Les Damnes De La Terre

“Les Damnes de la Terre”. Franzt Fanon menyebutnya begitu.

Ini tentang sekelompok masyarakat yang dipersekusi dengan sebutan “gerombolan terkutuk di bumi”. Terkutuk, karena mereka disangka telah menjadi sampah bahkan penyakit masyarakat. Terkutuk, karena mereka tidak memiliki ciri dan karakter manusia pada umumnya. Manusia primitif.

Gerombolan manusia terkutuk disebut sebagai kelompok manusia yang tak berhak memperoleh apa yang menjadi haknya. Gerombolan terkutuk tak memiliki keleluasaan bahkan kebebasan untuk mengungkapkan kegelisahan dan apa yang diinginkannya. Eksistensi dirinya dikebiri. Hak-hak dasarnya disepelekan dan diabaikan.

Dalam suatu kekuasaan yang rasis, Les Damnes de la Terre bukan kelompok manusia yang menjadi korban tindakan diskriminatif semata. Dalam pelbagai wujudnya, damnes de la terre adalah keyakinan struktural dan sistemik bahwa ada kelompok-kelompok manusia tertentu yang rendah derajatnya.

Hari ini kita menghadapi kasus serupa dengan pro dan kontra yang menyertainya. Les damnes de la terre tampil dalam sikap dan perlakuan kita terhadap apa yang dianggap beda dan tak sama dengan kita. Mereka lalu kita sebut sebagai “the other” atau “liyan”.

Beda keyakinan munculah stigma menyimpang. Beda pandangan mengemukalah tuduhan sesat. Beda ideologi berkecambahlah hujatan dan persekusi. Beda ras berbusalah mulut dan lisan kita dengan sebutan yang merendahkan dan menghinakan. Ya, les damnes de la terre adalah korban ketidakadilan sosial.

Heterogenitas keyakinan, ideologi bahkan ras adalah niscaya. Tak mungkin ditemukan kehidupan yang seragam. Mustahil didapatkan ruang sosial yang mirip dan serupa tiap bagiannya.

Keadilanlah yang bisa menenun yang heterogenitas kehidupan. Bahkan menurut Levinas, keadilan lebih utama ketimbang kebenaran. Tanpa keadilan, kebenaran tidak memiliki daya yang menggerakkan. Lebih tepatnya, kebenaran sejati mengandaikan keadilan sebagai alasnya. Karena itu, kebenaran harus dicari dengan bertumpu pada akar dan asas utama keadilan, yaitu pengakuan etis atas “the other”.

Keadilan, ditegaskan oleh Levinas selanjutnya adalah “cinta yang diperintahkan”: wajah orang menuntut saya untuk menghormati “the other” sebagai “the other” bukan menurut kategori sosial atau kecenderungan spesifik apapun, melainkan hanya karena wajah menuntut saya tanpa batas.

Keadilan dan hak asasi manusia hanya dapat diwujudkan jika ia dialaskan pada sebuah “kehendak-baik-bagi-yang-lain” yang bersifat tanpa syarat (an unconditional willing-good-for-the-other). Inilah yang disebut sebagai “kebaikan” (goodness).Allahu a’lam[]

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *