Menjaga Konsistensi Beragama

Pada tahun 2009, Carpenter dan Marshall melakukan dua penelitian. Penelitian pertama menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengagetkan, yaitu orientasi beragama seseorang tidak berpengaruh terhadap kemunafikan seseorang. Baik orang yang orientasi keberagamaannya bersifat intrinsik, maupun yang orientasi keagamaannya bersifat ekstrinsik, tetap memiliki peluang yang sama untuk munafik.

Penelitian kedua menghasilkan kesimpulan yang berbeda, yaitu orang yang orientasi keagamaannya bersifat instrinsik memiliki peluang yang lebih rendah untuk munafik dibanding orang yang orientasi keagamaannya bersifat ekstrinsik. Tapi, kesimpulan pada penelitian kedua itu baru didapatkan hasilnya apabila terlebih dahulu dilakukan religious framing, yakni partisipan diingatkan pada nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini yakni perlu upaya penyadaran. Agar konsisten dalam beragama, manusia harus terus menerus disadarkan terhadap nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.

Uniknya, agama Islam sudah mensyariatkan beberapa cara untuk menjaga kesadaran beragama tersebut. Pertama, Islam mensyariatkan salat, baik salat fardu yang lima waktu maupun salat-salat sunat. Salat bisa meng-up-date kesadaran seorang muslim terhadap nilai-nilai yang dianutnya, paling tidak lima kali dalam sehari. Oleh karena itu orang yang salat dapat terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah Swt, “Ultu maa uhiya ilaika minal kitabi wa aqimish shalaata Inna shalaata tanha ‘anil fahsya-i wal munkar, wa ladzikrullaahu akbar wallaahu ya’lamu maa tashna’uun. (Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Al Ankabut: 45).

Kedua, Islam pun mensyariatkan untuk memulai setiap kegiatan dengan membaca basmalah dan doa. Basmalah dan do’a pun bisa menjadi sarana bagi seorang muslim untuk selalu terhubung dengan Allah swt dan tetap sadar terhadap nilai-nilainya. Terakhir, syariat islam yang akan menjaga kesadaran beragama lebih intens lagi adalah zikir.

Allah swt memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berzikir, sebagaimana firman-Nya, “Wa’tashimuu bihablillaahi jami’an wa laa tafarraquu wadzkuruu ni’matallaahu ‘alaikum idzaa kuntum a’daa-an fa alafa baina quluubikum fa ashbahtum bini’matihii ikhwaanan wa kuntum ‘alaa syafaa khufratin minan naari fa anqadakum minhaa. Kadzaalika yubayyinullaahu lakum aayaatihii la’alakum tahtaduun. (Berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai dan ingatlah nimat Allah pada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan. Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk). (QS. Al Imron: 103).

Rosulullah Muhammad saw bahkan pernah memerintahkan umatnya untuk selalu membasahi lisannya dengan zikir. Dengan zikir, hati seorang muslim akan selalu terpaut dengan tuhannya sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk.

“Sebaik-baik amal perbuatan sekaligus yang paling suci di mata Tuhan dan paling tinggi dalam mengangkat derajat serta lebih baik daripada menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik pula bagi kalian daripada berhadap-hadapan dengan musuh adalah zikir kepada Allah.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)

Dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Aku selalu bersama hamba-Ku selama dia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku’.” (HR Ibnu Majah. Hadis sahih menurut Ibnu Hibban dan mu’allaq menurut Bukhari).
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu ‘anhu, Rasulullah saw bersabda, “Amal yang diperbuat anak Adam tidak ada yang menyelamatkannya dari azab Allah selain zikir kepada Allah.” (HR Ibnu Abu Syaibah dan Thabrani dengan sanad hasan).

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Suatu kaum yang duduk dalam suatu tempat untuk berzikir kepada Allah dikelilingi oleh para malaikat dan diliputi rahmat dan Allah menyebut mereka termasuk orang-orang yang ada di dekat-Nya.” (HR Muslim).

Ramadan sebagai momentum istimewa bagi muslim sebaiknya dimanfaatkan secara optimal untuk terus berzikir kepada Allah, sehingga konsistensi keimanannya semakin kokoh. Pada akhirnya nanti, dia akan mendapat predikat muttaqiin yang dipanggil dengan panggilan manis, “Wahai jiwa yang tenang, masuklah bersama hamba-Ku (yang kukasihi) dan masuklah ke dalam surgaku.” (QS. Alfajr/89:27-30). Insya Allah.[]

Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi., Penulis, Dekan Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Psikolog

Sumber, Syiar Ramadan Galamedia 31 Mei 2018

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *