Dari tahun ke tahun pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menyisakan persoalan yang berujung pada kegaduhan. Sebagian masyarakat memandang, berubah-ubahnya sistem PPDB telah mendatangkan kerugian bagi calon siswa/orangtua. Sebagian lainnya bahkan menilai, pelaksanaan PPDB telah diwarnai kecurangan oleh pihak-pihak tertentu sehingga tidak berjalan mulus sesuai dengan idealitas dan tujuan pendidikan nasional.

Pemerintah menggulirkan sebuah kebijakan sejatinya bukan asal-asalan. Kita semua yakin, sebuah kebijakan dijalankan setelah melalui proses pengkajian yang mendalam dan kompehensif, karena memang begitu seharusnya. Sebuah kebijakan dilaksanakan tidak boleh asal-asalan dan terburu-buru, tidak getas harupateun, tetapi dibeuweung diutahkeun heula, sebagai hasil pemikiran dan penelitian yang panjang dan mendalam. Dengan demikian tingkat kegagalannya tidaklah terlalu besar dan dampak negatifnya pun dapat diminimalisasi, sehingga kemungkinan-kemungkinan terburuk pun dapat diantisipasi.

Gagasan sistem zonasi dalam proses PPDB yang dicetuskan pemerintah sebetulnya sudah sangat bagus. Setikdaknya ada tiga hal yang dapat diambil manfaatnya dari sistem ini. Pertama, untuk menghilangkan disparitas sekolah favorit dan nonfavorit. Dalam beberapa dekade belakangan, pendidikan Indonesia diwarnai dengan dikotomi, antara sekolah favorit dan sekolah nonfavorit. Kondisi seperti ini, disadari atau tidak disadari akan membuat gap yang lebar antara kelompok the haves _ dari kalangan atas yang secara finansial “tidak memiliki masalah” dan kelompok _grass root dari kalangan bawah yang memiliki keterbatasan ekonomi. Celakanya, citra favorit dan nonfavorit telah pula berdampak pada penciptaan imej tentang kualitas intelektual para siswa. Siswa yang menghuni sekolah favorit dikesani sebagai anak-anak cerdas, maju, dan berwawasan luas. Sementara siswa yang bercokol di sekolah nonfavorit dicap sebagai siswa-siswa yang tertinggal. Bahkan sebagian kepala sekoah pun merasa lebih bergengsi menjadi orang nomor satu di sekolah favorit.

Pandangan seperti ini tidak sepenuhna benar, karena dengan diterapkannya 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) bagi setiap sekolah, semestinya tidak ada lagi sekolah yang tertingal atau sekolah yang dipandang lebih hebat. Dengan 8 SNP, setiap sekolah sudah memiliki standar kualitas yang sama. Kita menyaksikan, anak-anak bangsa yang cerdas juga kerap muncul dari sekolah yang tidak difavoritkan oleh masyarakat. Nah, dengan sistem zonasi dalam PPDB tahun ini tidak berlaku lagi sekolah favorit dan nonfavorit. Anak-anak yang dekat dengan sekolahlah yang berpeluang lebih besar untuk menikmati penddikan di sekolah itu.

Kedua, menghemat sumber dana keluarga. Anak-anak yang berjarak lebih dekat dengan sekolah akan mendapatkan peluang lebih besar untuk diterima. Dengan demikian ada beberapa alokasi dana keluarga yang dapat dipangkas, salah satunya alokasi dana transportasi. Dari sisi ekonomis, ini lebh hemat. Selain itu, dari perhitungan waktu juga lebih leluasa. Siswa memiliki cukup waktu untuk persiapan pagi hari menjelang berangkat sekolah dan juga waktu luang sepulang sekolah, karena jarak tempuh tidak jauh. Ini akan berbeda dengan anak yang bersekolah dari jarak yang cukup jauh. Di samping efektif, sistem zonasi ini pun sangat memungkinkan untuk membantu mengurangi tingkat kemacetan di perkotaan.

Ketiga , sistem zonasi ini membuka akses yang sangat luas bagi anak-anak dari kelompok masyarakat kurang mampu. Anak-anak dari keluarga tidak mampu dapat dielaborasi oleh pemerintah dan diberi hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) UUD’45 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Masalah

Sayangya, sistem yang sudah demikian bagus itu, implementasinya agak bias dari tujuan semula. Penerapan PPDB sistem zonasi ini tampaknya belum dibarengi dengan pemetaan masalah secara lebih baik dan lebih spesifik, sehingga pelaksanaannya terkesan agak terburu-buru, orang Sunda bilang gereges gedebug. Padahal semestinya sebuah sistem yang akan diterapkan itu harus dibeuweung diutahkeun terlebih dahulu, dikaji dampak positif-negatifnya, maslahat-madaratnya, baik bagi lembaga penyelenggara pendidikan maupun bagi masyarakat yang memanfatkan jasa layanan pendidikan. Dengan demikian ada satu titik toleransi dari kedua belah pihak untuk memungkinkan terjadinya kesepahaman, itulah yang disebut dalam kearifan lokal budaya Sunda: batu turun keusik naék, bersepakat karena telah saling memahami.

Kisruhnya sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB tahun ini disebabkan oleh kurangya pemetaan secara baik tentang zonasi dan tidak adanya kesepahaman antara pemangku kebijakan (stake holder), para pelaksana teknis lapangan (seolah), dan masyarakat peminat pendidikan (calon peserta didik). Sehingga timbulah akibat samping. Pada pelaksanaan PPDB sistem zonasi ini, kita masih melihat adanya praktik-praktik yang tidak terpuji, praktik yang tidak mengakar pada peraturan, semisal manipulasi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan penitipan nama siswa dalam Kartu Keluarga orang lain dalam zona sekolah tertentu. Orang-orang yang sesungguhnya secara ekonmis memiliki kemampuan untuk membayar biaya sekolah secara normal, sengaja mengambil jalan kurang terpuji dengan cara mendaftarkan diri sebagai keluarga yang tidak mampu. Perilaku seperti ini jelas-jelas menghalangi hak pendidikan bagi orang-orang tidak mampu sekaligus mencederai amanat pendidikan nasional yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih parah lagi, seperti yang diwartakan dalam beberapa media massa, munculnya oknum-oknum dari lembaga tertentu yang menawarkan kursi dengan harga tertentu kepada calon siswa sambil menekan pihak sekolah. Ini pun merupakan perbuatan yang bukan hanya menodai citra penyelenggaraan pendidikan, melainkan juga melukai hati nurani rakyat. Di satu sisi banyak kaum proletar dari golongan ekonomi lemah yang berjuang mati-matian ingin mendapatkan derajat terhormat (pendidikan) bagi anak mereka, tetepi di sisi lain ada kelompok tertentu yang memiliki kelebihan finansial mengambil jalan pintas dengan memotong jalur yang semestinya menjadi hak orang kecil.

Oleh karena itu, PPDB, baik dengan sistem zonasi maupun sistem lainnya, perlu dikaji kembali secara mendalam melalui sebuah penelitian yang komprehensif sampai ditemukannya titik tolearansi yang dipahami oleh para pemangku kebijakan, pelaksana teknis pndidikan, dan masyarakat. Di sinilah pentingnya sebuah riset yang mendalam sebelum menjadi sebuah kebijakan, supaya dampaknya bisa dikalkulasi dan diantisipasi dengan baik. []

Aan Hasanah, Guru Besar Pendidikan dan Wadek I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung, Ketua Bidang Riset IKA UIN SGD Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 19 Juli 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *