-beda. Yang disimplifikasi oleh Henri Shalahuddin seperti predikat pada seorang laki-laki. Dalam kaitannya dengan anaknya, ia adalah seorang ayah; dengan istrinya, ia adalah seorang suami; dengan gurunya, ia adalah seorang murid; demikian seterusnya. Artinya, bahwa keempat term tersebut tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya, jika dipisahkan maka akan terjadi ketimpangan dan instabilitas dalam diri manusia.

Hidup manusia tidak selalu sesuai apa yang diharapkan, acap kali turun naik, sedih dan bahagia, karenanya perlu momentum untuk mengembalikan jadi diri manusia untuk berada pada dimensinya yang utuh. Ramadhan menjadi momentum yang diciptakan oleh Allah SWT, Sang Pencipta, untuk menjadikan manusia mengetahui dirinya. Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa al-Quran (yang didalamnya terdapat perintah diwajibkannya shaum di bulan Ramadhan) menjadi penyembuh saat manusia terlalu superior atau merasa inferior hidupnya.

Penyucian jiwa pada bulan Ramadhan, tidak dapat berdiri sendiri. Proses itu akan bergantung bagaimana akal, hati dan ruh ditempatkan. Jika jiwa terus disucikan melalui ibadah di bulan ramadhan, tapi akal ditempatkan untuk mendatangkan keuntungan semata (machevialianisme), maka niscaya ramadhan akan menjadi seperti bulan biasanya. Hal tesebut berbanding terbalik dengan apa yang dicontohkan Rasulullah dengan sangat sederhana pada saat berbuka: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air. (HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad, 3/164, hasan shahih).

Ramadhan disediakan oleh Allah SWT sebagai salah satu wahana penyucian diri secara massif. Apalagi shaum Ramadhan pada tahun ini yang dihantui oleh COVID-19, menuntut kita untuk lebih maksimal dalam menata ‘aql (akal), qalb (hati), nafs (jiwa), dan ruh. Keseimbangan menjadi langkah penting dalam proses penyucian jiwa seseorang. Seorang papa, tentu tidak diminta untuk memberi, bahkan ia berhak menerima. Tapi, jangan sampai orang yang pantas memberi, mencari-cari alasan untuk dapat menerima. Wallahu ‘alam

Dr. H. Dindin Jamaluddin, M.Ag, Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Hikmah Republika 13 Mei 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *