Sikap manusia menilai kehidupan yang dijalani ditentukan ilmunya. Umar bin Khatab pernah mengatakan bahwa ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Memasuki tahapan kedua, akan bersikap tawadhu’. Apabila memasuki tahapan ketiga, akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya. Ditempalah dirinya sekuat tenaga dengan ilmu pengetahuan, terus belajar menjadi pembelajar untuk mencapai puncak ketaatan.

Ibarat ilmu padi makin berisi makin merunduk. Semakin hebat ilmunya, semakin rendah hati dalam kesehariannya. Semakin bersedih diri karena terasa benar hidup diliputi kejahilan. Tak ada rasa malu untuk terus belajar dan mau mendengarkan masukan siapapun. Hatinya lapang mendengarkan kritik dan haus dengan pengetahuan. Dia sadar, manusia menjadi mulia dan terhormat karena ilmu, namun dengan ilmu pula manusia bisa celaka. Dihiasilah dengan akhlak yang penuh kesadaran mendalam bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki dirinya dan manusia dalam semesta ini penuh keterbatasan. Allah Swt berfirman, “…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit,” (QS. Al-Israa: 85).

Tidak ada waktu untuk unjuk diri, merasa lebih pintar dan hebat, apalagi bersikap nyinyir kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepadaku, agar kalian bersikap tawadhu’, sehingga tidak ada seorang pun bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seorang pun yang menganiaya yang lain,” (HR. Muslim).

Manusia yang selalu ingin sehat, tak mau tertimpa cobaan dan bencana, selalu berharap sempurna, sesungguhnya tidak memahami tentang beban syariat dan arti penyerahan diri. Padahal Allah memberikan cobaan dan kekurangan agar manusia menyerah pada takdir. Mengimani dan meyakini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia Maha Tahu atas semua perkara. Sebagaimana Allah berfirman, “Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi,” (QS. Ar-Ra’du: 9).

Kesempurnaan-Nya tak dapat diukur oleh ilmu pengetahuan modern sekalipun. Banyak hal terjadi yang tidak mudah diterima oleh akal dan pengetahuan. Ketika keduanya sudah tidak lagi mampu menggapai hikmah di balik semua peristiwa, tersadarlah bahwa akal dan pengetahuan sangatlah terbatas. Bahwa membaca hukum sebab akibat adalah proses belajar yang luar biasa menemukan kemahakuasaan Tuhan.

Sungguh segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini sarat dengan kerendahdirian dan pengakuan akan kekuarangan serta kelemahan makhluk di hadapan Khaliq-nya. Puncak dari segala pencarian hukum sebab akibat dalam ilmu pengetahuan adalah kepasrahan. Berpasrah diri pada yang Maha Sebab dan tak disebabkan. Kepasrahan adalah bukti kedalaman pengetahuan, kesadaran bahwa selalu ada hal yang tak mudah diketahui sebabnya. Setelah gejala dan fakta didapat, lalu dicarikan sebabnya, kemudian dicarikan solusinya, pada kelanjutannya datang lagi sebab-sebab lanjutan yang mana temuan ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan. Ibarat labirin tirai yang tak ada ujung, setelah terbuka, akan ada tirai baru tak berujung.

Bagi pembelajar, ikhlas dan kepasrahan bukan sikap pasif. Kesadaran terdalam seorang mukmin, betapa ilmu yang dimilikinya tak dapat menjawab dan menjelaskan banyak hal. Kepasrahan seorang pembelajar adalah renungan terdalam betapa bodohnya diri ini, semakin tahu semakin sadar tidak tahu. Sebuah kesadaran yang telah mencapai tahap pencarian ilmu di level tertinggi. Terus bergumul dalam kegelisahan karena khawatir ilmu yang dimiliki tak membawa kemanfaatan, dan amalnya tak kunjung semakin maju terdepan baik secara kuantitas maupun kualitas kehidupan. Walalahu a’lam

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN SGD Bandung.

Sumber, Hikmah Republika 8 Januari 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *